Laki-laki Juga Bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual hingga kini masih menjadi fenomena gunung es. Sebagian besar korban tidak berani bersuara, apalagi melaporkan kasus yang menimpanya. Dukungan dan pendampingan korban untuk bicara sangat dibutuhkan.
Kasus kekerasan seksual yang dialami MS, pegawai di Komisi Penyiaran Indonesia menjadi pelajaran penting bagi semua pihak, sekaligus pesan bahwa setiap orang siapa saja bisa jadi korban kekerasan seksual. Tidak pandang jenis kelamin maupun usia.
Terungkapnya kasus kekerasan yang terjadi di lembaga negara (Komisi Penyiaran Indonesia) membuktikan bahwa kekerasan seksual tidak hanya menyasar perempuan, tetapi juga menyasar laki-laki. Bahkan laki-laki dewasa sekalipun, tidak luput. Seperti dialami oleh MS, laki-laki dewasa (telah berkeluarga, punya istri dan anak) dengan pelaku yang juga semua laki-laki.
Keberanian MS, yang mengungkap kekerasan seksual dalam bentuk perundungan dan pelecehan seksual yang berlangsung sejak sembilan tahun, mengundang perhatian dan dukungan berbagai kalangan aktivis antikekerasan seksual.
Selama ini, yang sering terungkap ke publik, umumnya korban kekerasan seksual adalah perempuan (anak-anak dan dewasa) dan anak laki-laki. Apa yang dilakukan MS – bersuara ke publik membuka kekerasan seksual yang dialaminya-boleh dikata baru pertama kali dilakukan oleh laki-laki korban.
Kekerasan seksual dan perundungan yang dialami MS, viral di media sosial sejak Rabu pekan lalu (1/9/2021), menyusul surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, dari seorang pria yang menyebut insial dirinya MS. Surat yang diberi judul “Pelecehan Seksual Beramai Ramai Di KPI Pusat, Pelaku-Korban Sama Sama Pria” diawali dengan permohonan minta tolong kepada Presiden Jokowi.
MS yang mengaku penyintas meminta tolong kepada Presiden dan menyampaikan bahwa dia tidak kuat dirundung dan dilecehkan di KPI. MS menjelaskan kronologi perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya sejak sekitar 9 tahun lalu, tahun 2011.
Pria yang telah berkeluarga dan memiliki satu anak ini, mengalami perundungan oleh teman-teman kerja yang lebih senior. Awalnya dia disuruh membeli makanan, tapi pada tahun 2015 dia mengalami perundungan dan pelecehan seksual, yakni dipegang kepalanya, tangan, kaki, serta ditelanjangi, juga mengalami kekerasan fisik. Bahkan perbuatan tersebut direkam oleh para pelaku.
Baca juga Kasus Perundungan KPI dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual dan perundungan yang dialaminya membuatnya trauma dan stres, hingga akhirnya dia menulis surat terbuka. Dia pernah melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM pada tahun 2017, dan disarankan melapor ke polisi. Namun, dia baru melapor ke polisi tahun 2019, tapi menurut MS petugas hanya menyarankan "Lebih baik adukan dulu saja ke atasan. Biarkan internal kantor yang menyelesaikan."
Dia akhirnya melaporkan kasusnya ke atasan di KPI, dan dia hanya dipindahkan ke tempat lain yang tidak bersama dengan pelaku. Namun pelaku tidak dihukum, dan terus melakukan perundungan. Korban kembali melapor ke polisi tahun 2020, tapi hasilnya tetap sama, polisi tidak menganggap serius laporannya.
Pada surat terbuka MS menyebutkan dengan jelas nama-nama pelaku kekerasan yang berlangsung di kantor KPI Jalan Gajah Mada, Jakarta. Sebagian besar pelaku bekerja di bagian Divisi Visual Data, dan juga ada dari Humas dan Prokotol KPI.
Konstruksi jender
Apa yang dialami MS, menunjukkan betapa tidak mudahnya korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan, atas kasus yang menimpanya. Apalagi, ketika situasi yang dihadapinya dikaitkan dengan konstruksi atau norma jender tradisional yang selama ini berlaku di masyarakat.
Selama ini, konstruksi jender tradisional, secara kaku mengidentikkan laki laki sebagai sosok yang kuat, pemberani, atau dominan. Konstruksi tersebut tentunya terinternalisasi pada diri para laki laki. Apalagi jika dibesarkan dalam pola konstruksi demikian dan di tengah lingkungan masyarakat yang menganut konstruksi demikian, seperti dalam budaya kita,” ujar Ika Putri Dewi, psikolog anak dan remaja di Yayasan Pulih, Minggu (5/9/2021).
Dalam konteks demikian, ketika laki-laki menjadi korban kekerasan baik kekerasan seksual atau perundungan, maka dampaknya beragam. Misalnya akan membuat korban memandang dirinya lemah dan tidak berdaya karena apa yang dia alami bertentangan dengan konstruksi jender yang secara kaku menyatakan laki-laki adalah sosok yang kuat, berani, dan dominan.
Selain itu, laki-laki korban akan cenderung dapat muncul perasaan kuat untuk menyalahkan diri, mengapa dia dapat menjadi korban dimana, menurut pandangannya dia semestinya bisa kuat, berani dan dominan, melawan atau menghentikan kekerasan ini.
“Kedua hal di atas, bisa jadi juga cenderung membuatnya menjadi bingung dan ragu apakah dia perlu melaporkan atau bercerita pada lingkungan sekitar atau pihak yang berkepentingan atas kekerasan yang ia alami,” kata Ika.
Baca juga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Baleg Bahas Draf Baru
Tidak hanya itu, ada kekhawatirkan jika bersuara maka, dia akan dipandang lemah, tidak berdaya, kuatir semakin tidak dihargai lingkungan masyarakat yang masih sangat kuat menganut kontruksi gender tradisional tentang “bagaimana mestinya laki laki menampilkan dirinya”. Bahkan bisa jadi muncul kekuatiran yang besar tidak dipercaya bahwa ia mengalami kekerasan dalam hal ini kekerasan seksual dan perundungan.
Belum lagi jika di konteksnya di tempat kerja, laki-laki korban semakin berat menimbang untuk melapor karena kuatir dikenai konsekuensi pemutusan hubungan pekerjaan, dan akan berdampak pada penghasilan. Sementara konstruksi jender tradisional juga mengarahkan tanggung jawab tugas mencari nafkah hanya pada laki-laki, sehingga korban mungkin semakin enggan melapor karena kuatir kehilangan pekerjaannya.
Adapun dampak secara psikologis yang dialami tidak jauh beda dengan ketika perempuan yang menjadi korban. Peristiwa kekerasan terutama kekerasan seksual atau perundungan merupakan peristiwa yang bersifat traumatis, tentu akan menimbulkan respons traumatis bagi korban yang mengalaminya, siapapun korban, laki-laki maupun perempuan. Respons traumatis mulai dari perasaan sedih, takut, cemas hingga rasa tidak aman yang dirasakan secara kuat bagi korban yang mengalaminya.
Persoalannya, ketika yang menjadi korban adalah laki-laki, posisinya menjadi lebih sulit karena konstruksi jender tradisional yang kaku, yang memandang laki-laki sebagai sosok yang tidak boleh memperhatikan perasaan atau emosinya. Sementara pada saat menjadi korban, perasaan perasaan negatif yang secara kuat muncul sebagai respons dari kondisi traumatisnya, namun tidak mendapat kesempatan untuk dibagikan, diceritakan atau dilaporkan dan meminta bantuan untuk dikelola.
Akhirnya, kendati trauma, biasanya hanya semua pengalaman yang dialaminya dipendam, diabaikan atau disangkal. Hal ini tentunya semakin membawa ke arah dampak psikologis yang lebih mendalam atau serius.
Padahal, jika tidak dikelola, dampak psikologis akan lebih serius. “Akan mempengaruhi self esteem, penilaian akan dirinya, terutama jika kita memahami konteks konstruksi jender tradisional tadi, di mana akan mempengaruhi laki-laki korban menilai diri lemah, tidak berdaya, tidak berguna, penakut, merasa gagal, tidak berharga sebagai laki-laki, malu, dan sebagainya,” ujar Ika.
Paraan sedih yang mendalam, ketakutan yang kuat, kecemasan yang kuat serta tidak merasa aman, kemarahan yang kuat juga akan menjadi bagian yang dirasakan korban. Jika berlanjut mengarah pada gangguan psikologis yang lebih serius , post-traumatic stress disorder (PSTD), Complex-PTSD, gangguan kecemasan, depresi hingga keinginan bunuh diri.
Dampak lain adalah gangguan gangguan fungsi aktivitas keseharian, prestasi kerja, sekolah, makan, tidur, relasi dengan orang lain, serta kecenderungan untuk kemungkinan mengarahkan kemarahannya pada subyek atau obyek yang tidak tepat/yang dianggap lebih lemah darinya.
Respons
Menyikapi kasus dugaan pelecehan seksual dan perundungan tersebut, pimpinan KPI, dalam keterangan pers, 1 September lalu menyatakan prihatin, Ketua KPI Agung Suprio menegaskan pihaknya tidak menoleransi segala bentuk pelecehan seksual, perundungan terhadap siapapun dan dalam bentuk apapun.
“Kami akan melakukan langkah-langkah investigasi internal, dengan meminta penjelasan kepada kedua belah pihak, serta mendukung aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus tersebut sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar tegas Agung.
Hingga Sabtu (5/9) dukungan pada MS terus mengalir. Sebanyak 112 organisasi dan ratusan aktivis yang menyebut diri “Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual dalam Lembaga Negara” mengeluarkan pernyataan sikap, mengecam kekerasan seksual dan perundungan yang terjadi di lembaga negara seperti KPI.
Diwakili oleh M. Daerobi (Pengacara Publik LBH APIK), Wiwik Afifah( Koalisi Perempuan Indonesia), Budhis Utami (Kapal Perempuan), Dian Kartikasari (Advokat), Nurul Nur Azizah (AJI Jakarta), Hartoyo (Perkumpulan Suara Kita), dan Umi Lasminah (Wartafeminis.com), mereka mendesak KPI membentuk tim untuk mengungkap kasus tersebut.
KPI diminta melibatkan pihak eksternal, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) atau LBH APIK, dan perlindungan kondisi fisik dan psikis korban juga harus diperhatikan. Kepolisian juga dituntut untuk serius melakukan penyidikan kasus tersebut.
Baca juga Aliansi Pekerja Garmen Dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
KPI sebagai salah satu lembaga negara yang lahir di masa reformasi, seharusnya bekerja dengan semangat reformasi dan mengedepankan kerja-kerja berlandaskan prinsip hak asasi manusia. Peristiwa yang terjadi di KPI menunjukkan terjadinya kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi bertahun-tahun, terus berulang dan sistemik, dan tidak menunjukkan sebagai lembaga negara yang bekerja dengan
Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual dalam Lembaga Negara pun menuntut komitmen dari ketua dan para anggota/komisioner KPI untuk memberikan jaminan keamanan, dukungan psikologis, dan kesejahteraan pada korban dan keluarganya selama proses pemulihan dan penanganan hukum atas kasus tersebut.
Selain itu, KPI juga harus menonaktifkan terduga pelaku kekerasan fisik, mental dan seksual sebagai pegawai KPI selama proses penyidikan hingga selesainya proses hukum dan keadilan bagi korban, serta mendukung pendampingan bagi korban untuk pelaporan ke penegak hukum, dengan melibatkan pengacara (YLBHI, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, atau LBH APIK)
Kekerasan seksual yang terus terjadi dalam berbagai bentuk, dengan korban perempuan dan laki-laki diharapkan semakin mendorong kesadaran publik untuk bersama menghentikan kekerasan seksual. Kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang kini dibahas di DPR semakin mendesak.