Panyuwunan, Oasis di Tengah Kegelisahan
Delapan tahun setelah berpulang, ahli Sastra Jawa Kuno, Romo Ignatius Kuntara Wiryamartana SJ serasa hidup kembali. Puisinya mengalun lembut, menghibur relung-relung kegelisahan masyarakat yang terpapar Korona.
Gusti, kula nyuwun saras : sarasing sukma - resiking maras (Gusti, kami mohon kesembuhan: sembuhnya sukma - bersihnya hati)
Gusti, kula nyuwun tamba : tambaning jiwa - segering raga (Gusti, kami mohon obat: obatnya jiwa - segarnya raga)
Gusti, kula nyuwun seneng : senenging manah - tulaking sereng (Gusti, kami mohon cerah ceria: gembiranya hati - penangkal dengki)
Gusti, kula nyuwun sabar : sabaring budi - nalar jembar (Gusti, kami mohon kesabaran: sabarnya budi - luasnya wawasan)
Empat baris cuplikan geguritan atau puisi ini diciptakan Romo Kuntara tahun 1968, kurang lebih 53 tahun silam ketika ia sakit di RS Panti Rapih Yogyakarta. Waktu itu, Romo Kuntara masih mahasiswa, bahkan belum ditahbiskan menjadi imam.
Tanggal 3 Juli 2021 lalu, komposer Dimawan Krisnowo Adji menemukan puisi tersebut ketika sedang mengerjakan Sraddha Jalan Mulia Art Project bersama pengajar Universitas Sanata Dharma Romo G Budi Subanar SJ, seniman Samuel Indratma, dan musisi Giwang Topo. Sraddha Jalan Mulia Art Project adalah rintisan kerja kolaborasi antara beberapa pelaku seni dengan aneka keahlian dan latar belakang.
“Di perjalanan waktu, ketika saya membaca geguritan panyuwunan ini kok pas banget dengan situasi pandemi. Lalu saya utak-utik dengan proses rekaman kurang lebih tiga hari. Ketika menggarap bait per bait saya enggak kuat, saya membuat (aransemen) sambil menangis,” ujar Dimawan, Rabu (18/8/2021) dalam obrolan santai “Panyuwunan” secara daring.
Memasuki hari kedua, Dimawan kembali tak bisa membendung tangisnya saat menyusun komposisi lagu ini. Bahkan, begitu tiba di bagian refrein, ia sampai menangis tersedu-sedu. “Saya nangis gero-gero (menangis tersedu-sedu) sampai saya stres. Saya tidak mau menanggung sendiri. Selesai jam 03.00 dini hari, (aransemen) full orkestra langsung saya kirim ke Romo Banar dan Mas Samuel,” ungkapnya.
Setelah dibahas bersama Tim Sraddha Jalan Mulia Art Project, Lagu Panyuwunan format orkestra sepanjang tujuh menit kemudian dipotong di bagian refrein menjadi dua menit beberapa detik. Agar tidak terlalu rumit dan enak didengarkan publik, Dimawan membuat iringan baru menggunakan organ.
Begitu dibagikan dari grup ke grup dan juga lewat media sosial, Lagu Panyuwunan sontak cepat menyebar dan viral. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahkan langsung menggunakan lagu ini untuk mengiringi doa Hening Cipta Indonesia bulan lalu.
“Atas wafatnya 63.000 lebih (sekarang sudah lebih dari 127.000 jiwa) warga Indonesia karena pandemi Korona, saya mengajak semua umat beragama di Indonesia berdoa dan mengheningkan cipta serentak pada Hening Cipta Indonesia besok Sabtu (10/7/2021) pukul 10.07 WIB selama 60 detik,” kata Menteri Agama di akun instagramnya.
Di akun YouTube Sraddha Jalan Mulia Art Project, Lagu Panyuwunan telah ditonton dan didengarkan lebih dari 23 ribu kali. Melalui akun itu, Tim Sraddha Jalan Mulia Art Project juga mengajak siapapun untuk berpartisipasi melantunkan Lagu Panyuwunan. Publik bisa mengunduh materi notasi, chord, musik iringan, dan syair lagu ini di website https://sraddha.net/download/.
Kini, sudah lebih dari 100 orang dan kelompok tampil membawakan lagu ini dengan berbagai versi aransemen. Masing-masing penampil memiliki karakter unik, mulai dari anak kecil, orang dewasa, hingga lansia. Mereka tampil dengan serius dan penuh totalitas.
Baca juga: Etnomusikologi Mengisi Pandemi
Lagu Panyuwunan menjadi semacam oasis bagi banyak masyarakat yang kehilangan sanak saudara akibat pandemi.
Terlibat
Antropolog sekaligus pendiri Sanggar Matur Nuwun Lab Kreatif, Pondok Pesantren Cigaru, Majenang, Cilacap, Faisal Kamandobat melihat Lagu Panyuwunan sudah memiliki kekuatan dari teksnya sendiri yang sederhana, indah, tetapi bermakna mendalam. Selain itu, Dimawan sebagai komposer mampu memberikan strimulus nada yang mudah diingat dan membuat orang mau terlibat di dalamnya.
“Antara teks yang kuat, dalam, indah dan sederhana digabung dengan musik yang sama kuatnya, lalu dilempar ke masyarakat, otomatis getaran dan vibrasinya mudah masuk ke manapun, termasuk ke Majenang, ke anak-anak dusun. Mereka tidak kesulitan. Lagu ini menjadi semangat dan ada sesuatu yang sangat mahal yaitu kegembiraan yang menjadi barang mewah sekarang. Lagu ini membawa anak-anak bisa gembira merespons dengan rebananya, beribadah dengan senang melalui puisinya Romo Kuntara,” kata Faisal.
Penyanyi Yogyakarta yang juga vokalis Kua Etnika, Silir Wangi mencoba juga membuat tafsir terhadap Lagu Panyuwunan dengan aransemen baru bersama musisi Satrio W. Tanpa meninggalkan aspek meditatif, Silir dan Satrio membawakan lagu ini dengan tempo yang lebih lambat dan cengkok khas sinden Jawa. Nuansa kontemplatif serupa kembali disuguhkan Devi Koeswarawangi dengan begitu syahdu.
Eyang Soegito, seorang nenek berusia 79 tahun yang aktif di Paduan Suara Efata Gereja Kristen Jawa, Condong Catur, Sleman, DIY bersemangat menyanyikan Lagu Panyuwunan. “Ketika mendengar undangan terbuka untuk melantunkan lagu Panyuwunan, dengan sigap notasi musik didownload dari situs sraddha.net. Lagu dipelajari dengan singkat. Dimintanya salah satu cucunya untuk mengambil video dan mengirimkan melalui email dan whatsapp kepada kami. Terima kasih Eyang Soegito. Suara yang indah telah membangkitkan keberanian kami semua untuk tetap bersemangat dalam menghadapi pandemi ini,” kata Samuel Indratma, Direktur Kreatif Sraddha Jalan Mulia Art Project.
Penyanyi Bali, Ayu Laksmi bersama ibundanya, I Gusti Ayu Sri Haryati tak mau ketinggalan. Ia bahkan mempersiapkan rekaman suara dan musik secara khusus untuk lagu ini.
Begitu seterusnya, banyak pihak tergerak untuk terlibat membawakan Lagu Panyuwunan. Lagu ini melintasi segala sekat, menyapa, menemani, dan menguatkan siapa saja di tengah pandemi. Ia hadir pada momen dan audiens yang tepat.
“Lagu itu mewakili apa yang ingin saya ungkapkan, ketika saya harus merelakan keluarga terdekat saya yang dipanggil Tuhan. Saya harus diingatkan agar punya nalar yang jembar (seluas samudera). Saya meresapi setiap teksnya, benar-benar dihardik untuk semangat di tengah-tengah ketakutan,” kata Savitri, mantan mahasiswa Romo Kuntara.
Ketika seseorang meminta terjemahan Lagu Panyuwunan, Romo Banar kemudian membaca ulang kata-kata kunci lagu itu. Pada bagian refrein, ia menemukan lapis-lapis kedalaman daya jiwa manusia di sana.
“Gusti kula nyuwun saras, sarasing sukma, resiking maras. Ini Lapis paling dalam. Saya menterjemahkan maras sebagai organ dalam, bisa dimaknai sebagai hati. Lalu, Gusti, kula nyuwun tamba, tambaning jiwa, segering raga, ini pada wilayah kehendak. Kemudian, Gusti, kula nyuwun seneng, senenging manah, tulaking sereng, ini wilayah emosi, dengan kontrasnya dengki (sereng) sehingga kita minta penangkal dengki. Lalu, untuk mengontrol semuanya, kita meminta kesabaran dan luasnya wawasan…Gusti, kula nyuwun sabar, sabaring budi, nalar jembar,” papar Romo Banar.
Pada satu sisi, Lagu Panyuwunan menjadi permenungan yang sangat personal, tapi di sisi lain juga sangat sosial. Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta PM Laksono menyebut Panyuwunan sebagai lagu yang luar biasa karena bisa dilantunkan secara bebas oleh siapapun tanpa ketakutan.
“Dalam situasi ini (pandemi) seperti muncul kekuatan untuk hanyut, terbawa. Ini menjadi penting kalau lirik lagu ini diperlakukan sebagai doa. Maka, doa yang tepat itu adalah doa yang bersifat sosial, yang komunikatif, bukan hanya pada Tuhan tapi juga pada kiri kanan kita, saudara, teman, dan sebagainya,” kata Laksono.
Empat baris bagian tengah dari seluruh geguritan Romo Kuntara itu mampu menerobos batas-batas formal struktur sosial, agama, dan sekat-sekat lainnya. Liriknya bisa menyeberang ke mana-mana. Siapapun bisa menyebut Gusti tanpa sungkan, tak ada konflik di sana.
Lagu Panyuwunan menjadi semacam oasis bagi banyak masyarakat yang kehilangan sanak saudara akibat pandemi. Ia juga menemani mereka yang sedang menjalani masa-masa berat isolasi mandiri, termasuk tiga orang yang membidani lahirnya lagu ini. Dimawan sendiri menyebut lagu ini sebagai vaksin seni!
Baca juga: Seni yang Menyembuhkan dan Meneguhkan Saat Pandemi Covid-19
Lirik Panyuwunan merupakan cuplikan dari 48 geguritan Romo Kuntara yang tidak pernah dipublikasikan. "Puisi-puisi itu kemudian dikumpulkan menjadi buku berjudul Sraddha-Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa yang terbit pada 2016, tiga tahun setelah penulisnya meninggal dunia, tanggal 26 Juli 2013," ungkap Romo Banar yang juga editor buku Sraddha.
Sraddha sendiri berarti memuliakan seseorang atau leluhur yang telah meninggal. Sraddha juga berarti kerinduan, kesetiaan, dan keteguhan yang dalam konteks pandemi diyakini sebagai bekal penting dalam mengarungi masa-masa sulit. Dengan cara inilah, penghargaan, penghormatan, dan perjuangan terhadap kehidupan diwujudnyatakan.