Perlunya Memperkuat Sensor Mandiri Masyarakat terhadap Film
Kemudahan mengakses film secara daring perlu diikuti dengan kemampuan sensor mandiri. Publik diharapkan menonton film sesuai kategori usia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Poster film Milea: Suara dari Dilan dipasang di salah satu bioskop di Indonesia, Jakarta, Sabtu (15/2/2020). Film yang mulai tayang pada 13 Februari 2020 ini merupakan film terakhir dari seri trilogi Dilan.
JAKARTA, KOMPAS — Akses menonton film secara daring semakin terbuka. Oleh karena itu, sensor mandiri masyarakat dalam menonton film perlu diperkuat.
”Saat ini, film sangat mudah diakses. Banyak sekali dan tidak ada screening sama sekali. Karena itu, penting sekali menyadarkan masyarakat tentang bagaimana memilah dan memilih tontonan sesuai usia,” kata Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto pada diskusi daring, Rabu (1/9/2021).
Perkembangan teknologi memicu munculnya platform digital untuk mengakses film. Pandemi Covid-19 pun mendorong masyarakat untuk beralih dari bioskop ke platform digital.
Masyarakat pun rela mengalokasikan pengeluaran untuk hiburan di rumah. Menurut survei McKinsey and Company pada 20-22 Mei 2020 terhadap 715 responden di Indonesia, di mana 37 persen responden mengeluarkan uang lebih banyak untuk hiburan di rumah. Salah satu sarana hiburan itu ialah layanan video on demand (VoD).
Jumlah pelanggan layanan VoD di Indonesia pun tumbuh. Pada 2017 ada 42,6 juta pengguna, sementara pada 2020 diprediksi naik menjadi 59,8 juta pengguna. Adapun pada 2024 diperkirakan jumlah penggunanya melonjak hingga 77,1 juta.
Menurut Ketua Subkomisi Media Baru LSF Andi Muslim, kemudahan akses terhadap film perlu diikuti dengan kemampuan sensor mandiri. Sensor mandiri adalah kemampuan memilah dan memilih tontonan sesuai usia. Ada empat klasifikasi usia menurut LSF, yaitu semua umur (SU), 13+, 17+, dan 21+.
”Dampak globalisasi telah masuk ke ruang privat melalui gawai di tangan kita. Masyarakat dapat berinteraksi langsung dengan media, mengisi konten media, hingga menonton film di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja,” ujar Andi.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Ilustrasi aplikasi streaming Netflix di ponsel pintar, Kamis (21/1/2021).
Ia menganjurkan agar anak-anak menonton film dengan pendampingan orangtua. Film yang dipilih agar tidak hanya disesuaikan dengan usia, tetapi juga bermanfaat untuk pengembangan diri. Selain itu, waktu menonton yang disarankan ialah dua jam per hari.
Pelaku perfilman juga perlu mengantongi Surat Tanda Lulus Sensor sebagai izin tayang. Surat ini diberikan oleh LSF setelah melakukan penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film yang akan ditayangkan ke publik. Sensor dilakukan terhadap judul, adegan, suara, teks, hingga terjemahan pada film. LSF akan memberi catatan ke film yang belum lulus sensor.
Warga Desa Karangtalun, Bobotsari, Purbalingga, Jawa Tengah, berbondong-bondong menonton film layar tanjleb atau layar tancap pada pembukaan Festival Film Purbalingga, Sabtu (6/7/2019) malam, di lapangan desa.
Perluas peran
Menurut anggota Komisi I DPR, A Helmy Faishal Zaini, LSF perlu memperluas perannya untuk melakukan literasi media ke masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat menyensor sendiri tontonan yang hendak dikonsumsi. Peran keluarga perlu diperkuat sebagai jaring penyensor pertama.
Ia pun berharap agar film yang beredar di Indonesia tidak hanya menghibur, tetapi juga edukatif. Ini karena film mampu menanamkan pemahaman abadi bagi penontonnya. Film juga punya daya untuk menginspirasi dan menggerakkan individu dan kelompok.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Anggota Komisi I DPR, A Helmy Faishal Zaini, dalam diskusi daring Film di Era Media Baru, Rabu (1/9/2021).
”Kita akan mencapai bonus demografi pada 2045. Penduduk usia produktif mencapai 70 persen sehingga kami mengharapkan generasi yang unggul, yang dibangun dan diedukasi baik lewat film maupun sumber lain,” tutur Helmy.
Menurut CEO MD Pictures Manoj Punjabi, sedapat mungkin ia menyisipkan pesan positif pada setiap film yang diproduksi. Sebab, film memengaruhi budaya suatu bangsa. Namun, hal itu harus dilakukan dengan terampil agar film tetap menghibur tanpa terkesan menggurui.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
CEO MD Pictures Manoj Punjabi dalam diskusi daring Film di Era Media Baru, Rabu (1/9/2021).
Di sisi lain, digitalisasi merupakan masa depan industri film. Strategi digital diperlukan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Membaca pasar dan menciptakan pasar sendiri pun penting. Adapun strategi digital sudah diadopsi perusahaannya sejak 2017.