Penanganan anak-anak yang kehilangan orangtua akibat Covid-19 mesti spesifik dan dalam jangka panjang. Hal itu disebabkan kondisi, karakter, dan latar belakang anak-anak korban pandemi itu beragam.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan anak-anak yang kehilangan orangtua akibat Covid-19 mendesak dan membutuhkan terobosan. Sebagai langkah awal, pemerintah mulai mendata anak-anak korban pandemi tersebut dengan menggunakan perangkat teknologi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Unicef mengembangkan Rapidpro, aplikasi pendataan anak yang salah satu atau kedua orangtuanya meninggal akibat Covid-19. Adanya aplikasi itu telah diumumkan kepada publik.
Sejak aplikasi Rapidpro dijalankan pada 12 Agustus 2021, data yang masuk ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) terus bertambah. Hingga Rabu (25/8/2021), jumlah anak-anak yang didata kehilangan orangtua karena Covid-19 sebanyak 9.496 orang. Mereka terdiri dari anak yatim (4.601 anak), piatu (3.056 anak), yatim piatu (475 anak), dan tanpa keterangan (364 anak).
”Data ini penting bagi kita semua agar intervensi atau langkah yang kita lakukan tepat. Jadi, data adalah kuncinya karena itu akan menjadi patokan atau dasar kebijakan terkait anak-anak yang kehilangan orangtua karena Covid-19,” kata Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati kepada Kompas di Jakarta, Rabu (25/8/2021).
Karena itu, Bintang meminta jajaran Dinas PPPA di seluruh Indonesia agar terus memperbarui perkembangan pendataan. Gerak cepat dan tepat penanganannya amat penting untuk memastikan perlindungan pada anak-anak yang orangtuanya meninggal karena Covid-19 dilakukan secara komprehensif.
Semenjak ada pendataan terperinci melalui aplikasi Rapidpro yang dihimpun dari laporan Dinas PPPA, lembaga masyarakat, organisasi perangkat daerah, atau tenaga kesehatan dan masyarakat luas, Kementerian PPPA mulai mendapat gambaran data anak-anak yang orangtuanya meninggal karena Covid-19.
Data ini penting bagi kita semua agar intervensi yang kita lakukan tepat. Jadi, data adalah kuncinya karena itu akan jadi dasar kebijakan terkait anak-anak yang kehilangan orangtua karena Covid-19.
”Memang ini tidak mudah. Namun, harus punya data agar langkah yang diambil tepat sesuai tugas pokok dan fungsi. Mana yang bisa kami eksekusi, mana yang harus kami koordinasikan dan komunikasikan dengan lintas pemangku kebijakan,” kata Bintang.
Peran aktif pemerintah daerah
Sehari sebelumnya, Selasa (24/8), Menteri PPPA mengundang semua Dinas PPPA se-Indonesia dalam rangka koordinasi pendataan anak-anak yang terpisah dengan salah satu dan atau kedua orangtuanya karena Covid-19. Semua dinas diminta memberikan perlindungan terbaik kepada anak-anak yang ditinggalkan orangtua karena Covid-19. ”Ini harus jadi prioritas,” ucapnya.
Bahkan, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak. Aturan itu bertujuan memperkuat dan mempercepat koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga lain untuk memberi layanan terhadap anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Selain pendataan, Kementerian PPPA juga menekankan pentingnya pendampingan sosial terhadap anak yang kehilangan orangtua, mendorong terpenuhinya kebutuhan dasar dan kebutuhan spesifik anak yang kehilangan orangtua.
Salah satunya, bersama dengan Forum Zakat yang beranggotakan 35 lembaga zakat di seluruh Indonesia, Kementerian PPPA berupaya memastikan anak-anak tersebut mendapatkan kebutuhan dasar, kebutuhan spesifik, dan keberlanjutan pendidikan.
Selain itu, perlindungan dan pendampingan, pengasuhan pada anak-anak yang kehilangan orangtu harus mendapat perhatian. Langkah itu didukung oleh Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), dan dinas terkait di daerah.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Nahar menambahkan, langkah cepat merupakan kunci dalam perlindungan anak. Dinas PPPA di seluruh Indonesia diminta mengamati, mengidentifikasi, serta mencatat. Pendataan dibutuhkan untuk mengidentifikasi masalah tiap anak. Namun, data itu perlu diverifikasi dan asesmen lebih lanjut, dan intervensi berdasarkan asesmen data tersebut.
”Bagaimana kita akan menindaklanjuti anak-anak yatim piatu, kalau tidak dicatat, tidak ada data, hanya estimasi. Padahal, situasi, karakter, dan latar belakang anak-anak yang akan diintervensi berbeda-beda,” kata Nahar yang memperkirakan masih akan bertambah. Karena data yang masuk mulai 12 Agustus hingga Rabu baru dari 20 provinsi.
Program ATENSI
Sehari sebelumnya, Menteri Sosial Tri Rismaharini memastikan anak yatim, piatu, dan yatim piatu akan mendapatkan dukungan dari Program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) Anak. Selain dukungan pemenuhan hak hidup layak, layanan perawatan sosial/pengasuhan anak, dukungan keluarga, terapi sosial psikologis, juga pelatihan vokasional dan kewirausahaan, bantuan sosial/asistensi sosial, dan dukungan aksesibilitas.
Kemensos menyiapkan Balai/Loka Rehabilitasi Sosial serta unit pelayan terpadu di bawah Kementerian Sosial sebagai shelter perlindungan anak dan keluarga korban Covid-19. ”Atensi Anak ini nantinya tidak hanya ditujukan kepada anak-anak yang ditinggal orangtua karena Covid-19 saja, tapi juga akan menyasar ke anak-anak yatim, piatu, dan yatim piatu lainnya binaan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dan yang tinggal dalam keluarga tidak mampu,” ucapnya.
Berdasarkan data dari Aplikasi SIKS NG di Kemensos, per Mei 2021, data yang dihimpun dari 3914 Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) terdapat 191.696 anak yang kini berada dalam pengasuhan di panti asuhan/yayasan/balai. Dari jumlah itu, sebanyak 33.085 anak yatim, 7.160 piatu, dan yatim piatu 3.936.
”Situasi yang dialami anak yatim, piatu, dan yatim piatu ini pastinya tidak mudah untuk mereka lalui,” ujar Risma seraya menyatakan, Kemensos terus mendata anak-anak yatim, piatu, dan yatim piatu yang ditinggal orangtua karena Covid-19 atau yang berada dalam situasi rentan.