Pemerintah sejauh ini masih fokus pada penanganan masyarakat yang sakit atau meninggal akibat Covid-19. Keluarga yang ditinggalkan, khususnya anak-anak, sangat membutuhkan pendampingan.
Oleh
Ahmad Arif/Sonya Hellen Sinombor/Aditya Putra Perdana
·4 menit baca
Kehilangan orangtua, ayah dan ibu sekaligus, secara mendadak dalam rentang waktu yang pendek, menghadirkan dampak besar psikososial yang besar bagi anak-anak, terutama bagi mereka yang masih membutuhkan pendampingan untuk masa tumbuh kembangnya. Dalam jangka panjang, anak-anak membutuhkan waktu untuk memulihkan trauma akibat ditinggal orangtuanya.
Pentingnya dukungan sosial kepada keluarga korban Covid-19 disampaikan Margaretha Ega Woda (45), warga Kelurahan Kambajwa, Kecamatan Kota Waingapu, Sumba Timur. Saat ini dia menjadi wali dari dua ponakannya, Varel (19) dan Vanya (12), setelah kakak kandungnya meninggal karena Covid-19. Pada 20 Mei 2021, ibu kedua anak tersebut, Maria Luna Woda, meninggal karena Covid-19. Tepat dua bulan kemudian, 20 Juli 2021, suami Maria juga meninggal karena bunuh diri.
”Kakak ipar sangat terpukul dan stres karena tiba-tiba kehilangan istri karena Covid-19. Tetapi, di sini tidak ada psikolog dan ahli kejiwaan yang mendampingi. Kami juga tidak punya kemampuan mendampingi. Itu penyesalan terbesar kami,” kata Ega, dalam wawancara, Rabu (18/8/2021).
Ega berharap aspek psikologis keluarga korban Covid-19 mendapat perhatian karena di daerah banyak stigma sosial terhadap mereka yang sakit dan meninggal karena Covid-19.
Pemerintah sejauh ini masih fokus pada yang sakit atau meninggal, tetapi belum memperhatikan keluarga yang ditinggalkan. Dukungan dari tempat kerja, lingkungan sosial, dan keagamaan juga sangat terbatas, seperti yang dialami kakak iparnya.
Sementara, beban psikis dari anak-anak yang ditinggal kedua orangtuanya secara mendadak sangat berat. Mereka membutuhkan pendampingan khusus. Varel dan Vanya, yang baru diberi tahu ibunya meninggal setelah dua minggu, sangat terpukul.
Kini Ega tidak hanya menjadi tumpuan ekonomi bagi dua ponakannya yang tengah memasuki masa perkembangan, tapi juga harus mendampingi kejiwaan mereka. Tahun depan Vanya harus masuk kuliah, sedangkan Varel baru saja masuk sekolah menengah pertama. ”Tapi, kami memang punya keterbatasan juga. Anak-anak saya juga masih sekolah. Kami sangat berharap ada dukungan untuk masa depan anak-anak yang jadi korban Covid-19,” katanya.
Di Desa Derekan, Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Christiyanto (41) kini harus mengambil alih peran kedua orangtuanya. Sejak kedua orangtuanya meninggal akibat Covid-19 pada Juni 2021, Christiyanto menjadi tulang punggung keluarga, terutama untuk kedua adiknya di rumah, Malinda Dewi (21) dan Digra Maheka Putra (10).
Setelah ayah mereka, Kartono Mardi Utomo (64), meninggal pada 11 Juni 2021 dan ibunya, Sumiyati (62), meninggal empat hari kemudian, dia yang mengurus semua keperluan sehari-hari adik-adiknya. ”Karena saya anak paling besar, kini tanggung jawab ada di saya. Bapak saya pernah bilang, pokoknya, adik-adik saya sekolahnya harus selesai,” kata Christiyanto, Kamis (19/8/2021) siang.
Bersama dua adik lainnya, Jaka Tri (34) dan Kartika Putri (30) yang berada di luar kota, Christiyanto menjadi tumpuan kedua adik mereka yang masih kuliah dan sekolah.
Potensi ”stunting”
Ketua Umum Forum Zakat Bambang Suherman dalam diskusi daring pada Jumat (20/8) mengingatkan, sebagian anak-anak yang kehilangan orangtua selama pandemi ini berasal dari keluarga kurang mampu.
”Ada kekhawatiran dengan membesarnya angka anak yatim, terjadi potensi generasi stunting akibat kekurangan gizi. Ini mendesak karena anak-anak yang jadi yatim piatu berasal dari keluarga kurang mampu,” kata Bambang yang mengajak masyarakat yang masih berkecukupan secara ekonomi menjadi wali anak-anak yatim piatu.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama Tarmizi Tohor menambahkan, bantuan yang dibutuhkan untuk anak-anak yatim atau piatu ini bukan hanya material, melainkan juga psikologis dan spiritual.
Ada kekhawatiran dengan membesarnya angka anak yatim, terjadi potensi generasi stunting akibat kekurangan gizi. Ini mendesak karena anak-anak yang jadi yatim piatu dari keluarga kurang mampu.
Deputi Perlindungan Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengungkapkan, anak-anak yang ditinggal orangtua memang harus dipastikan pemenuhan kebutuhan dasarnya, kebutuhan spesifik, dan perlindungannya. ”Misalnya jika diperlukan layanan psikososial, dan lain-lain, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,” ujarnya.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menegaskan, Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Perlindungan Anak memandatkan perlunya perhatian khusus agar hak hidup dan tumbuh kembang anak-anak yang telantar bisa dipenuhi dengan baik. ”Tidak boleh ada alasan karena pandemi dan atau orangtuanya meninggal menjadikan anak-anak telantar. Maka, pendampingan anak sangat penting dilakukan,” ujar Jasra.