Menayangkan mantan terpidana kekerasan seksual pada anak di televisi tidak tepat. Konten siaran semestinya bertumpu ke perlindungan anak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tayangan televisi yang menampilkan mantan terpidana kekerasan seksual pada anak, baik untuk hiburan maupun edukasi, dinilai tidak berpihak pada korban. Media massa punya tanggung jawab moral untuk berpartisipasi dalam perlindungan anak serta edukasi publik.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, Jumat (10/9/2021), mengatakan, anak butuh informasi yang layak serta mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Munculnya mantan terpidana kekerasan seksual di layar kaca dikhawatirkan membangkitkan trauma korban. Padahal, keluarga korban dan korban butuh keberpihakan.
”Jangan sampai ada anggapan bahwa peristiwa paedofilia menjadi peristiwa biasa, bukan kejahatan yang harus menjadi perhatian semua pihak,” kata Jasra secara tertulis.
Sebelumnya, kebebasan mantan terpidana kekerasan seksual anak, SJ, disambut meriah dengan mobil mewah dan pengalungan bunga. Momen ini disorot media. Setelah bebas, SJ, yang juga seorang figur publik, diundang ke sejumlah acara televisi.
Glorifikasi pada kebebasaan SJ dinilai bertentangan dengan prinsip perlindungan anak. Jasra mengatakan, isi siaran harusnya sudah diseleksi, sehat untuk perkembangan anak, dan berorientasi pada kepentingan anak.
Ia juga mendorong negara melakukan upaya lebih untuk perlindungan anak, khususnya terhadap kasus kekerasan seksual. KPAI mencatat ada 3.668 aduan pada periode Januari-Juni 2021. Sebanyak 1.245 aduan di antaranya tentang kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Selain itu, survei KPAI ke sejumlah lembaga menunjukkan penanganan kasus kekerasan seksual tidak ada yang tuntas
”Kita pernah berhasil menyusun peraturan KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk membatasi mantan narapidana, dan pelaku kejahatan seksual anak untuk tidak menjadi calon kepala daerah dan legislatif beberapa tahun lalu. Ini untuk menghormati serta sensitif terhadap korban,” tutur Jasra.
Setelah kemunculan SJ di televisi diprotes masyarakat, gelombang protes muncul lagi. Protes hadir setelah Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio mengatakan pelaku kekerasan seksual dapat ditayangkan di televisi untuk tujuan edukasi. Pernyataan ini dimuat dalam video siniar (podcast) di kanal Youtube Deddy Corbuzier.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, masyarakat butuh sosok panutan. Menjadikan SJ untuk konten edukasi dipertanyakan. Ia menilai masih ada tokoh-tokoh lain yang layak diberi panggung.
Semua orang berhak salah dan diberi kesempatan. Namun, dalam konteks menjadi teladan, ini kurang tepat. (Devie Rahmawati)
”Semua orang berhak salah dan diberi kesempatan. Namun, dalam konteks menjadi teladan, ini kurang tepat,” ujarnya.
Di sisi lain, protes dari masyarakat dinilai positif. Ini menandakan publik paham dan peduli dengan perlindungan anak.
Ia menambahkan, isu ini momentum bagi media massa untuk menayangkan konten yang benar secara sosial dan tepat secara moral. Media massa mengemban tanggung jawab moral untuk mengedukasi masyarakat, terlebih jika menayangkan konten di frekuensi publik.
Saat dihubungi terpisah, Ketua KPI Agung Suprio mengatakan, publik keliru memahami maksud pernyataannya di siniar. Pelaku kekerasan seksual dan kejahatan lain bukan untuk dijadikan edukator, melainkan ditayangkan sebagai contoh buruk.
KPI kini telah mengeluarkan surat imbauan untuk melarang televisi mengglorifikasi pelaku kejahatan. ”Kami sedang merevisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS). Kami akan masukkan soal pelaku kejahatan seksual atau pun kejahatan lain agar tidak ditayangkan. Ini akan jadi pedoman televisi dan radio. Diharapkan tahun ini selesai,” kata Agung