Pastikan Pendampingan Sosial bagi Anak Yatim Piatu karena Covid-19
Anak yang kehilangan orangtua akibat pandemi Covid-19 membutuhkan dukungan. Pendampingan psikologis sangat penting diberikan agar mereka bisa melewati masa-masa sulit setelah ditinggalkan orangtua mereka.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak yatim piatu yang kehilangan orangtua karena Covid-19 butuh penanganan yang komprehensif dari pemerintah. Selain anggaran, anak-anak itu juga perlu pendampingan sosial untuk memastikan kelanjutan pengasuhan, menyediakan dukungan, dan lainnya.
”Kalau hanya fokus ke bantuan tunai tanpa memperbaiki tata kelola pendampingan anak yatim piatu, kita akan gagal memberikan dukungan yang optimal. Sumber daya yang tersedia akan terserap untuk mendistribusikan bantuan tunai,” ujar Santi Kusumaningrum, Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia, dalam keterangan pers kepada Kompas, Senin (30/8/2021).
Pernyataan Puskapa UI tersebut menanggapi rencana Kementerian Sosial yang menganggarkan dana Rp 3,2 triliun untuk membantu anak yatim piatu, termasuk karena pandemi, melalui program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) Anak.
Menteri Sosial Tri Rismaharini, pekan lalu, menyatakan bahwa Program Atensi tidak hanya memberikan dukungan untuk kebutuhan fisik anak melalui bantuan tunai, tapi juga pendampingan, seperti dukungan psikososial, keberlanjutan pengasuhan, dan pendidikan. Namun, hal ini tidak tecermin dari anggaran yang dialokasikan, yang sepenuhnya digunakan untuk bantuan tunai.
Data Kemensos per Mei 2021, ada sekitar 44.000 anak yatim piatu yang tinggal di panti sosial anak atau yang disebut dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) dan sekitar 20.000 anak yang orangtuanya meninggal karena Covid-19.
Berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), ada 4.023.622 anak di bawah usia 18 tahun, belum menikah, tercatat dalam kartu keluarga, dengan status ayah/ibu/ayah dan ibunya sudah meninggal. Adapun Susenas 2020 memperkirakan ada 6,4 juta anak yang tidak memiliki nomor induk kependudukan (NIK) yang berada di kelompok 40 persen penduduk termiskin. Hal ini memperbesar risiko mereka tidak mendapatkan bantuan sosial.
Menurut Santi, kemiskinan biasanya beririsan dengan kerentanan lain, misalnya terhambat akses pada bantuan dan layanan dasar, kehilangan pengasuhan, serta mengalami kekerasan. ”Kalaupun ingin memberikan bantuan tunai, manfaatkan mekanisme yang sudah ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), agar anggaran bisa dialihkan sebagian untuk memperkuat pendampingan,” katanya.
Kalau hanya fokus ke bantuan tunai tanpa memperbaiki tata kelola pendampingan anak yatim piatu, kita akan gagal memberikan dukungan yang optimal. Sumber daya yang tersedia akan terserap untuk mendistribusikan bantuan tunai.
Oleh karena itulah, Puskapa UI meminta pemerintah agar selain menyalurkan bantuan tunai juga memperbaiki pengumpulan data dasar, melakukan asesmen awal untuk menggali faktor-faktor kerentanan anak, apa saja kebutuhannya, termasuk layanan apa saja yang sudah bisa diakses anak, serta peningkatan jumlah dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) untuk melakukan pendampingan terhadap anak.
Untuk pengumpulan data dasar, lanjut Santi, bisa dimulai dari sumber-sumber yang sudah ada, seperti DTKS dan data LKSA. Akan tetapi, data dari sumber itu harus digali lebih jauh, misalnya ada berapa orang anak, apakah ada yang belum punya NIK, status sekolahnya, siapa pengasuhnya, dan tinggal di mana.
Selanjutnya, pemerintah perlu memperkuat mekanisme penemuan anak-anak yatim piatu yang orangtuanya meninggal terinfeksi Covid-19. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan inisiatif warga yang sudah berjalan, seperti Kawal Masa Depan dan forum-forum lembaga zakat.
Terkait peningkatan jumlah dan kapasitas SDM yang terbatas dalam pendampingan anak, Puskapa mengusulkan agar pemerintah bekerja sama dengan mahasiswa pekerja sosial tingkat akhir dan dosen.
”Jika anak dan pengasuh membutuhkan bantuan tunai atau dukungan lainnya, siapkan mekanisme rujukan untuk program-program yang relevan baik yang ada di Kemensos maupun di lembaga lainnya,” ujar Santi.
Soal mekanisme penyaluran, bantuan tunai bisa disalurkan seperti dalam PKH. Perlu juga dipastikan perluasan cakupan PKH dan aksesnya bagi anak-anak, termasuk oleh anak dengan kendala kartu keluarga/administratif lainnya. Pengasuh/pengasuh pengganti yang kehilangan mata pencarian perlu mendapat akses ke program pemberdayaan sosial. Sedangkan anak yang putus sekolah bisa dihubungkan ke program kembali ke sekolah yang ada di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Siapkan Rp 24 miliar
Pada Minggu (29/8/2021), di Jember, Jawa Timur, Menteri Sosial Tri Rismaharini berjanji meningkatkan dukungan dan pelayanan kepada anak yatim, piatu, dan yatim piatu yang terdampak Covid-19. Saat ini, Kemensos telah mengalokasikan anggaran Rp 24 miliar untuk yatim, piatu, dan yatim piatu terdampak Covid-19.
”Kami mendapatkan banyak aduan tentang anak yatim, piatu, dan yatim piatu karena orangtuanya meninggal akibat Covid-19. Kita masih coba kumpulkan anggaran dan saat ini sudah terkumpul Rp 24 miliar,” kata Mensos Risma dalam keterangan pers.
Tak hanya itu, Mensos juga akan terus memastikan negara hadir untuk anak yatim, piatu, dan yatim piatu baik yang terdampak Covid-19 maupun yang tidak. Risma meminta pemerintah daerah memastikan dan mengakselerasi proses pendataan terhadap mereka dan segera disampaikan kepada Kemensos. ”Kami berharap akhir bulan ini data sudah terkumpul. Data yang sudah ada bisa langsung kita beri bantuan,” kata Risma.
Di Jember, Mensos menyapa dan menyerahkan bantuan Atensi senilai total Rp 465 juta yang diberikan secara simbolis di Kantor Kecamatan Rambipuji untuk warga di Kabupaten Jember dan Lumajang, Jawa Timur.
Bantuan diberikan kepada 22 anak yatim, piatu, dan yatim piatu serta 165 orang yang diberi bantuan kewirausahaan, seperti usaha konfeksi, penatu, perbaikan alat elektronik, usaha pijat, ternak, pembuatan kue/makanan, perikanan, tambal ban, dan kerajinan tangan.