Gosip Kantoran Bermanfaat bagi Pekerja
Bergosip yang selalu diasosiasikan dengan hal negatif tampaknya kurang tepat. Banyak manfaat akan perilaku sosial manusia ini, termasuk pada para pekerja. Tentu saja itu tergantung dari topik gosipnya.
Bagi sebagian pekerja kantoran, sejak awal pandemi hingga saat ini masih harus bekerja dari rumah. Di satu sisi, itu adalah kemewahan yang membuat risiko mereka tertular korona menjadi lebih rendah. Namun, kerja dari rumahnya nyatanya tidak selalu menyenangkan.
Salah satu hal yang paling dirindukan bagi pekerja yang terpaksa harus bekerja dari rumah ialah bertemu langsung dengan rekan kerja mereka. Dengan bertemu langsung, banyak proses kerja bisa dilakukan lebih efisien. Ngobrol ngalor-ngidul, tertawa bareng, hingga menggosip jauh lebih nikmat dilakukan secara luring dibandingkan melalui berbagai aplikasi teknologi.
Gosip memang sering dipandang negatif dan mengalami peyorasi karena dianggap hanya membincangkan keburukan orang lain. Padahal, gosip bisa menjadi sarana pertukaran informasi yang evaluatif hingga menjadi alat kontrol sosial demi menjaga tegaknya norma kelompok.
”Secara umum, gosip adalah hal yang baik," kata Elena Martinescu, peneliti psikologi gosip dari Universitas Vrije, Amsterdam, Belanda, seperti dikutip BBC, Jumat (27/8/2021). Gosip juga tidak selalu membincangkan hal-hal yang negatif.
Survei menunjukkan alasan utama orang-orang bergosip adalah ingin memahami lingkungan mereka.
Taufiq Pasiak, ahli neurosains dan perilaku sosial yang kini menjadi Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta seperti dikutip Kompas, 27 Agustus 2020, mengatakan, gosip tak kenal jenis kelamin atau kelas sosial. Laki-laki dan perempuan, orang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau tidak mengenyam pendidikan formal, sama-sama suka gosip.
Nenek moyang manusia menjadikan gosip sebagai sarana adaptasi sosial. Di masa prasejarah, manusia hidup dalam kelompok kecil yang saling mengenal satu sama lain. Kekompakan kelompok kecil itu harus dijaga demi mampu bertahan hidup di alam yang keras dan menghindari serangan musuh. Pada saat bersamaan, kelompok kecil ini juga saling bersaing demi berebut sumber daya alam yang terbatas atau pasangan kawin.
Situasi itu membuat bergosip berkembang menjadi sarana untuk menilai siapa yang bisa diandalkan, serta siapa yang perlu diwaspadai. Gosip pun menjadi sarana untuk memfasilitasi kerja bersama dalam satu kelompok agar bisa mencapai tujuan.
Pengumpulan informasi
Di dunia kerja modern, perilaku menggosip yang diwariskan dari generasi ke generasi itu membantu para pekerja untuk menyadari mana rekan kerja yang bisa dipercaya dan mana rekan kerja yang harus disikapi dengan hati-hati. Gosip tentang perilaku seseorang dalam bekerja bisa membantu pekerja untuk menentukan dengan siapa mereka bisa bekerja sama atau pekerja mana yang seharusnya dijauhi.
Gosip juga berkembang menjadi alat bantu untuk mendalami informasi penting serta memetakan sekaligus memandu seseorang di tempat kerja. Informasi yang dikumpulkan itu bisa membantu kelompok untuk bekerja lebih efektif dalam mencapai tujuan bersama.
Beberapa jenis gosip memang bisa bersifat sepele dan menunjukkan ketidakprofesionalan kita. Obrolan tentang penampilan seseorang atau membicarakan kehidupan pribadi seseorang yang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan mungkin termasuk ”sampah”, tidak memiliki tujuan positif hingga gosip sering dipandang negatif.
Nyatanya, gosip tidak selalu negatif. Studi Megan L Robbins dan Alexander Karan yang dimuat di Social Psychological and Personality Science, 2 Mei 2019, menunjukkan, dari sekitar 500 responden yang direkam obrolannya, termasuk saat bergosip, menunjukkan lebih dari 75 persen percakapan mereka bersifat netral, tidak postif, tidak pula negatif.
Informasi netral itu, antara lain, si A sedang melanjutkan studi pascasarjana atau si B sedang pergi liburan ke luar negeri. Meski studi Robbins dan Karan sebelumnya menyebut setiap orang rata-rata bergosip selama 52 menit per hari, tetapi tema gosip yang dibicarakan nyatanya tidak seburuk bayangan kita.
”Kesalahpahaman terbesar kita adalah menganggap gosip selalu bersifat negatif, berbicara tentang hal buruk dari seseorang di belakang mereka. Padahal, survei menunjukkan alasan utama orang-orang bergosip adalah ingin memahami lingkungan mereka,” tambah profesor manajemen yang mempelajari dinamika di tempat kerja dari Universitas Central Florida, Amerika Serika Serikat, Shannon Taylor.
Baca juga : Gosip Tak Pernah Mati
Gosip, lanjut Taylor, bisa menjadi sarana untuk memvalidasi emosi kita dan membantu kita mencari tahu posisi seseorang dalam suatu hal. Gosip juga membantu kita untuk memastikan apakah cara kita dalam memahami lingkungan atau dunia kerja sama dengan cara yang dilakukan rekan kita.
Karena itu, gosip sejatinya merupakan sarana untuk mengumpulkan informasi yang berguna bagi kita untuk melihat bagaimana penilaian dan evaluasi orang lain terhadap sesuatu hal. Dari informasi inilah pekerja kantoran bisa menilai siapa kawan dan siapa yang perlu dihadapi dengan hati-hati atau siapa yang berempati dan siapa yang tidak peduli.
Perubahan perilaku
Menggosip bukan hanya metode untuk mengumpulkan informasi. Namun, mendengar gosip tentang rekan kerja juga bisa membuat kita lebih introspeksi. Sementara jika kita yang menjadi bahan gosip, itu bisa membuat orang lain mengubah perilakunya terhadap kita.
”Gosip bisa menjadi sarana menegakkan norma kelompok,” kata dosen psikologi sosial Universitas Indonesia, Depok, Eko A Meinarno.
Studi Elena Martinescu dan rekan dari Universitas Groningen, Belanda, yang dipublikasikan di Personality and Social Psychology Bulletin, 24 Oktober 2014 menunjukkan, gosip negatif tentang seseorang membuat pendengarnya merasa lebih unggul dibandingkan dengan yang digosipkan dan meningkatkan harga dirinya. Namun, pada saat bersamaan, pendengar gosip juga merasa khawatir akan mendapat perlakuan serupa ketika menjadi bahan gosip orang lain.
Sebaliknya, mendengarkan gosip yang menyanjung atau bersifat positif akan memberikan ide bagi pendengar gosip tersebut untuk memperbaiki diri hingga mereka bisa seperti orang yang digosipkan.
Dalam konteks tersebut, profesor manajemen yang juga mempelajari gosip di Universitas Toronto, Kanada, Matthew Feinberg, menilai, gosip kantoran bisa mengubah individu yang egois dan tidak bermoral menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih menjaga sikapnya. Orang dengan perilaku seperti ini berpotensi lebih besar digosipkan oleh rekan kerja atau perilaku buruk mereka lebih mudah diketahui kelompok yang lebih besar.
Pengubahan perilaku itu harus dilakukan oleh orang yang digosipkan agar mereka yang selama ini mendapat citra buruk itu bisa diterima oleh kelompoknya serta dia bisa mengajak orang lain untuk bekerja sama dengannya.
Ketidakpastian
Rasha Ali Mueed Alshehre dari Universitas Colorado Boulder, AS, dalam Open Journal of Medical Psychology, 21 April 2017, menyebut gosip merupakan bagian penting dalam proses kerja apa pun. Gosip bisa menjadi penyemangat untuk bekerja dan meningkatkan produktivitas. Bergosip juga bisa menjadi sarana pelepasan stres karena terlalu banyak menyimpan rahasia dalam memori otak dan tidak membagikannya kepada orang lain bisa meningkatkan risiko depresi.
Dalam situasi pandemi saat ini, gosip bisa dijadikan mekanisme pertahanan diri untuk mengatasi kecemasan. Pembatasan wilayah ataupun sistem bekerja dari rumah membuat banyak orang sulit bertatap muka langsung. Namun, itu bukan berarti memutus kesempatan mereka untuk bergosip. Meski intensitas dan kehangatannya tidak sebesar bergosip langsung, bergosip secara daring tetap bisa menjadi sarana pelepas ketegangan jiwa.
Baca juga : Gosip Tak Kenal Jender
”Gosip banyak didorong oleh ketidakpastian,” kata Taylor. Karena itu, frekuensi dan intensitas bergosip di masa pandemi ini diyakini lebih besar dibandingkan dengan sebelum pandemi terjadi. Ketidakpastian selama pandemi mendorong orang untuk memilah dan memilih apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain.
Isu gosip kantoran selama pandemi pun makin bervariasi. Tidak hanya soal beban pekerjaan yang bertambah, tetapi juga isu-isu rumah tangga. Contohnya, seperti kerumitan orangtua mengasuh atau menemani anak belajar selama sekolah dari rumah, isu perilaku seseorang yang menyebabkan dirinya terpapar Covid-19, serta berbagai keteledoran dalam menjalankan protokol kesehatan yang berimbas pada kesehatan rekan kerja lain.
Namun, terkadang bergosip hanyalah upaya katarsis atau pelepasan emosi dan keluh kesah yang tidak terkendali tentang struktur atau orang-orang yang tidak kita sukai. Beban akibat bos yang tiran serta tidak mau mendengar pendapat anak buah, rekan kerja yang lambat bekerja, hingga pemotongan gaji dan hilangnya sejumlah fasilitas kerja akibat lesunya ekonomi seringk ali bisa dilepaskan dengan bergosip.
”Gosip dapat mengingatkan seseorang tentang orang lain yang berbahaya. Gosip juga bisa membantu membangun ikatan dan kedekatan sosial di antara orang-orang yang bergosip karena memiliki nilai dan pengalaman yang sama,” kata Martinescu.
Banyaknya manfaat positif dari bergosip maupun sejarah panjang bergosip yang diwariskan antargenerasi membuat kita seharusnya tidak merasa bersalah saat bergosip dan membahas kehidupan orang lain. Terlebih, banyak hal positif dari orang yang digosipkan yang bisa dicontoh untuk memperbaiki diri. Meski demikian, penggosip tetap perlu waspada tentang sejauh apa risiko atau bahaya perilaku menggosip mereka.