Transformasi pendidikan penting untuk menyiapkan Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, pendidikan yang mampu mengoptimalkan minat siswa dan sesuai kebutuhan dunia kerja sangat diperlukan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan yang memanfaatkan teknologi, berorientasi ke minat siswa, dan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini sekaligus mendorong tercapainya Indonesia Emas 2045.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia menjadi agenda pembangunan nasional 2020-2024. SDM berkualitas dapat dicapai melalui pendidikan dengan akses merata, bermutu, dan sesuai dengan dunia kerja. SDM diharapkan punya kompetensi dan mampu bersaing di tingkat global.
”Pada dasarnya pembangunan (infrastruktur) bertumpu pada pembangunan SDM. Membangun SDM yang berbudaya dan berjati diri bangsa tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Ini harus dilakukan setahap demi setahap,” kata Muhadjir pada diskusi berjudul ”Strategi Pengembangan Manusia yang Maju, Tetap Memiliki Jati Diri Bangsa Indonesia”, Selasa (24/8/2021).
Itu sebabnya, pendidikan karakter harus dimulai sedini mungkin. Muhadjir mengatakan, sama seperti kesehatan, pendidikan anak dimulai bahkan saat anak masih di dalam kandungan atau pada 1.000 hari pertama kehidupan.
Ia menambahkan, siswa SMA dan sederajat tidak hanya perlu disiapkan masuk perguruan tinggi, tetapi juga dunia kerja. Ini karena lulusan SMA, MA, dan SMK dinilai belum sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Di sisi lain, jumlah lulusan tidak seimbang dengan peluang kerja yang tersedia. Di Indonesia ada 3,8 juta lulusan SMA, MA, dan SMK per tahun. Sebanyak 1,9 juta orang di antaranya masuk ke perguruan tinggi, sementara sisanya mencari pekerjaan. Adapun jumlah angkatan kerja di Indonesia per Februari 2021 adalah 139,8 juta orang. Muhadjir mengatakan, tugas pemerintah adalah menyediakan lapangan pekerjaan untuk menyerap angkatan kerja.
”Selain itu, perguruan tinggi perlu melakukan transformasi besar-besaran untuk mengalihkan pendidikan ke vokasi, bukan akademik. Jika tidak, perguruan tinggi akan menghasilkan lulusan yang tidak sesuai dengan dunia kerja,” ucap Muhadjir.
Pendidikan berkualitas
Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, dunia saat ini bergerak dari era Revolusi Industri 4.0 ke era Society 5.0 atau Masyarakat Supercerdas 5.0. Era masyarakat supercerdas adalah yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi.
Keberhasilan menyongsong era ini ditentukan oleh kualitas pendidikan. Namun, menurut Nadiem, sistem pendidikan selama ini belum beradaptasi dengan perubahan zaman dan perkembangan teknologi. Akibatnya, siswa gagap menghadapi tantangan dunia nyata.
”Pendidikan berkualitas ke depan akan bersifat personal dengan dukungan platform terintegrasi. Guru-guru akan tahu sejauh mana perkembangan siswa, lalu menentukan pendidikan kognitif dan karakter yang sesuai dengan minat siswa,” kata Nadiem.
Adapun SDM berkualitas perlu disiapkan sejak dini. Ini karena pada 2020-2045 jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar daripada jumlah penduduk berusia tak produktif (di bawah 14 tahun atau di atas 65 tahun). Peran penduduk usia produktif di masa itu akan memengaruhi ekonomi hingga kemajuan negara secara umum.
Di sisi lain, pembangunan SDM berkualitas juga perlu menimbang disrupsi digital akibat kemajuan teknologi. Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, ini karena jumlah pengguna teknologi di Indonesia besar.
Hal ini tampak dari catatan Hootsuite dan We Are Social per Januari 2021. Ada 202,6 juta pengguna internet di Indonesia dan 170 juta pengguna aktif media sosial. Literasi digital perlu diperkuat agar masifnya penetrasi internet dan perkembangan teknologi dapat dimanfaatkan secara tepat.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, mengatakan, penting untuk membangun komunitas responsif digital di semua daerah. Komunitas ini idealnya dimotori oleh generasi muda yang memiliki keterampilan digital, kualitas kepemimpinan, dan renjana serta aktif. Mereka diharapkan bisa membimbing lingkungannya untuk memanfaatkan teknologi.
Di sisi lain, menurut anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Roby Muhamad, masifnya penggunaan media sosial berhubungan dengan timbulnya kecemasan dan depresi, terlebih buat anak muda. Upaya mengatasi hal tersebut antara lain dengan penguatan literasi digital dan membuat konter-narasi terhadap konten-konten negatif.