Menyiapkan Pembelajaran Campuran yang Bermutu
Sekolah-sekolah bersiap menyelenggarakan pembelajaran tatap muka secara terbatas di masa pandemi Covid-19. Untuk menjamin mutu pembelajaran campuran tersebut, perlu pembenahan infrastruktur sekolah.
Pembelajaran tatap muka secara terbatas mulai berjalan seiring penurunan level bahaya pandemi Covid-19 di sejumlah daerah. Kini banyak sekolah mendata kondisi siswa, menyiapkan sarana sekolah, dan menanti izin penyelenggaraan belajar di sekolah.
Namun, pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas bukanlah sekolah dalam kondisi normal. Jadi, pembelajaran tatap muka hanya selama sekitar dua jam dan tidak setiap hari siswa hadir ke sekolah. Pembelajaran dengan model campuran atau hybrid learning (pembelajaran hibrida) pun menjadi gaya belajar yang siap diadopsi guru dan siswa.
Di SMA Negeri 1 Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, misalnya, sudah tiga pekan terakhir ini menyelenggarakan PTM terbatas selain membenahi pembelajaran digital. ”Sudah tiga minggu ini PTM terbatas dilakukan,” kata Berry Devanda, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAN 1 Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Menurut Berry Devanda, belajar dari rumah di masa pandemi Covid-19 secara digital mengandalkan aplikasi pesan cepat. Untuk siswa yang terkendala akses internet atau perangkat, guru membuat kelompok belajar di rumah dan memberikan modul.
Dari evaluasi pembelajaran dari rumah selama pandemi, ada sejumlah persoalan antara lain penggunaan aplikasi instan messaging tidak efektif, siswa tidak mendapat layanan belajar memadai, penyimpanan gawai terbatas, dampak pada ruang pribadi guru, serta pembelajaran tidak dapat dipantau.
Baca juga: Menyambut Sekolah Tatap Muka, Efektivitas Metode Campuran Masih Dipertanyakan
Kondisi itu mengakibatkan sampai malam siswa mengontak guru. Para siswa mempunyai akun Google Classroom yang berbeda-beda sesuai jumlah mata pelajaran. Sekolah pun tidak bisa memastikan apakah siswa mendapatkan layanan belajar yang baik.
Porsi terbesar
Meski ada sejumlah kendala, pembelajaran jarak jauh (PJJ) jadi porsi terbesar yang akan dirasakan siswa di masa pemberlakuan PTM terbatas. Situasi belajar bisa dinamis, sekolah sewaktu-waktu bisa ditutup jika ada warga sekolah tertular SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, dan area naik levelnya ke empat.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menyadari PTM terbatas harus mulai berjalan dengan sejumlah syarat ketat. Salah satunya dengan mengantisipasi model pembelajaran campuran.
Sayangnya, selama pandemi Covdi-19 yang mengakibatkan sekolah ditutup sejak Maret 2020, PJJ minim menghadirkan layanan belajar daring bermutu. Akibatnya, ancaman penurunan kemampuan belajar (learning loss) terjadi pada siswa di semua jenjang pendidikan karena berbagai kendala pembelajaran jarak jauh.
”Karena penyelenggaraan PTM dan PJJ beriringan, perlu ada pemetaan materi tiap mata pelajaran. Materi yang mudah dan sedang diberikan dalam PJJ dengan bantuan modul, sedangkan materi yang sulit disampaikan saat PTM. Tujuannya agar ada interaksi dan dialog langsung antar peserta didik dengan pendidik,” kata anggota komisioner KPAI, Retno Listyatri, dalam Rapat Koordinasi KPAI tentang PTM terbatas dan vaksinasi anak, Senin (30/8/2021).
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi X DPR mengatakan, model belajar campuran masih akan terjadi karena PTM terbatas bukan sekolah normal.
Karena penyelenggaraan PTM dan PJJ beriringan, perlu ada pemetaan materi tiap mata pelajaran.
Adapun sekolah menyediakan layan PTM terbatas dan PJJ karena jam belajar di sekolah terbatas dan kapasitas siswa di kelas serta sekolah maksimal 50 persen saat PTM. Pembelajaran tatap muka hanya untuk materi yang esensial, terutama memastikan kecakapan literasi dan numerasi tetap kuat.
Meski Kemdikbudristek menyediakan pilihan kurikulum darurat, dengan penyederhanaan materi esensial, hanya berkisar 36 persen dari jumlah total sekolah yang memakainya. Terbanyak tetap memberlakukan kurikulum nasional dan kurikulum mandiri.
Disadari bahwa pembelajaran di era pandemi Covid-19 memicu krisis pembelajaran. Akibat PJJ tidak memadai, PTM terbatas diperintahkan harus segera dilaksanakan dan seaman mungkin demi mengatasi dampak learning loss dan kondisi psikologi dan sosial-emosional anak lebih dari satu tahun belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru dan teman-teman di sekolah.
Baca juga: Cakupan Vaksin dan ”Screening” Sangat Penting Saat PTM Terbatas Digelar
Komisi X DPR pun mendesak agar penguatan program digitalisasi sekolah secara nasional diprioritaskan. Apalagi ada disparitas digital yang mencuat di berbagai wilayah sehingga infrastruktur dan mutu layanan PJJ perlu dibenahi.
”Masih ada kendala untuk transformasi ke pendidikan digital. Ada guru yang masih belum termotivasi. Masalah lain yakni kualitas koneksi internet belum baik dan akses perangkat pendukung terbatas. Kurang dari 10 persen siswa yang punya perangkat sendiri, yang lain berbagi dengan keluarga,” tutur Berry.
Berbagai hambatan
Pandemi Covid-19 menuntut perubahan ke pendidikan digital semakin cepat. Dari kajian Unicef, Indonesia yang menganalisis situasi lanskap pembelajaran digital di Indonesia tahun 2021 perlu ada penguatan konten dan platform; kemampuan digital guru dan murid, serta perluasan akses konektivitas.
”Temuan ini juga mengonfirmasi pentingnya keterlibatan seluruh pihak dalam memajukan pembelajaran digital bagi semua,” kata perwakilan Unicef Indonesia, Debora Comini.
Harapannya, momentum pendidikan digital ini terus terbangun sehingga semua anak dapat mengakses secara merata pembelajaran berkualitas dari mana saja di Tanah Air, bahkan dari tempat paling terpencil.
”Kita juga perlu memastikan perluasan pendidikan digital seimbang untuk melengkapi, mendorong, dan menumbuhkan keterampilan belajar dasar yang diperlukan untuk mengatasi krisis pembelajaran,” ujarnya.
Chief of Education Unicef Indonesia Katheryn Bennett memaparkan potret situasi pendidikan Indonesia yang menghadapi krisis. Ada 646.200 sekolah dengan lebih dari 68 juta siswa dan 4 juta guru terdampak pandemi Covid-19. Anak-anak dengan penyandang disabilitas paling terdampak dalam mengakses layanan belajar.
Dengan kebijakan belajar dari rumah atau daring, 28 persen orangtua mengalami hambatan membantu anak belajar dan 67 persen guru kesulitan mengoperasikan perangkat dan menggunakan platform pembelajaran digital. Siswa pun menghadapi tantangan belajar, yakni kekurangan bimbingan guru (38 persen) dan akses internet (35 persen).
Baca juga: Terbatasnya Pembelajaran Tatap Muka Terbatas
Dari kajian Unicef secara internasional di tahun 2020, sebanyak 70 persen siswa merasa tertinggal dalam pembelajaran. Mereka pun merasa yakin akan berdampak tidak baik pada pencarian kerja di masa depan.
Katheryn mengatakan, di era pandemi ada banyak inisiatif dari sektor teknologi pendidikan yang membantu penyiapan pembelajaran digital. Namun, masih banyak sumbatan dalam implementasinya untuk pengembangan dan efektivitas pembelajaran digital yang setara atau inklusif.
Ada tiga masalah yang harus diatasi Indonesia terkait konten dan platform pembelajaran digital, kecakapan digital siswa dan guru, serta konektiviats digital di sekolah. Hal ini ditemukan berdasarkan riset Unicef Indonesia di kurun waktu bulan Desember 2020-Februari 2021.
Ada keterbatasan untuk memanfaatkan platform teknologi pendidikan oleh siswa dan guru. Platform media sosial dan aplikasi konferensi pun lebih populer dari platform teknologi pendidikan karena lebih mudah digunakan, terjangkau, dan tidak butuh internet dengan kecepatan tinggi. Selain itu, kebutuhan pengembangan lebih banyak konten untuk kelompok anak-anak marjinal, seperti penyandang disabiltas dan di daerah terpencil.
Terkait kecakapan digital, sebenarnya para siswa punya hasrat kuat dan potensi untuk belajar digital, tetapi kekurangan keterampilan untuk bisa memasuki dunia kerja yang sudah ekonomi digital. Banyak siswa berjuang menyesuaikan diri dapat belajar digital, tetapi orangtua kekurangan kapasitas mendukung mereka. Juga ada ketidakseimbangan jender dalam mengakses belajar digital.
”Banyak guru tidak punya kecakapan digital yang disyaratkan untuk pendidikan online dan punya pelatihan terbatas,” kata Katheryn.
Hal yang penting diatasi juga soal konektivitas di sekolah. Banyak siswa yang masih belum punya konekvitas memadai untuk belajar daring. Tantangan masalah ini termasuk biaya internet yang tinggi dan kekurangan pada konektivitas 4G.
Sedikitnya hanya 15 persen anak-anak d di pedesaan dan 25 persen anak-anak kota mempunyai akses terhadap komputer. Banyak anak berbagi smartphone atau telepon pintar dengan saudara dan orangtua. Akses internet sangat senjang, di DKI mencapai 89 persen, sedangkan di Papua baru 29 persen.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Iwan Syahril mengatakan, pembelajaran digital dapat memperluas kesempatan guru dan murid untuk menjelajah berbagai sumber pengetahuan dan untuk berkolaborasi. ”Melalui pembelajaran digital dapat menjadikan proses belajar jauh lebih menarik, bermanfaat, dan berkeadilan,” tuturnya.
Tiga pilar
Saat ini, Kemendikbudristek mengembangkan tiga pilar dalam transformasi pembelajaran menggunakan teknologi digital. Pilar pertama yakni pengembangan kemampuan talenta digital untuk para pendidik dan tenaga kependidikan.
Sejak tahun 2018, Kemendikbudristek memiliki program Pembelajaran Berbasis TIK atau PembaTIK. Tahun 2018 peserta masih berjumlah 6.800 orang, tahun 2019 jumlah peserta naik menjadi 28.000 orang. ”Tahun 2020 dan 2021 pada saat pandemi peserta PembaTIK meningkat pesat menjadi 70.000 orang di tahun 2020 dan tahun ini 80.000 orang,” kata Iwan.
Pilar kedua berupa pengembangan platform dan konten digital. ”Sejak tahun 2012, Kemendikbudristek mengembangkan platform Rumah Belajar yang bisa digunakan guru, siswa, dan masyarakat secara gratis. Platform ini memiliki pengguna lebih dari 20 juta dan diakses oleh lebih dari 217 juta kali,” ujarnya.
Sebagai respons atas pandemi Covid-19, sejak tahun 2020, Kemendikbudristek mengembangkan platform teknologi bernama Guru Belajar dan Berbagi. ”Ada dua fitur utama di sini, pertama Ayo Guru Belajar dan yang kedua Ayo Guru Berbagi,” kata Iwan.
Selanjutnya, pilar ketiga yakni pengembangan dan fasilitasi jangkauan jaringan internet, infrastruktur, serta praktik. “”Kemendikbudristek terus menjalin kerja sama dengan berbagai kementerian dan lembaga, khususnya dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membangun jaringan internet di seluruh daerah di Indonesia,” ujarnya.