Walau diam saja, tembok ternyata ”banyak bicara” ketika tubuhnya digambar ini-itu dan ditulis macam-macam. Tubuhnya jadi warna-warni dan sarat pesan dari warga yang tidak punya ruang bicara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Grafiti berisi narasi perjuangan dan perlawanan sudah ada di Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Seniman bergerilya dari tembok ke tembok, menyapukan cat, kemudian merangkai kata. Kondisi serupa masih terjadi pada 2021.
Pada 18 Agustus 2021 malam, seniman Edi Bonetski membuat mural di Jalan Inpres, Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten bersama sejumlah warga lokal. Mereka membeli cat sendiri, lalu menggambar di tembok salah satu warung yang kerap digambar orang-orang. Setelah dua jam, tepatnya 19 Agustus 2021 pukul 01.00, muralnya selesai.
Mural tersebut bukan hanya berisi gambar, tapi ada pula tulisan ”Hapus Korupsi, Boekan Muralnya”. Pada 20 Agustus 2021, mural itu dihapus dengan timpaan cat abu-abu.
Mural karya seniman Edi Bonetski di Jalan Inpres, Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten. Mural itu dibuat pada 18 Agustus 2021 malam, kemudian dihapus pada 20 Agustus 2021. Mural dihapus pihak lain karena dinilai melanggar kebersihan, ketertiban, dan keindahan. Karya Edi bukan satu-satunya yang dihapus dari jalanan. Ada banyak lainnya, seperti tulisan ”Tuhan Aku Lapar” di Jalan Aryawasangkara, Kabupaten Tangerang. Ada pula gambar wajah yang disebut mirip Presiden Joko Widodo yang bagian matanya ditutupi tulisan ”404: Not Found”.
Belakangan banyak seni jalanan atau street art yang dihapus karena dinilai provokatif, baik mural maupun grafiti. Mural Edi dihapus karena dinilai melanggar kebersihan, ketertiban, dan keindahan (K3). Menurut dia, tidak masalah jika muralnya dihapus karena itu bentuk ekspresi, bukan tindakan pidana.
”Kami hanya mau bilang bahwa mural bukan kriminal,” katanya di Jakarta, Minggu (22/8/2021). ”Seni itu harus bicara soal kebenaran. Dengan kesadaran tubuh, seniman harus bisa memberi pembelajaran ke siapa saja, misalnya, bahwa korupsi itu jahat,” tambahnya.
Selain pembelajaran, seni jalanan juga jadi media untuk merespons situasi yang dialami masyarakat. Bagi sebagian orang, ruang formal menyampaikan aspirasi tidak tersedia. Tembok pun jadi penyampai pesan mereka.
”Warga jadi membuat ruang kreatif mereka sendiri, baik di gang, pasar, atau terminal. Sebenarnya karya mereka bisa diarsipkan menjadi ruang pameran warga,” ucap Edi.
Saat dihubungi terpisah pada Senin (30/8/2021), seniman Darbotz menjelaskan bahwa mural dan grafiti mewakili masing-masing seniman. Ada yang berkarya untuk mewujudkan idealisme seni, ada juga yang protes secara anonim.
Adapun Darbotz dikenal karena gambarnya yang kerap menampilkan karakter monster. Monster itu diumpamakan sebagai alter egonya saat tinggal di Jakarta. Ia harus jadi ”monster” agar tidak ditindas di kota besar. Darbotz mengatakan, muralnya menyinggung isu sosial secara implisit.
Sejak kemerdekaan
Seni jalanan dengan narasi kritis sebenarnya sudah ada sejak zaman kemerdekaan. Grafiti dengan pesan kemerdekaan bisa ditemukan di tembok bangunan, rumah, hingga trem. Selain grafiti, juga ada poster-poster dengan narasi serupa. Salah satu poster populer dibuat oleh pelukis Affandi dengan tulisan ”Boeng, Ajo Boeng”.
Salah satu grafiti terekam dalam foto karya fotografer Amerika Serikat, John Florea. Tulisannya, ”Indonesia’s Inalienable Right: Her Constitution of ’Boeng, Ajo Boeng: Pertahankan Bendera Kita’ Aug.18-1945”. Grafiti ini bersanding dengan poster ”Boeng, Ajo Boeng”.
Pengajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung Aminudin TH Siregar mengatakan, maestro lukis S Sudjojono turut berpartisipasi dalam pembuatan grafiti ini. ”Menurut saya, grafiti sudah kiprahnya para pejuang,” katanya di diskusi daring berjudul ”Bicara Rupa Seri Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia: Seniman dan Revolusi Indonesia”, 18 Agustus 2021.
Dengan perkembangan seni rupa di Indonesia, berkembang pula rupa grafiti, mural, dan produk seni jalanan lain. Pesan yang disampaikan pun semakin beragam mengikuti tantangan zaman. Cara seniman merespons penghapusan street art pun juga semakin variatif.
Gerakan Gejayan Memanggil di Yogyakarta, misalnya, mengadakan Lomba Mural #Dibungkam. Salah satu kriteria penilaiannya yaitu aparat bertindak cepat untuk menghapus mural yang dibuat peserta. Semakin cepat mural dihapus, semakin baik.
Adapun mural tidak boleh mengandung unsur SARA. Mural juga harus menunjukkan keberanian, semangat melawan, dan diapresiasi masyarakat.
Pengumuman lomba diunggah di akun media sosial Gejayan Memanggil pekan lalu. Sejak saat itu, sejumlah orang membagikan mural yang mereka buat. Mural itu tersebar di ruang-ruang publik Yogyakarta. Sebagian mural juga ada di daerah lain, seperti Banjarmasin, Bangka Belitung, dan Sumbawa Besar.
Lomba Perlawanan Mural juga digelar akun Instagram @opposite6890.ru pekan lalu. Lomba ini terbuka untuk umum dengan sejumlah kriteria, yaitu tidak mengandung unsur SARA, kritis dan berani, serta bertema perlawanan.
Sebelumnya, menurut Edi Bonetski, mural yang dihapus tidak akan menghilangkan jejak seni jalanan. Ibaratnya, mati satu tumbuh seribu.
Media ekspresi
Kurator seni Mikke Susanto mengatakan, salah satu fungsi seni ialah fungsi sosial. Seni menjadi media ekspresi publik untuk menyatakan sikap dan jati diri mereka.
”Karya seni menjadi bagian dari produk zaman, terutama seni kontemporer. Mural itu media budaya kontemporer yang bisa terus hidup dan mendeskripsikan zaman. Adapun mural tidak abadi, beda dengan lukisan. Mural menjadi bagian kenyataan kota,” ucap Mikke.
Mural, grafiti, dan seni jalanan lain tidak dapat serta-merta dikategorikan sebagai vandalisme. Mikke mengatakan, sesuatu bisa dikatakan vandal jika tidak sesuai dengan lingkungan. Ukuran vandalisme adalah kepantasan, sedangkan kepantasan tidak dapat diukur dengan parameter yang baku.
Seni jalanan yang dihapus dianggap hal wajar. Namun, yang perlu diperhatikan adalah gejala sosial yang mendorong terciptanya seni jalanan. Menurutnya, seni jalanan dan pesan di dalamnya menggambarkan kondisi masyarakat.
Jadi, mural dan grafiti bukan masalah pokok. Yang jadi masalah adalah situasi yang dialami publik. Situasi perlu diperbaiki agar kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Seni bukan ancaman, sebab the ”earth” without ”art” is just ”eh” atau ”earth” tanpa ”art” hanyalah ”eh”. Ya, bukan?