Ciuman Bibir Tidak Universal
Ciuman bibir pada manusia ternyata perilaku yang relatif baru. Budaya Melayu tidak mengenalnya sebagai hal intim. Perilaku ini diduga dibawa dari dunia Barat.
Masih ingatkah dengan ciuman pertama Anda, ketika dua bibir saling menyatu? Rasa penasaran, jantung berdebar-debar, dan nyaman berpadu dengan rasa khawatir, takut, bahkan jijik. Namun, rasa yang rumit itu sering kali mendorong orang untuk melakukannya lagi.
Ciuman merupakan perilaku pencarian pasangan yang tertanam dalam gen manusia. Ciuman bisa membuat bahagia, menghilangkan stres, mengurangi kecemasan, hingga membangun ikatan dengan pasangan. Secara biologis, manusia memang didorong untuk mendekatkan wajah mereka ke orang lain guna mengendus aroma pasangan kita, baik dengan berciuman maupun menggesek hidung.
Walau demikian, banyak orang tidak sadar bahwa saat berciuman, mereka akan saling bertukar 9 mililiter air, 0,7 miligram (mg) protein, 0,18 mg senyawa organik, 0,71 mg lemak, dan 0,45 mg natrium klorida atau garam. Namun, tak penting juga untuk menghitung pertukaran aneka senyawa itu karena sensasi ciuman jauh lebih menggoda.
Tidak hanya itu, seperti dikutip dari Smithsonian Magazine, 8 Februari 2016, saat berciuman juga akan terjadi pertukaan 10 juta hingga 1 miliar bakteri. Kontak bibir ini juga bisa menjadi sarana penularan sejumlah organisme patologis penyebab pilek dan aneka virus pada pernapasan, tuberkulosis, herpes, sifilis, radang, hingga yang terbaru virus korona penyebab Covid-19.
Ciuman bibir sebagai perilaku romantisisme manusia sepertinya merupakan budaya baru. Dari berbagai bukti, nenek moyang manusia tidak melakukannya.
Meski banyak orang melakukannya, nyatanya ciuman bibir bukanlah perilaku universal, tidak semua orang mempraktikkannya. Menurut banyak ahli filematologi, ilmu tentang ciuman, ciuman bibir bukanlah bawaan lahir atau naluriah manusia. Ciuman bibir adalah perilaku yang dipelajari. Diperkirakan ada 10 persen manusia tidak melakukannya.
”Kebutuhan akan sensualitas bisa dipenuhi dengan berbagai cara, tidak hanya ciuman,” kata William Jankowiak, profesor antropologi di Universitas Nevada, Las Vegas, Amerika Serikat, seperti dikutip dari artikel William Park di BBC, 16 Agustus 2021.
Studi yang dipimpin Jankowiak dan dipublikasikan di jurnal American Anthropologist, 6 Juli 2015, menyebutkan, dari 168 budaya yang dipelajari di seluruh dunia, hanya 46 persen yang menjadikan ciuman bibir sebagai tindakan romantis pada pasangan. Dalam studi ini, ciuman bibir antara orangtua dan anak tidak diperhitungkan.
Salah satu budaya yang tidak menjadikan ciuman bibir sebagai perbuatan intim adalah budaya Melayu. Sheril Kirshenbaum dalam buku The Science of Kissing, 2011, menyebut Charles Darwin, bapak evolusi, menggambarkan ciuman Melayu atau Malay kiss dilakukan dengan cara sang perempuan berlutut dan sang laki-laki membungkuk di atasnya. Kemudian, mereka saling menggesekkan tulang hidung sembari menghirup aroma pasangannya.
Sementara itu, pasangan kekasih di Kepulauan Trobriand di timur Papua Niugini berciuman dengan cara duduk saling berhadapan dan menggigit bulu mata pasangan. Meski bagi sebagian besar orang cara ini dianggap tidak romantis, masyarakat di kepulauan tersebut tetap bisa merasakan romantisisme dari tindakan tersebut.
Karena itu, ciuman bibir sebagai perilaku romantis diperkirakan lahir dalam budaya masyarakat Barat yang diwariskan dari generasi ke generasi dan disebarluaskan sehingga seolah menjadi standar global.
Di masa lalu, nenek moyang manusia hidup dalam kelompok pemburu dan peramu hingga mereka menemukan sistem pertanian pada 10.000 tahun yang lalu. Jika kelompok pemburu dan peramu yang ada hingga kini tidak mempraktikkan ciuman bibir, kemungkinan besar leluhur mereka juga tidak melakukannya.
Rafael Wlodarski dari Universitas Oxford, Inggris, menyebut ciuman merupakan temuan manusia yang masih cukup baru. Selain muncul di Barat, ciuman bibir juga diperkirakan baru ada sekitar 2.000 tahun yang lalu.
Baca juga : Cerpen Tato, Ciuman, dan Sebuah Nama
Sejumlah catatan kuno menunjukkan bahwa ciuman di masa kini telah banyak berubah dibandingkan dengan di masa lalu. Bukti tertua ciuman ada dalam Weda sejak lebih dari 3.500 tahun lalu. Dalam kitab berbahasa Sanskerta itu, ciuman digambarkan sebagai menghirup jiwa antara satu dan yang lain.
Sementara itu, hieroglif Mesir menggambarkan ciuman sebagai tindakan orang-orang mendekat satu sama lain, bukan dengan saling mengatupkan bibir seperti sekarang.
Indera penciuman tajam
Ciuman juga bukan suatu hal yang evolusioner karena ciuman bibir juga tidak umum pada binatang. Sejumlah primata kerabat dekat manusia, seperti simpanse dan bonobo, juga berciuman. Namun, cara dan tujuannya berbeda dengan yang dilakukan manusia.
Frans de Waal, ahli primata di Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, seperti ditulis dalam artikel Meliisa Hogenboom di BBC, 14 Juli 2015, menyebut simpanse berciuman dan berpelukan sebagai bentuk rekonsiliasi setelah mereka berkonflik. Namun, tindakan ini umum dilakukan antarsimpanse jantan daripada simpanse jantan dengan betina.
Bonobo berciuman lebih intensif dibandingkan dengan simpanse. Kerabat dekat simpanse ini sering kali menggunakan lidahnya saat berciuman. Jika manusia saling berjabat tangan saat bertemu, bonobo berjabat tangan untuk keperluan seksual dan berbagai ikatan lainnya. Jadi, meski simpanse dan bonobo berciuman, hal itu dilakukan bukan untuk keperluan romantis.
Selain dua binatang itu, nyaris tidak ditemukan ciuman pada binatang lain meski mereka juga memiliki bibir. Hal itu terjadi karena hewan umumnya memiliki indera penciuman yang sangat tajam yang memungkinkan mereka untuk kawin meski tanpa melakukan ciuman bibir.
Babi hutan jantan akan mengeluarkan bau tajam yang mengandung androstenon, satu jenis feromon atau zat kimia yang merangsang dan memikat secara seksual yang ada pada keringat dan urine. Bau androstenon yang sangat menyengat itu justru disukai babi hutan betina dan mendorongnya untuk kawin dengan sang babi hutan jantan. Kuatnya bau androstenon itu membuat babi hutan betina tidak perlu mendekat untuk mencium bau sang pejantan.
Selain itu, banyaknya androstenon yang dihasilkan babi hutan jantan juga menandakan dia makin subur. Ini adalah informasi penting yang dibutuhkan babi hutan betina untuk mengetahui seberapa baik kualitas sang jantan.
Baca juga : Berapa Kali Anda Berhubungan Suami-Istri dalam Seminggu?
Kondisi serupa juga terjadi pada sejumlah mamalia lain. Hamster betina akan mengeluarkan feromon yang membuat hamster jantan tergoda. Sementara tikus menjejak senyawa kimia tertentu yang membantunya untuk menemukan pasangan yang secara genetik berbeda hingga mengurangi risiko inses.
Bukan hanya mamalia yang menghasilkan feromon. Laba-laba janda hitam (Latrodectus) jantan bisa mencium feromon dari sang betina yang memberi sinyal kepada laba-laba jantan bahwa dia baru saja makan. Laba-laba jantan hanya akan mengawini sang betina jika laba-laba betina tidak lapar.
”Bau urine binatang lebih tajam. Keberadaan urine itu di lingkungan membantu mereka menilai kecocokan pasangan kawin mereka,” tambah Wlodarski. Bau kuat itulah yang membuat binatang tidak perlu saling berdekatan untuk mencium bau pasangan potensial mereka sehingga ciuman bibir tidak umum pada binatang.
Namun, penciuman tajam itu tidak dimiliki manusia. Konsekuensinya, manusia butuh mendekat. Meski bau bukan menjadi satu-satunya alat untuk menilai kebugaran pada manusia untuk kawin, bau memiliki peran penting bagi manusia dalam memilih pasangan kawin.
Studi Claus Wedekind dan rekan yang dipublikasikan di Proceedings of the Royal Society B, Biological Sciences pada 22 Juni 1995 menunjukkan, perempuan lebih suka aroma laki-laki yang secara genetik berbeda dengan mereka, sama seperti pada tikus. Dengan kawin dengan pasangan yang secara genetik berbeda, maka peluang melahirkan keturunan yang lebih sehat makin besar. Nah, ciuman memungkinkan manusia untuk mengendus gen pasangan mereka.
Penelitian Wlodarski dan rekan di Archives of Sexual Behavior, 11 Oktober 2013, juga menunjukkan bau seseorang menjadi perhatian utama saat berciuman. Saat perempuan dalam masa subur, perhatian perempuan pada bau pasangan makin meningkat.
Sebaliknya, sama dengan babi hutan jantan, laki-laki juga mengeluarkan feromon melalui keringat mereka. Bau keringat laki-laki itu bisa meningkatkan sedikit gairah perempuan.
”Secara biologis, manusia mewarisi berbagai karakter yang ada pada mamalia. Selanjutnya, manusia menambahkan sejumlah hal seiring proses evolusi,” kata Wlodarski.
Karena itu, ciuman merupakan cara yang dapat diterima secara budaya agar pasangan bisa saling mendekat dan mendeteksi feromon mereka. Dalam beberapa budaya, perilaku mengendus bau pasangan itu berubah menjadi ciuman bibir. Meski demikian, baik mengendus, menggesek hidung dan wajah, maupun mencium bibir memiliki tujuan sama dalam pemilihan pasangan kawin.