Sebagai penghuni kawasan maritim, penduduk Nusantara zaman dulu mengandalkan perahu untuk beraktivitas. Kekayaan perahu itu masih ada hingga kini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menyimpan kekayaan perahu tradisional yang diwariskan leluhur di sejumlah daerah. Penelitian dan upaya rekonstruksi kapal dilakukan demi mempelajari teknologi bahari masa lampau.
Arkeolog Universitas Indonesia Ali Akbar mengatakan, perahu tradisional berkembang di Nusantara sejak lama, bahkan jauh sebelum bangsa Eropa tiba pada abad ke-15. Perahu sudah ada sejak zaman prasejarah. Ini berdasarkan temuan arkeologis berupa coretan di dinding gua, seperti pada Gua Metanduno dan Gua Kobori di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara.
”Di situ tampak keragaman perahu dan ukurannya. Tapi, lukisan ini masih menyisakan pertanyaan soal usianya. Menurut penelitian, lukisan di Sulawesi Selatan berumur 4.000 tahun, Papua Barat 1.000 tahun, dan Kalimantan 10.000 tahun,” kata Ali pada diskusi daring Kekayaan dan Kejayaan Tradisi Perahu Nusantara, Rabu (1/9/2021).
Selain coretan di gua, perahu juga disebutkan dalam prasasti Lobu Tua yang diperkirakan dibuat pada tahun 1088. Para peneliti juga menemukan kubur batu yang berbentuk seperti perahu di sejumlah daerah seperti Lampung dan Kalimantan.
Sejumlah relief pada Candi Borobudur menyimpan bukti perkembangan kapal tradisional. Salah satu relief menggambarkan perahu tanpa layar yang digerakkan dengan galah atau dayung. Ali mengatakan, setidaknya ada enam relief yang menggambarkan perahu di Candi Borobudur.
Salah satu kapal pada relief tersebut kemudian diteliti dan direkonstruksi. Pembuatan kapal ini digagas oleh Philip Beale. Kapal tersebut dinamai Samudra Raksa oleh Presiden kelima Megawati Soekarnoputri.
Kapal yang dibuat selama enam bulan ini lalu digunakan untuk Ekspedisi Kapal Borobudur: Indonesia to Africa 2003. Kapal dipakai untuk melewati rute perdagangan kayu manis dari Jakarta ke Pelabuhan Tema, Accra, Ghana, Afrika Barat. Perjalanan berlangsung pada 15 Agustus 2003 hingga 23 Februari 2004.
Perahu sudah ada sejak zaman prasejarah. Ini berdasarkan temuan arkeologis berupa coretan di dinding gua, seperti pada Gua Metanduno dan Gua Kobori di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara.
Menurut antropolog Dwi Putro Sulaksono, perahu tradisional suku Banjar di Kalimantan Selatan dibuat dengan pemahaman dan pengetahuan masyarakat lokal. Selain perahu tradisional, ada pula perahu yang disebut jukung. Badan jukung berbentuk seperti huruf U sementara badan perahu Banjar huruf V.
Antropolog Universitas Cenderawasih, Christine OI Sanggenafa, mengatakan, jenis perahu tradisional di Papua beragam tergantung suku. Perahu suku Biak, misalnya, terbagi menjadi tiga, yaitu waimansusu, wairon, dan waipapa.
Sementara Suku Kamoro menyebut kapal tradisional mereka, ku. Kapal merupakan alat transportasi vital bagi masyarakat Kamoro. Saking pentingnya, perahu dirawat bagai merawat orangtua.
Kekayaan teknologi maritim Nusantara di masa lampau masih dapat digali. Sejumlah penelitian pun masih dilakukan para peneliti.
Ali mengatakan, mencari temuan arkeologis, khususnya perahu, dapat menjadi tantangan. Ini karena perahu umumnya terbuat dari kayu sehingga mudah rusak. Ada pula perahu-perahu yang hancur karena perang serta perahu tertimbun sedimentasi.
Kompleks
Menurut antropolog maritim Horst Liebner, sebelum masa revolusi industri, kapal merupakan artefak peninggalan manusia yang paling kompleks karena kapal dibuat dengan teknologi yang rumit dan detail.
Liebner yang aktif meneliti di Sulawesi ini mengatakan, kapal dibuat dengan membuat kurva-kurva kayu yang hamonis. Ini dilakukan berdasarkan konsep aritmetika dan geometri. Hal ini juga menunjukkan kemajuan teknologi maritim di masa lalu.
Adapun kapal pinisi dari Sulawesi Selatan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2017. Penetapan ini berkaitan dengan pengetahuan teknik perkapalan yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang.
Mengutip laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, pengetahuan pembuatan perahu dengan rumus dan pola penyusunan lambung sudah dikenal setidaknya selama 1.500 tahun. Pola penyusunan itu berdasar teknologi yang berkembang selama 3.000 tahun. Adapun tahap pembuatan perahu mengandung sejumlah nilai, seperti kerja sama, kerja keras, ketelitian, dan penghargaan terhadap alam.