Program Organisasi Penggerak Kemendikbudristek Terkatung-katung
Sejumlah organisasi peserta Program Organisasi Penggerak (POP) menyesalkan keputusan pemerintah memangkas anggaran POP dan tetap mewajibkan realisasi program sesuai cakupan sekolah dan daerah seperti di dalam proposal.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
DOKUMENTASI YAYASAN SATRIABUDI DHARMA SETIA
Suasana belajar di salah satu layanan pendidikan anak usia dini (PAUD) di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur. Anak-anak usia dini semangat belajar meskipun minim alat bantu pembelajaran.
JAKARTA, KOMPAS — Program Organisasi Penggerak sebagai terobosan Merdeka Belajar dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi masih terkatung-katung. Selain ketidakpastian anggaran, waktu pelaksanaan program yang terlampau singkat membuat sejumlah organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan harus memutar otak untuk mencari tambahan dana. Bahkan, sebagian ada yang mempertimbangkan diri untuk mundur.
Program Organisasi Penggerak (POP) yang diseleksi sejak 2020 pelaksanaannya terus mundur. Pada 19 Agustus lalu, sebanyak 135 peserta POP diundang dalam pertemuan daring oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek. Adanya refocusing anggaran Kemendikbudristek membuat anggaran yang dijanjikan untuk POP tidak dapat direalisasikan sesuai rencana anggaran biaya (RAB) yang sudah disetujui sebelumnya, yaitu paling kecil Rp 1 miliar. Pemangkasan anggaran tiap RAB bervariasi, rata-rata di atas 50 persen dengan catatan harus tetap menjalankan program sesuai proposal secara daring.
Erlina VF Ratu dari Yayasan Satriabudi Dharma Setia, salah satu peserta POP, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (20/8/2021), mengatakan, keikutsertaan yayasan ini di POP karena ingin membantu layanan pendidikan berkualitas bagi anak-anak di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
”Kami ingin membantu pendidikan anak usia dini di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, dengan metode Montessori yang nanti disesuaikan lagi dengan kondisi di sana. Pendidikan di sana selama ini tertinggal, di NTT saja terendah. Kami berharap bisa membantu dengan POP, bukan mengejar anggaran,” kata Erlina yang selama ini mengembangkan pendidikan lewat Komunitas Sekolah Rumah Pelangi.
Menurut Erlina, sejak 2020, peserta POP lebih banyak disibukkan dengan ikut bimbingan teknis dan revisi. Pendanaan kegiatan untuk riset dan kunjungan ke lokasi serta melakukan kesepakatan dengan dinas pendidikan setempat sudah dilakukan dengan dana dari yayasan. Sasaran sekolah dan guru PAUD sudah diperhitungkan sesuai RAB yang dijanjikan Rp 1 miliar.
”Tiba-tiba sekarang dipotong hanya Rp 400 juta. Pelaksanaannya pun sampai akhir Desember harus selesai. Dengan dana yang dipangkas besar-besaran itu, kami diminta melakukan kegiatan daring,” ujar Erlina.
Tidak semua daerah punya akses internet baik, apalagi di daerah 3T. Selain itu, untuk mengoptimalkan para guru PAUD memahami metode Montessori yang dapat diadaptasi dengan kondisi tiap sekolah, tidak cukup dengan model daring.
Jika POP melakukan program yang asal-asalan, yang penting uang terserap dan dilaporkan, sama saja kami mengkhianati masyarakat. (Erlina VF Ratu)
”Jika POP melakukan program yang asal-asalan, yang penting uang terserap dan dilaporkan, sama saja kami mengkhianati masyarakat. Keikutsertaan POP ini untuk bisa berkontribusi dengan dukungan pemerintah dan benar-benar melakukan program yang berdampak pada perubahan mutu pendidikan di daerah 3T,” ujar Erlina.
Menurut Erlina, tim di yayasan harus berusaha mencari dana tambahan dari donatur. Tidak mungkin melaksanakan pembelajaran daring penuh tanpa secara langsung mengajar guru. ”Belum tahu bagaimana soal dana. Namun, kami tetap sungguh-sungguh ingin membantu peningkatan pendidikan PAUD yang benar-benar berpusat pada anak, bukan dengan model yang asal-asalan,” ujarnya.
Warga melewati jalan beton di Kampung Sinimburu, Distrik Yaniruma, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Minggu (8/3/2020). Sebanyak 79 keluarga tinggal di kampung yang berada di tepi Sungai Deiram ini. Warga masih berpola hidup berburu dan meramu.
Protes juga disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Nusantara Sejati yang selama ini melayani pendidikan di Papua dan Papua Barat. ”Kemungkinan kami akan mundur kalau POP dijalankan seperti ini. Anggaran dipangkas, tetapi cakupan sekolah dan daerah harus tetap seperti proposal. Pihak Kemendikbudristek berpikir sederhana, semua bisa dilaksanakan daring. Kalau untuk daerah Jawa dan kota besar masih bisa. Ini daerah 3T di Papua dan Papua Barat tak semua punya kemewahan jaringan internet,” tutur Eka.
Menurut Eka, pelaksanaan POP yang terus diundur sebenarnya sudah menimbulkan tanda tanya. Padahal, keikutsertaan di POP murni supaya bisa makin meluaskan jangkauan pelayanan ke sekolah dan masyarakat di daerah 3T.
Program literasi dan numerasi di sekolah-sekolah Papua dan pendekatan ke masyarakat sudah dibuktikan efektif berhasil. Selama ini implementasi dilaksanakan dengan dukungan donatur dari organisasi kemasyarakatan dunia, pemda, dan perusahaan swasta.
”Kami merasa kalau ada dukungan dari pemerintah pusat, akan makin baik. Kami makin mudah untuk melakukan pelayanan pendidikan di daerah yang lebih luas. Namun, nyatanya model kerja yang diinginkan asal anggaran terserap saja. Sungguh mengecewakan,” kata Eka.
Menurut Eka, pertimbangan mundur dari POP karena alokasi dana yang diajukan di RAB tidak memadai untuk melakukan program peningkatan kualitas untuk daerah 3T yang tersebar dan terpencil. Dana terus dipangkas, dari awal 20-30 persen, lalu RAB yang sudah disepakati dipangkas lagi sampai 40 persen. Namun, yayasan ini tetap wajib melakukan pelayanan di enam kabupaten/kota dan dua kabupaten di Papua Barat, yang memang membutuhkan dukungan pelatihan.
Eka juga heran dengan berbagai alasan penundaan sehingga dari target waktu sembilan bulan pelaksanaan, kini hanya Agustus-Desember (empat bulan). Kelambatan ini juga karena ada peserta POP yang sudah lolos seleksi, tetapi ternyata memiliki masalah administrasi.
”Kami selama ini sudah punya reputasi baik dalam menjalankan program pendidikan bermutu. Kami tidak mau karena POP malah jadi menurun mutunya. Sayang sekali kalau POP hanya mengejar output, asal sudah dilaksanakan. Kami menimbang-nimbang untuk mundur,” kata Eka.
Melly Kiong, pendiri Komunitas Keluarga yang didukung Yayasan Karakter Eling Indonesia di Jakarta, membenarkan ada pemangkasan anggaran. Yayasan ini bergerak dalam pendidikan keluarga yang mendidik orangtua dan guru untuk menjalankan pengasuhan dan pendidikan yang berkesadaran (mindful parenting). ”Ya, harus putar otak supaya tetap jalan. Kami mencari ide lagi supaya tetap bisa jalan dengan kondisi sekarang,” kata Melly singkat.
Praktisi pendidikan Indra Charismiadji merasa prihatin dengan POP yang tidak serius. ”Banyak yang sudah keluar biaya besar untuk persiapan. Namun, ternyata dana yang dijanjikan dipangkas besar-besaran. Kasihan,” ujar Indra.
Di awal, POP sudah menuai kontra. Sejumlah organisasi besar yang selama ini bergerak dalam bidang pendidikan mundur dari seleksi.
Gotong royong
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode 4: Program Organisasi Penggerak pada 10 Maret 2020. Nadiem menjanjikan perubahan paradigma yang lebih gotong royong. ”Bukan hanya janji palsu gotong royong, kita akan menggerakkan sekolah dengan organisasi penggerak,” kata Nadiem.
Gotong royong pendidikan bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa yang sampai saat ini masih tertinggal. POP merupakan program pemberdayaan masyarakat secara masif melalui dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah berdasarkan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa.
POP merupakan keterlibatan komunitas. Gerakan yang bukan dilaksanakan pemerintah, melainkan oleh berbagai organisasi yang selama ini sudah bekerja keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan, banyak yang tidak pernah meminta bantuan pemerintah.
”Sekarang pemerintah akan mendukung mereka. Organisasi penggerak sebagai civil society yang akan terus bekerja meskipun pemerintahan dan menteri berganti untuk mentransformasi sekolah penggerak. Pemerintah akan memberikan pendanaan dan monitoring,” papar Nadiem.
POP dibagi berdasarkan kelompok ”gajah” yang akan mendapat pendanaan besar karena sudah punya skala besar dan sudah membuktikan hasil akhir dari sisi pembelajaran siswa. Kelompok ini bisa melakukan intervensi sekitar 100 sekolah.
Adapun kategori ”macan” adalah organisasi yang relatif kecil dan belum membuktikan dengan data riset, tetapi ada indikasi awal program mereka efektif dengan kemampuan menyasar intervensi 20 sekolah. Lalu kategori ”kijang”, organisasi yang masih kecil, tetapi punya tim hebat dan patut diberi kesempatan.