Belajar dari sejarah perdagangan masa lampau, budidaya diperlukan agar rempah tidak habis begitu saja. Ini sekaligus untuk melestarikan Jalur Rempah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Budidaya dibutuhkan untuk melestarikan keberagaman rempah di Indonesia. Hal itu seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk yang akan berdampak pada keterbatasan ketersediaan rempah. Hal ini juga penting untuk menjaga keberlanjutan Jalur Rempah yang menjadi penanda peradaban Nusantara pada masa lalu.
Hal ini mengemuka dalam diskusi daring ”Telusur Jalur Rempah: Masa Depan Jalur Rempah”, di Jakarta, Selasa (24/8/2021). Diskusi ini merupakan salah satu rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Menurut antropolog maritim Horst Liebner, tekanan terhadap sumber daya alam rempah akan meningkat bila jumlah penduduk semakin banyak. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan ada 9,7 miliar penduduk dunia pada 2050. Budidaya rempah pun dibutuhkan.
Horst menjelaskan, budidaya belum menjadi budaya penduduk Nusantara pada masa lampau. Konsekuensinya, sumber daya alam terus menipis. Hal ini tampak dari catatan perdagangan sejumlah komoditas masa lalu.
Salah satu catatan menunjukkan bahwa penjualan kayu cendana dari Nusantara bagian timur pada abad ke-19 relatif tinggi. Kurva penjualan kemudian menurun. Penurunan itu karena pemerintah setempat membatasi penjualan untuk melindungi kayu cendana yang terancam habis.
Catatan lain menunjukkan, Nusantara mengekspor teripang. Salah satu negara tujuan ekspor pada abad ke-17 adalah China. Teripang yang dijual bisa mencapai 420 ton per tahun.
Masyarakat setempat kala itu menangkap teripang tanpa budidaya. Pada abad ke-18, disebutkan bahwa teripang yang dapat diakses masyarakat telah habis. Mereka pun kemudian memperluas pencarian teripang hingga ke area Australia bagian utara.
”Masyarakat saat itu masih tidak terlalu mau tahu soal pengelolaan sumber daya alam,” kata Horst. ”Setiap pelaku (ekonomi saat ini) perlu didorong untuk mempertimbangkan kelakuannya agar ramah lingkungan dan berkelanjutan,” ujarnya.
Sebelumnya, pendiri Acaraki Jamu, Jony Yuwono, mengatakan, industri jamu yang mengandalkan rempah sedang krisis bahan baku. Sebab, para petani lebih banyak menanam kopi dan teh dibandingkan dengan rempah. Salah satu penyebabnya ialah permintaan rempah yang tidak konsisten (Kompas.id, 11/8/2021).
Setiap pelaku (ekonomi saat ini) perlu didorong untuk mempertimbangkan kelakuannya agar ramah lingkungan dan berkelanjutan.
”Produksi rempah tidak ada sistem menyortir (memilih) berdasarkan kualitas. Jadi, kualitas yang bagus, menengah, dan rendah digabung sehingga harga jualnya dipukul rata. Ini beda dengan teh, kopi, hingga ikan tuna yang disortir berdasarkan kualitas sehingga meningkatkan harga jual,” kata Jony.
Keberlanjutan
Selain melestarikan keberagaman rempah, budidaya penting untuk memastikan keberlanjutan Jalur Rempah. Jalur Rempah menandai maraknya perdagangan rempah di Nusantara kepada pedagang asing pada masa lampau. Pemerintah saat ini mengusahakan agar Jalur Rempah diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO.
Sejarawan Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Abdul Rahman Hamid, mengatakan, Jalur Rempah dapat dimaknai kembali sesuai dengan konteks saat ini. Cara pandang Jalur Rempah harus bergeser dari paradigma lama ke baru.
”Di paradigma lama, Jalur Rempah identik dengan eksploitasi sumber daya alam dan manusia, serta melahirkan imperialisme dan kolonialisme. Di sini, Nusantara diposisikan sebagai obyek Jalur Rempah,” ujar Abdul.
Sementara itu, paradigma baru menempatkan Nusantara sebagai subyek Jalur Rempah. Artinya, Nusantara pada masa lalu dilihat dari sisi kecerdasan masyarakat lokal merespons jalur perdagangan rempah, melihat Jalur Rempah sebagai pemicu tumbuhnya kota pelabuhan, tempat interaksi budaya dan agama, hingga Jalur Rempah memicu pertumbuhan budaya literasi.
”Paradigma baru ini perlu diinternaliasi ke kegiatan pendidikan untuk generasi muda,” ucapnya.
Sementara itu, seniman yang aktif di kegiatan maritim Nova Ruth berpendapat bahwa pelestarian jalur rempah dapat sejalan dengan kebudayaan. Seniman, musisi, dan masyarakat dapat diajak berkesenian. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran menjaga alam, termasuk Jalur Rempah.