Kemajuan Peradaban Ditentukan Kemampuan Masyarakat Mengelola Kebenaran
Kemajuan dari sebuah peradaban ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam mengelola kebenaran. Bangsa yang dapat mengelola kebenaran pada akhirnya menjadi sejahtera dan bermartabat.
Oleh
HARYO DAMARDONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan dari sebuah peradaban ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam mengelola kebenaran. Bangsa yang dapat mengelola kebenaran pada akhirnya menjadi sejahtera dan bermartabat.
Demikian dikatakan Rektor Universitas Sanata Dharma Johanes Eka Priyatma, Kamis (26/8/2021), saat membuka diskusi literasi digital bertajuk ”Banjir Informasi, Memilah Hoaks, dan Berita Bohong”. Diskusi itu merupakan hasil kerja sama antara harian Kompas dan Djarum Foundation.
Menurut Eka, dengan demikian, kabar bohong tidak boleh mendominasi pengetahuan dan pemikiran masyarakat. ”Maka, akses terhadap informasi dengan kualitas tinggi sangat berguna bagi kami (sivitas akademika),” ujarnya.
”Kami juga menyambut gembira untuk dapat terlibat dalam menciptakan masyarakat bermartabat dengan mengelola kebenaran,” ujar Eka, setelah diperkenalkan pada Kompas.id, media daring yang mengedepankan konten-konten jurnalistik berkualitas baik.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, ada banyak kabar bohong yang kini difasilitasi oleh penggunaan media sosial. ”Tidak ada yang salah dengan penggunaan media sosial, hanya saja media sosial sebaiknya digunakan dengan benar,” ujarnya.
Ditambahkan Sutta, yang jadi masalah justru ketidaksiapan pengguna media sosial itu. ”Beberapa perancang platform digital pun menyesal telah menciptakan media sosial. Itu karena media sosial juga tidak mengontrol seluruh konten yang dibuat dan diunggah,” katanya. Menurut Sutta, hal ini dijelaskan dengan baik dalam film the Social Dilemma.
Media sosial juga tidak mengontrol seluruh konten yang dibuat dan diunggah.
Kepedulian terhadap misinformasi di Indonesia, lanjut Sutta, sayangnya rendah sekali. ”Di sisi lain, penggunaan media sosial di Indonesia sangat tinggi. Ini sangat disayangkan karena kemudian ada begitu banyak berita hoaks di media sosial,” diingatkan Sutta.
Menurut Eka, yang mempelajari teknologi informasi, sumber perkara dari berita hoaks di media sosial bukan teknologi itu sendiri. ”Saya rasa itu juga karena tingginya pengangguran di Indonesia. Di negara maju, karena orang sibuk bekerja, tidak ada waktu di media sosial,” ujarnya.
”Kunci dari persoalan ekonomi itu adalah reformasi birokrasi, termasuk penegakan hukum. Bila kondisi itu tercapai, investasi akan mengalir sendiri. Bagi investor, mahal atau murah sebenarnya bukan persoalan, yang jadi soal adalah ketidakpastian. Kalau ada kepastian, investasi masuk sehingga dapat menggerakkan perekonomian,” tutur Eka.
Namun, menurut Eka, dirinya juga turut prihatin dengan beredarnya kabar hoaks. Dunia pendidikan pun ikut berupaya memeranginya.
Terkait upaya untuk menghadirkan informasi yang berkualitas, kata Sutta, newsroom punya posisi lebih baik karena ada organisasi. Organisasi dalam media pun bekerja keras meminimalkan bias-bias dari kerja-kerja jurnalis. Seorang jurnalis juga tidak pernah bekerja sendiri, tetapi ada pihak lain seperti editor ataupun sunting untuk memeriksa kerja-kerja jurnalistik.
Media yang baik, ujar Sutta, bekerja dengan independen. ”Kompas dalam melakukan survei-surveinya, terutama survei politik, juga selalu dibiayai sendiri. Itu untuk mencegah ada bias dalam kerja-kerja kami,” katanya.