Penutup Kepala, Simbol Kedaulatan dan Kekuatan Perempuan Daerah
Penutup kepala perempuan merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang sarat dengan makna filosofis. Namun, seiring perkembangan, tutup kepala yang jadi ciri khas budaya mulai ditinggalkan, bahkan nyaris punah.
Penutup kepala perempuan sudah ada sejak zaman dulu dan dikenakan perempuan-perempuan di berbagai daerah di Nusantara secara turun-temurun hingga kini. Kekayaan budaya yang hadir dengan nama dan fungsi beragam memiliki makna luas dalam kehidupan masyarakat di daerah masing-masing.
Bukan hanya sebatas pelengkap busana atau atribut semata, penutup kepala juga menjadi simbol dan atribut budaya yang memiliki landasan filosofis dari daerah/adat yang ada, bahkan jadi identitas kedaerahan dan identitas dalam keluarga. Lebih dari itu, penutup kepala juga menjadi simbol keragaman, kebinekaaan, serta kebebasan berekspresi bagi kaum perempuan di Nusantara.
Di tengah arus modernisasi dan pengaruh budaya luar yang kian menggerus nilai-nilai kearifan lokal, mempertahankan dan melestarikan penutup kepala perempuan Nusantara jadi tantangan tersendiri. Di beberapa daerah, penutup kepala perempuan yang sebelumnya digunakan dalam kegiatan keseharian perempuan kini nyaris punah, jarang digunakan, dan hanya hadir pada upacara tradisi atau ritual adat daerah setempat.
Maka, untuk membangun narasi publik bahwa ada keragaman yang juga menjadi ciri khas lokal, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara: Merawat Kebangsaan, Mengekspresikan Keberagaman.
Kegiatan yang dibuka bertepatan dengan Peringatan Hari Konstitusi ini, Rabu (18/8/2021), menampilkan lima perempuan yang menjelaskan makna dan filosofi penutup kepala di daerah mereka masing-masing.
Lima perempuan tersebut meliputi Sarbiniwati (Perempuan dari Masyarakat Adat Bayan, Nusa Tenggara Barat), Anita M Hutagalung (Perempuan dari Simalungun Sumatera Utara), Yefri (Perwakilan dari Sumatera Barat), Endek (Perwakilan dari Masyarakat Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah), dan Nurlaini (Kepala Siginjei Jambi/Penulis dan Peneliti Buku Kuluk Penutup Kepala Warisan Luhur dari Jambi).
Dalam diskusi yang dipandu Yuniyanti Chuzaifah (Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014), kelima perempuan tersebut tampil mengenalkan beragam penutup kepala perempuan Nusantara. Mereka bahkan memperagakan cara mengenakan penutup kepala.
Baca juga: Keberagaman Budaya dalam Penutup Kepala Perempuan Nusantara
Di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, penutup kepala yang dikenal dengan sebutan ”jong”, yang dikenakan perempuan-perempuan adat Bayan, telah ada sejak turun-temurun dan digunakan pada waktu acara ritual. ”Makna jong bagi perempuan yang memakainya adalah sebagai salah satu busana atau pakaian kebesaran pada hari-hari tertentu dan sangat disakralkan,” papar Sarbiniwati, dari Desa Bayan.
Jong biasanya digunakan pada ritual adat, antara lain, saat menumbuk padi bulu, mencuci beras, maulid adat, majang (acara ritual yang dilaksanakan di berugak agung). Ketika dikenakan sebagai pakaian kebesaran, jong dikenakan bersama kain, kemben/lifak, dan sampur.
Para perempuan di Lombok Utara meyakini, jika jong tidak digunakan pada waktunya, akan berdampak pada yang menggunakan, seperti sakit, rezeki berkurang, dan umurnya pendek.
Jong terbuat dari kapas yang dipintal jadi benang, kemudian ditenun. Berbentuk segi empat berukuran kurang lebih 40 sentimeter yang dipadukan dengan benang warna warni. Sebelum jong dipakai awalnya dilipat jadi dua membentuk segitiga. Segitiga sendiri melambangkan sebuah gunung yang merupakan sumber kehidupan makhluk hidup di dunia.
”Kami sangat berharap ada regenerasi dengan mendapatkan pengakuan jong bayan sebagai busana adat atau pakaian khas daerah kabupaten Lombok Utara agar tetap lestari dan dijaga sebagai bentuk nilai kearifan lokal yang digunakan oleh para leluhur secara turun-temurun,” ujar Sarbiniwati.
Lambang kekuatan hati
Di daerah Minangkabau, Sumatera Barat, penutup kepala perempuan ada banyak. Namun, ada banyak tutup kepala di daerah tersebut yang dikenal dengan sebutan ”Tingkuluak”. Penutup kepala tersebut menggambarkan kedaulatan perempuan di Minangkabau, sekaligus menjadi hiasan. Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, tingkuluak biasanya menggunakan kain selendang, kain batanun (tenun), kain bugis, dan telekung.
Ada empat bentuk tingkuluak, yakni tingkuluak baikek (menyerupai tanduk kerbau menggunakan kain tenun atau kain beludru), tingkuluak kompong (bentuk seperti cerobong menggunakan kain batik), tingkuluak bugih, dan tingkuluak talakuang putih.
”Tingkuluak melambangkan kekuatan hati, mempunyai kemauan yang tinggi untuk mencapai yang baik, gigih tidak pernah berputus ada, berani, ramah tamah dan tidak ingin melukai hati, keseimbangan, bersifat adil sesuai kebutuhan,” ujar Yefri.
Identitas keluarga
Di Simalungun, Sumatera Utara, tutup kepala perempuan dikenal dengan nama ”bulang”. Selain merupakan identitas kedaerahan, bulang merupakan identitas dalam keluarga, yakni sebagai bagian dari pernikahan. Ada empat jenis bulang yakni, bulang sulappei (bulang adat/pesta), bulang teget (bulang untuk pengantin), bulang suyuk (bulang pesta/usia tua), dan bulang hurbu/salalu (bulang harian). Penggunaannya, ada yang dipakai sehari-hari, tapi ada juga yang dipakai khusus saat pesta.
Ketika seorang perempuan Simalungun memakai bulang, itu tidak hanya sebagai asesori kepala semata, tetapi menjadi simbol bahwa dia telah menjadi inang atau ibu. ”Jadi pada zaman dulu kalau dia memakai bulang bagaimanapun cantiknya, tidak boleh lagi ditaksir. Itu sudah identitas bahwa dia sudah menjadi ibu, dan ini diberikan kepada menantu oleh mertua perempuannya,” kata Anita.
Baca juga: Ketahanan Perempuan Adat Terus Diuji
Pada zaman dulu setelah upacara perkawinan adat, mertua perempuan akan memasang bulang pada kepala menantu perempuannya, dan menyatakan mulai hari itu dia sudah menjadi inang di keluarga tersebut. Bulang adalah kain tenunan sekitar 150 sentimeter dan lebar 30 sentimeter, dilengkapi rumbai sepanjang 18 sentimeter. Cara mengenakannya tidak bisa sembarang memasangnya karena ada bagian-bagian dari bulan yang memiliki arti tertentu.
Sebagai contoh, ada bulang yang memiliki menggambarkan alat kelamin laki-laki dan perempuan. Simbol alat kelami laki-laki yang diletakkan di bagian dalam memberi arti bahwa perempuan mengangkat harga diri dan derajat suaminya sehingga jika ada kekurangan suaminya harus ditutupi. Sementara bagian yang menggambarkan gambar alat kelamin perempuan yang diletakkan di depan, memberi simbol untuk menghargai perempuan.
Di Jambi, menurut Nurlaini, setidaknya ada 98 jenis tutup kepala yang dimiliki daerah Jambi yang digunakan sesuai fungsinya. Semuanya mencerminkan religi dan budaya yang ada dalam masyarakat Jambi. Di Jambi tutup kepala dikenal dengan sebutan kuluk.
Selain berfungsi sebagai pelindung tubuh dan kondisi alam (panas, dingin, dan serangan binatang), penutup kepala juga mencerminkan status sosial-budaya yang mengindentifikasikan martabat si pemakainya.
”Penutup kepala dan pakaian yang memiliki makna, lambang, simbol, dan wibawa serta mencerminkan kepribadian masyarakat serta alam pikiran masyarakat setempat merupakan produk adat dan budaya yang mengungkapkan aspek kehidupan bermasyarakat,” ujar Nurlaini.
Penutup kepala di Jambi terbuat dari bermacam-macam bahan, seperti kain sarung, katun, songket, ataupun lenen. Kuluk dipakai dalam keseharian maupun dipakai dalam upacara adat, seperti adat perkawinan, pemberian gelar, dan turun sko. Misalnya, Kuluk Ketelang Petang umumnya dibuat dari kain sarung yang dilengkapi dengan ambung di kepala untuk membawa makanan, baju kurung pendek dan sarung tiga perempat, dan memakai sandal kayu.
Pada acara adat, peremuan Jambi memakai kuluk dilengkapi dengan busana Melayu (baju kurung pakai kickat) serta asesori kalung dan gelang. Pemakaian Kuluk tidak boleh sembarangan karena memiliki arti. Misalnya, juntaian yang jatuh di sebelah kanan berarti si pemakai sudah menikah, sedangkan juntaian yang jatuh sebelah kiri berarti si pemakai belum menikah.
”Kuluk ini tidak menggunakan jarum pentul atau peniti, di mana dari setiap lilitan mempunyai makna filosofis dan norma-norma sesuai dengan aturan adatnya,” papar Nurlaini.
Di Kalimantan Tengah, bagi masyarakat Dayak Maanyan, penutup kepala disebut dengan nama Tatupung. Ada tiga jenis Tatupung, yakni Tatapung Balit, Rebe, dan Bahuruk. Ketiga jenis Tatupung ini masih digunakan sejak jaman nenek moyang sampai sekarang.
Tujuan dan fungsinya sesuai dengan jenisnya bagi perempuan adat Dayak Maayan. Tatupung Balit penggunaannya untuk menunjang penampilan agar lebih rapi dan anggun, digunakan pada acara adat, melayat, dan hajatan. Biasanya digunakan dengan baju kebaya.
”Bagi perempuan adat Dayak Maanyan, menggunakan tutup kepala Tatupung Balit menandakan mereka siap membantu menyiapkan bahan, perlengkapan yang diperlukan untuk pelaksanaan adat dengan sukarela,” kata Endek, yang mewakili Masyarakat Dayak Maanyan, Kalteng.
Adapun Tatupung Rebek digunakan saat kegiatan menanam padi, panen, menumbuk pagi. Tujuannya melindungi kepala, wajah, punggung dari terik matahari. Adapun Tatukung Bahuruk biasanya digunakan saat ke kebun atau menyadap karet. Tujuannya melindungi diri dari percikan getah, alas kepala, atau alat bantu menjinjing benda berat di kepala. Tarebek dan Bahuruk, bajunya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
”Jadi, Tatupung merupakan simbol kesiapan lahir dan batin dalam melaksanakan kegiatan untuk diri sendiri, keluarga, dan sesama,” ujar Endek.
Ekspresi keberagaman
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menegaskan, Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara: Merawat Kebangsaan, Mengekspresikan Keberagaman yang akan berlangsung hingga peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2021 mendatang, merupakan bagian dari kampanye ”Bhinneka itu Indonesia”, yang digagas Komnas Perempuan hampir satu dekade.
”Semoga kampanye ini meneguhkan komitmen kita bersama pada konstitusi, mewujudkan Indonesia tanpa diskriminasi, Indonesia yang mampu merayakan dan mengoptimalkan keberagaman yang ada dalam dirinya,” ujar Andy.
Bagi Komnas Perempuan, Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara penting untuk membangun narasi publik bahwa ada banyak keragaman lokal yang juga menjadi ciri khas lokal, bukan seperti yang tercantum dalam kebijakan daerah tersebut. Keragaman tersebut juga dapat ditemukan, salah satunya melalui penutup kepala yang digunakan oleh perempuan Nusantara.
Semoga kampanye ini meneguhkan komitmen kita bersama pada konstitusi, mewujudkan Indonesia tanpa diskriminasi, Indonesia yang mampu merayakan dan mengoptimalkan keberagaman dalam dirinya.
Sebab kebinekaan Indonesia kerap tercederai. Salah satunya ditandai dengan kehadiran kebijakan-kebijakan diskriminatif yang juga menyasar pada perempuan dan kelompok minoritas di sebuah daerah. Atas nama agama, moralitas, dan kearifan lokal, banyak daerah mengatur penyeragaman dari beragamnya kekayaan warisan budaya Nusantara yang dimiliki.
Penyeragaman ini, antara lain, hadir dalam pengaturan busana yang diberlakukan di lingkungan kantor pemerintahan, juga pendidikan, maupun swasta. Penyeragaman tersebut tentu saja bukan hanya berdampak pada pembatasan hak untuk berekspresi, tetapi juga hak atas jaminan beragama dan berkeyakinan.
Baca juga: Kuat, Resiliensi Perempuan Adat
Karena itu, seperti yang ditegaskan Veryanto Sitohang, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, festival tersebut sarat dengan pesan untuk merawat kebinekaan dan menjadi seruan kepada setiap warga bangsa untuk sepenuhnya memaknai dirinya adalah warga negara Indonesia.
”Kampanye ini dilakukan mengingat posisi perempuan yang rentan dalam setiap konflik atas nama agama, suku, ras dan antar golongan. Kampanye ini mulai dikampanyekan sejak tahun 2012,” ujar Veryanto.
Informasi dan cerita tentang penutup kepala perempuan dari lima daerah, yakni Bayan, Simalungun, Minangkabau, Dayak Maanyan, dan Jambi, menggambarkan betapa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang besar. Masih banyak penutup kepala perempuan di 34 provinsi di Tanah Air, mulai dari Aceh hingga Papua, dengan ciri khas yang berbeda-beda. Tentu saja, dengan makna dan filosofis yang sarat dengan berbagai pesan kemanusiaan.