Anak-anak yang kehilangan orangtua akibat Covid-19 membutuhkan bantuan sesegera mungkin untuk mengatasi beban psikis. Mereka juga memerlukan pendampingan dalam jangka panjang.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak yang kehilangan orangtuanya karena Covid-19 merupakan pandemi tersembunyi yang selama ini tidak diperhitungkan. Padahal, mereka mengalami beban psikis yang berat sehingga tak hanya membutuhkan dukungan jangka pendek tetapi juga pendampingan psikososial dalam jangka panjang.
”Anak-anak yang kehilangan orangtua ini merupakan hidden pandemic (pandemi tersembunyi), yang selama ini tidak diperhitungkan. Mereka butuh bantuan sesegera mungkin untuk mengatasi beban psikis, tetapi juga perlu pendampingan dalam jangka panjang,” kata Ketua Laboratorium Intervensi Sosial dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicky Pelupessy di Jakarta, Senin (23/8/2021).
Menurut Dicky, kehilangan orangtua secara tiba-tiba karena Covid-19 merupakan beban psikologis dan sosial yang sangat berat bagi anak. Aspek psikososial ini harus jadi perhatian utama, selain juga bantuan ekonomi dan pendidikan untuk mereka.
Menurut Dicky, persoalan anak-anak yang ditinggal orangtua ini bisa berbeda-beda, bergantung pada umur saat ditinggalkan, selain latar belakang sosial ekonomi. ”Selain menyediakan kebutuhan anak, orangtua bertugas membantu anak melewati fase perkembangan mulai dari aspek kognitif, moral, dan sosial sehingga mereka tumbuh baik. Ada kebutuhan anak yang berbeda di tiap fase umur ini,” tuturnya.
Data akurat mengenai kondisi anak saat ditinggalkan orangtua menjadi sangat penting. ”Perlu pemetaan mengenai berapa umurnya, kondisi sosial ekonomi, bagaimana dukungan keluarga dan lingkungan. Ada faktor risiko yang berbeda-beda yang bisa dialami anak saat ditinggalkan orangtua,” katanya.
Karakter khas di Indonesia, lanjut Dicky, anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya biasanya akan diasuh oleh keluarga besar mereka. Namun, dalam situasi pandemi seperti saat ini, banyak keluarga besarnya juga terdampak dari aspek kesehatan maupun sosial-ekonomi sehingga menurunkan daya dukung.
Menurut Dicky, sejauh ini upaya penanganan pandemi di Indonesia belum memperhitungkan pandemi tersembunyi dengan banyaknya anak-anak yang kehilangan orangtua. ”Untuk Satuan Tugas Penanganan Covid-19 saat ini lebih fokus ke perubahan perilaku,” katanya.
Perlu pemetaan mengenai berapa umurnya, kondisi sosial ekonomi, bagaimana dukungan keluarga dan lingkungan. Ada faktor risiko yang berbeda-beda yang bisa dialami anak saat ditinggalkan orangtua.
Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi anak-anak ini, perlu perhatian khusus tentang pendampingan terhadap anak-anak. ”Saya mengusulkan ada satgas khusus perlindungan anak-anak korban pandemi melibatkan berbagai pihak. Jadi, tidak hanya vaksinasi Covid-19 yang harus dipercepat, tetapi juga ada strategi perlindungan anak jangka pendek, menengah, hingga panjang,” tuturnya.
Wahyu Kustianingsih, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam diskusi daring bersama Sonjo Angkringan pada Minggu (22/8/2021) mengatakan, menyerahkan anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya kepada keluarga besar tidak berarti menyelesaikan masalah. Keluarga baru bagi anak-anak ini juga harus didampingi. Kalau, misalnya, anak-anak ini diserahkan kepada keluarga besarnya, lingkungan terdekat juga turut memantau kondisinya.
Setiap anak juga membutuhkan pendampingan yang spesifik, sesuai kondisi masing-masing. Dia mencontohkan kasus Vino (10) dari Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang ditinggalkan kedua orangtua dan kemudian diserahkan kepada kakek dan neneknya di Sragen, Jawa Tengah. Padahal, kakek dan nenek ini juga rentan sehingga membutuhkan pendampingan ke depan.
Contoh lain adalah delapan bersaudara di Berau, Kalimantan Timur, yang ditinggalkan kedua orangtua, yang berisiko terpisah satu sama lain. ”Penanganannya harus mempertimbangkan varian mikronya, dan ini tidak bisa disamakan di tiap kasus. Masalah kita memang lemahnya pendataan,” ujarnya.
Menurut Wahyu, anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya ini juga kerap mendapatkan stigma atau perundungan dari lingkungan, bahkan keluarga besarnya. Apalagi jika anak-anak itu dianggap sebagai penular Covid-19 di lingkungan keluarga. Oleh karena itu, perlu ada dukungan sosial dari teman sebaya dalam melewati masa krisis atau transisi. ”Selain ada pendampingan dari para ahli dan keluarga besar,” katanya.
Pendataan dari bawah
Sejauh ini, secara kuantitatif jumlah anak yang ditinggalkan orangtuanya karena pandemi belum terdata dengan baik, termasuk kondisi sosial-ekonominya. Sejumlah lembaga nonpemerintah saat ini melakukan pendataan sendiri untuk membantu anak-anak yang ditinggalkan orangtua selama pandemi.
Alissa Wahid dari Gusdurian Peduli mengatakan, organisasinya mendata anak-anak yatim piatu karena orangtua mereka meninggal akibat Covid-19 melalui jejaringnya. ”Saat ini sudah ada ratusan yang didaftarkan,” ujarnya.
Selain memberikan bantuan dalam jangka pendek, menurut Alissa, upaya yang dilakukan Gusdurian Peduli berupa pendampingan psikososial jangka panjang, dukungan untuk keberlangsungan hidup, dan perlindungan sosial jangka panjang. ”Gusdurian Peduli juga membuat platform khusus untuk jangka panjang, yaitu Peduli Yatim Piatu, dan menyiapkan orangtua asuh,” katanya.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, sejumlah desa berinisiatif melakukan pendataan. Camat Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta, Fauzan mengatakan telah berinisiatif melakukan pendataan yang rinci mengenai kondisi anak-anak ini, termasuk pendampingan yang dibutuhkan. Data lebih mikro mengenai kondisi anak-anak yatim ini dinilai sangat penting.
Dari pendataan sementara, dari 228 orang yang meninggal di Banguntapan selama pandemi, telah meninggalkan 167 anak yang menjadi yatim atau piatu, baik yang orangtuanya status positif Covid-19 maupun probable. Saat ini datanya masih diverifikasi karena ada yang orangtuanya meninggal di masa sebelumnya.
Data ini, lanjut Fauzan, telah dikomunikasikan ke level kabupaten, selain juga dipakai untuk advokasi langsung. ”Dengan data ini, beberapa donatur sudah masuk. Bahkan, ada warga yang datang dan ingin mengadopsi sebagai anak angkat. Harapannya memang bukan hanya bantuan langsung, melainkan juga dampingan untuk jangka panjang,” katanya.