Kontrak PPPK Ancam Kelanjutan Karier Dosen
Status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK menuai masalah dan mengancam karier dosen, terutama dengan tidak diakuinya masa kerja dalam kontrak.
JAKARTA, KOMPAS — Dosen berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK di perguruan tinggi negeri berunjuk rasa memperjuangkan keadilan. Para dosen menilai ketentuan dalam kontrak dosen sebagai aparatur sipil negara dengan status PPPK mengancam jenjang karier mereka sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Perjuangan status kepegawaian PPPK ini dilakukan pegawai eks Yayasan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Kamis (9/11/2021). Dalam aksi di halaman Gedung Rektorat UPN Yogyakarta, mereka menuntut status kepegawaian yang berkeadilan.
Ketua Forum Pegawai Tetap Yayasan, Arif Rianto, menjelaskan, para dosen di 35 perguruan tinggi negeri (PTN) baru di sejumlah daerah, termasuk UPN Veteran Yogyakarta, diangkat menjadi dosen PPPK sejak 2019. Para dosen tetap yayasan (dulu perguruan tinggi swasta) yang beralih menjadi dosen PTN ini sudah bekerja belasan hingga puluhan tahun.
Masa kerja mereka selama di perguruan tinggi swasta (PTS) kemudian diakui Ditjen Pendidikan Tinggi dan dituangkan dalam surat perjanjian kerja. Namun, di tahun 2021 ada surat pengangkatan PPPK yang harus ditandatangani dan masa kerja mereka ternyata tidak dihitung.
”Kami merasa keberatan dengan ketentuan dari Menteri PAN dan RB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ) di tahun 2021 yang menetapkan dosen PPPK di PTN baru ini sudah punya pengalaman kerja lama, tetapi dinolkan. Kami segera diminta untuk menandatangani. Tapi, kami masih berjuang mencari keadilan,” kata Arif yang juga dosen Teknik Geologi di UPN Yogyakarta.
Arif mengatakan, nasib sekitar 165 dosen dan 120 tenaga kependidikan di UPN Yogyakarta terkatung-katung selama hampir tujuh tahun. Sekarang mereka masuk babak baru dengan dikontrak menjadi PPPK. Akan tetapi, mereka menilai klausul kontrak yang harus mereka tanda tangani tidak adil.
Di dalam kontrak masa kerja, kami dihitung nol tahun. Padahal, sebagian besar dari kami sudah bekerja lebih dari 20 tahun. (Arif Rianto)
Menurut Arif, perjanjian kerja tersebut bermasalah dalam beberapa hal dan mengancam pengembangan karier sebagai dosen, terutama dengan tidak diakuinya masa kerja dalam kontrak. ”Di dalam kontrak masa kerja, kami dihitung nol tahun. Padahal, sebagian besar dari kami sudah bekerja lebih dari 20 tahun,” ujar Arif.
Hal lainnya ialah masalah pengakuan kompetensi profesional dosen. Dalam kontrak ini, kualifikasi doktor tidak diakui. Dosen yang berpendidikan S-3 hanya dikontrak selevel S-2. ”Artinya, kompetensi doktoral kami tidak diakui. Sedihnya hal ini justru terjadi di lembaga pendidikan tinggi yang mestinya menjunjung tinggi capaian akademik dosen,” kata Arif.
Selama lima tahun, pegawai yang menandatangani kontrak, ujar Arif, akan terikat dengan isi kontrak tersebut. Dosen tidak bisa studi lanjut, tidak bisa naik pangkat fungsional, tidak bisa menduduki jabatan, dan sebagainya.
”Kontrak ini benar-benar mendegradasi kami sebagai dosen yang profesional dan menafikan perjuangan kami menyelesaikan studi doktoral,” ujar Arif.
Baca juga: Kebijakan Guru PPPK Membuat Cemas
Masalah pegawai di UPN Yogyakarta ini diawali dengan berubahnya bentuk kelembagaan dari PTS menjadi PTN. Pada saat awal proses pegawai eks PTS dijanjikan untuk menjadi satu gerbong menjadi PNS. Namun, dalam perkembangannya, kementerian mengakomodasikan mereka untuk menjadi pegawai PPPK.
Skema ini pun dijanjikan untuk diakui masa kerjanya. Dalam perkembangannya, setelah mengikuti seleksi dan dinyatakan lulus semua, ternyata apa yang dijanjikan sejak awal tidak terwujud hingga lahir perjanjian kerja yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Arif menambahkan, dampak institusional dari perjanjian kerja ini adalah menurunnya kualitas dan performa UPN Veteran Yogyakarta. Secara kualitas, masalah ini akan memperburuk kinerja dosen dan pegawai karena tetap terjadi dualisme pegawai. Dualisme kepegawaian yang diikuti dengan perbedaan fasilitas yang diperoleh merupakan pemicu menurunnya motivasi kerja pegawai.
”Kontrak kerja di PTN dengan status PPPK ini seperti kontrak antara buruh dan perusahaan pabrik,” ujar Arif.
Sementara itu, Ketua Ikatan Lintas Pegawai Perguruan Tinggi Negeri Baru (ILP-PTNB) Diyah Sugandini mengatakan akan tetap melobi ke kementerian untuk mengklarifikasi perjanjian kerja yang tidak sesuai dengan tradisi akademik di perguruan tinggi.
”Kontrak ini sangat menyedihkan. Negara terkesan abai dengan tradisi pendidikan tinggi. Perguruan tinggi diperlakukan seperti perusahaan niaga hingga kontraknya tidak memperhatikan profesionalisme dosen,” ujar Diyah, dosen Manajemen UPN Veteran Yogyakarta.
Rektor UPN Veteran Yogyakarta M Irhas Effendi mengatakan tetap akan berjuang mengawal ketidaksesuaian dalam kontrak ini. ”Kami terus memperjuangkan teman-teman, terutama dosen, melalui penyusunan naskah akademik untuk merevisi aturan ini. Naskah akademik ini merupakan kajian akademik mengenai pentingnya posisi dosen dalam perguruan tinggi menyangkut pengembangan kompetensi, karier, dan kualifikasi pendidikan,” kata Irhas.
Ambang batas tinggi
Terkait seleksi guru honorer menjadi PPPK, juga terus menuai kritik. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai passsing grade atau ambang batas skor guru PPPK pada 2021 yang sudah dikeluarkan Kemenpan RB melalui Surat Keputusan No 1127 Tahun 2021 tentang Nilai Ambang Batas Seleksi Kompetensi Pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja Formasi Guru pada instansi daerah dirasakan terlalu tinggi.
Berdasarkan surat keputusan tersebut, ambang batas nilai yang harus didapatkan peserta ujian PPPK 2021, yakni kompetensi teknis, berkisar 220-325 dalam skala 500. Artinya, peserta ujian harus dapat menjawab benar 44 nomor dari 100 soal.
Bahkan, di banyak mata pelajaran peserta guru harus menjawab soal dengan benar sebesar 65 persen atau 65 dari 100 soal tes. Hal ini terjadi karena setiap mata pelajaran dan setiap jenjang pendidikan memiliki standar ambang batas tersendiri atau berbeda-beda.
Seleksi kompetensi untuk pengadaan guru PPPK dilaksanakan September ini. Guru menjalani seleksi administrasi dan seleksi kompetensi. Kepala Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri mengatakan, keputusan Menpan RB terlalu tinggi dan tidak memperhatikan aspek peserta tes yang terdiri dari guru dan tenaga honorer K-2, yang umumnya sudah lanjut usia dan mengabdi lebih dari 18 tahun, bahkan ada yang mencapai 25 tahun.
Muhaimin, Ketua P2G Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang juga guru honorer di SMK Negeri 1 Bolo, Kabupaten Bima, mengatakan, ambang batas yang ditetapkan oleh Menpan RB terlalu mengada-ada.
”Jika standar passing grade yang ditetapkan pemerintah seperti ini, kami yakin kejadian pada seleksi CPNS tahun 2018 akan terulang kembali, di mana persentase peserta yang lolos passing grade sangat sedikit,” kata Muhaimin.
Muhaimin menambahkan, kalau dibandingkan juga dengan seleksi kompetensi bidang CPNS 2019, yang formatnya sejenis dengan kompetensi teknis pada seleksi PPPK sekarang, rata-rata perolehan nilai peserta tidak banyak yang melampaui 50 persen. Sementara itu, passing grade PPPK untuk kompetensi teknis mengharuskan peserta memenuhi skor minimal sampai 65 persen.
Para guru honorer di Kabupaten Bima, NTB, mencoba membandingkan passing grade PPPK dengan uji kompetensi guru (UKG) yang diadakan Pemerintah Provinsi NTB baru-baru ini. Standar minimal/ambang batas yang ditetapkan pemerintah provinsi adalah skor 55 dari skala 0-100.
”Untuk passing grade 55 saja, tingkat kelulusan guru peserta UKG terbilang rendah. Apalagi dengan standar passing grade PPPK 2021 yang lebih tinggi,” kata Muhaimin.
Baca juga: Tidak Ada Anggaran Khusus untuk Gaji Guru PPPK
Fakta diskriminatif dalam penentuan passing grade seleksi guru PPPK 2021 lainnya juga dirasakan guru mata pelajaran Pendidikan Agama.
Untuk guru mata pelajaran Pendidikan Agama (Islam, Katolik, Hindu, dan Kristen), nilai ambang batas kompetensi teknis adalah 325. Padahal, kompetensi teknis guru kelas sebesar 320, guru Bahasa Indonesia sebesar 265, serta guru Bahasa Inggris, Bimbingan Konseling, dan IPA masing-masing sebesar 270.
”Kami mempertanyakan fakta diskriminatif ini, mengapa guru agama dibedakan sendiri dari guru lain?” kata Sodikin, guru honorer K2 Pendidikan Agama Islam SDN Karawang.