Perkuat Literasi Tentang Disabilitas dan Kesehatan Jiwa
Persoalan disabilitas dan kesehatan jiwa dinilai belum menjadi prioritas pembangunan. Kondisi itu mengakibatkan para penyandang disabilitas dan orang dengan masalah kesehatan mental kesulitan mengakses layanan publik.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Stigma negatif masih melekat pada penyandang disabilitas dan orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Hal itu menghambat akses mereka terhadap berbagai layanan publik, termasuk pendidikan dan kesehatan, serta kesempatan kerja. Karena itu, literasi publik perlu diperkuat agar mereka dipandang serta diperlakukan setara.
Direktur Eksekutif Yayasan SATUNAMA William E Aipipidely menuturkan, penyandang disabilitas hingga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) kerap menjadi obyek diskriminasi. Ini terjadi karena berkembangnya narasi eksklusivitas beberapa tahun terakhir.
“Salah satu cara mengurai eksklusivitas adalah menerima mereka sebagai warga negara yang punya hak dan kewajiban sama dengan masyarakat lain. Penerimaan akan membuat mereka cepat pulih,” kata William, dalam webinar bertema "Literasi Kesehatan Jiwa dan Disabilitas untuk Mewujudkan Indonesia yang Inklusi", Kamis (26/8/2021). Acara itu sekaligus menandai peluncuran Mental Health and Disability Institute of Satunama.
Cara lain adalah membuka akses pengobatan seluas-luasnya bagi mereka. Selain pengobatan, akses untuk menjalankan fungsi sosial sebagai masyarakat diperlukan. Kebijakan yang inklusif dari pemerintah juga dibutuhkan.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018, jumlah penyandang disabilitas berusia dua tahun ke atas sebanyak 31,2 juta orang atau setara 12,3 persen dari total penduduk Indonesia. Adapun UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menyebut ODGJ sebagai difabel psikososial.
Menurut Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Monica E Madyaningrum, penyandang disabilitas dan orang yang mengalami gangguan kejiwaan masih mengalami stigma negatif dari masyarakat. Stigma yang terjadi, antara lain, memandang martabat penyandang disabilitas dan orang dengan gangguan jiwa lebih rendah daripada orang pada umumnya.
Sebagian masyarakat juga menganggap disabilitas sebagai penyimpangan. Cara pandang itu digeneralisasi untuk mendefinisikan identitas penyandang disabilitas atau orang dengan gangguan jiwa. Mereka juga kerap dipandang sebagai obyek serta dianggap tidak mampu membuat keputusan atas dirinya sendiri.
“Stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas menjadi kendala utama dalam mewujudkan tatanan sosial yang inklusif. Stigma kerap berakar dari cara pandang orang nondifabel ke difabel,” ucap Monica.
Itu sebabnya literasi untuk memahami disabilitas diperlukan. Semakin baik pemahaman seseorang, diharapkan semakin kecil pula kemungkinan orang tersebut mereproduksi stigma negatif.
Stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas menjadi kendala utama dalam mewujudkan tatanan sosial yang inklusif. Stigma kerap berakar dari cara pandang orang nondifabel ke difabel.
Literasi tersebut dapat dilakukan di institusi pendidikan hingga di kalangan masyarakat awam. Narasi yang memberdayakan difabel perlu digencarkan, sementara narasi negatif perlu dikritisi secara terbuka. “Aspirasi dan pandangan mereka (difabel) penting (untuk disuarakan). Mungkin itu akan menggeser stigma pelan-pelan,” kata Monica.
Menurut jurnalis Kompas Evy Rachmawati, pemberitaan soal penyandang disabilitas dan ODGJ masih minim di Indonesia. Ini berpengaruh ke minimnya informasi yang diterima masyarakat. Padahal, media tidak hanya berperan untuk mengedukasi, namun juga memberi pandangan yang akan memengaruhi sikap publik. Pemberitaan diharapkan mendorong penghargaan publik dan kesetaraan ke ODGJ dan difabel.
Di sisi lain, jurnalis harus memerhatikan pedoman pemberitaan disabilitas yang diterbitkan Dewan Pers. Itu bertujuan agar pemberitaan ramah difabel, serta menempatkan mereka sebagai subyek liputan dengan mengedepankan nilai kemanusiaan dan empati.
“Sekarang bagaimana menjadikan isu (disabilitas) dikampanyekan sebagai isu bersama. Pelecehan seksual telah dikampanyekan sebagai isu bersama. Kampanye ini membutuhkan kolaborasi semua orang, baik masyarakat, komunitas, hingga figur publik,” kata Evy.
Upaya literasi juga dilakukan dengan mendirikan Mental Health and Disability Institute SATUNAMA (MHDIS). Institusi ini untuk membagikan pengetahuan tentang isu disabilitas dan kesehatan jiwa. MHDIS juga menyediakan fasilitas untuk memulihkan dan memberdayakan ODGJ.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembagan Daerah (Bappeda) DI Yogyakarta Beny Suharsono mengatakan, pemenuhan hak kelompok rentan perlu diwujudkan. Sejumlah upaya dan kebijakan dilakukan untuk mencapai itu.
“DI Yogyakarta disiapkan menuju provinsi inklusif. Kajian tentang kesehatan jiwa sudah dimulai dan menjadi langkah awal untuk menyusun rencana aksi daerah untuk difabel,” ucapnya.