Segera Evaluasi SMK di NTT yang Terkesan Asal-asalan
Banyak SMK di NTT terkesan menggelar pendidikan secara asal-asalan. Kualitas lulusan pun dipertaruhkan. Pemda berjanji segera evaluasi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah menengah kejuruan di pedalaman Nusa Tenggara Timur terkesan asal-asalan. Kepemimpinan sekolah yang minim inovasi serta lemah semangat untuk maju ditengarai menjadi penyebabnya. Pemerintah daerah berjanji akan mengevaluasinya termasuk mengganti kepala sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi, pada Jumat (20/8/2021), mengatakan, kondisi tersebut ia temukan saat mendatangi ratusan sekolah tanpa terlebih dahulu memberi tahu kepada pihak sekolah. Hingga Jumat, Linus sudah melakukan kunjungan mendadak ke 661 sekolah sejak memimpin dinas itu pada Januari lalu.
Sekolah-sekolah dimaksud adalah sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, dan sekolah luar biasa yang berada di bawah kendali pemerintah provinsi. Total sebanyak 903 sekolah.
”Kesimpulan sementara yang ditarik dari kondisi itu adalah persoalan pada kepemimpinan di sekolah. Kepala sekolah sangat miskin inovasi dan semangat untuk mengembangkan sekolah menjadi maju. Ini jadi bahan evaluasi serius bagi kami,” ujar Linus.
Evaluasi dimaksud, lanjut Linus, bisa berupa teguran kepada kepala sekolah agar segera memperbaiki kinerjanya. Lebih dari itu, kepala sekolah akan diganti. ”Untuk pergantian kepala sekolah, itu menjadi kewenangan Bapak Gubernur (NTT Viktor B Laiskodat),” katannya.
Temuan lapangan
Pada Rabu (18/8/2021), misalnya, Linus mendatangi sejumlah sekolah di Kecamatan Amarasi Timur dan Amabi Oefeto Timur. Dua di antaranya adalah SMK Negeri 1 Amarasi dan SMK Negeri 1 Amabi Oefeto Timur.
Di SMK Negeri 1 Amarasi hanya didapati seorang guru atas nama Marthen Jolawang yang bertugas. Sementara guru-guru yang lain tidak ke sekolah. Padahal, selama pandemi Covid-19, pembelajaran tatap muka dihentikan, tetapi guru diwajibkan datang ke sekolah.
Kalau siswa, jangan tanya lagi, ada yang tidak muncul sama sekali. (Marthen Jolawang)
”Kepala sekolah kami tinggal di Kupang (sekitar 50 kilometer), kadang datang kadang tidak. Sementara guru-guru juga malas ke sekolah. Ada yang pulang kampung. Kalau siswa, jangan tanya lagi, ada yang tidak muncul sama sekali,” kata Marthen dengan wajah polos.
Di sekolah yang berdiri tahun 2016 itu kini terdapat 130 siswa dan 30 tenaga pengajar dengan hanya empat di antaranya aparatur sipil negara. Bidang keahlian yang digeluti adalah agribisnis tanaman pangan dan hortikultura serta agribisnis peternakan.
Terdapat dua lokasi praktik lapangan di sekolah itu untuk masing-masing bidang keahlian. Di bagian belakang ruang belajar terdapat areal tanaman hortikultura yang hanya berupa satu bedeng tanaman cabai. Kondisi tanaman itu pun menguning lantaran minim disiram air.
Di sisi lain terdapat sebuah kadang ayam yang di dalamnya tidak terdapat satu ekor pun ayam. Tak tercium pula bau kotoran ayam atau aroma pakan ayam. ”Di sini hanya pernah ikat ayam saja. Ayam tidak ada,” kata Marthen, jujur.
Dari sekolah itu dilanjutkan perjalanan lagi ke SMK Negeri 1 Amabi Oefeto Timur yang berjarak lebih kurang 40 kilometer. Sekolah dimaksud memiliki bidang keahlian tanaman produksi dan peternakan. Berdiri sejak tahun 2014.
Seperti SMK sebelumnya, bangunan di sekolah ini juga permanen, bahkan dilengkapi dengan empat mes guru. Sayangnya, di lokasi praktik tanaman produksi tidak terdapat satu tanaman pun. ”Rencananya nanti akan dibudidayakan tanaman kemiri,” kata Denti Anunut, guru matematika.
Sementara untuk peternakan, di sana terdapat kandang kambing. Di dalamnya terisi lima ekor kambing dengan kondisi sangat kurus. Satu ekor kambing jantan, paling besar ukurannya, pincang. Kakinya luka dan bengkak. Kambing-kambing itu seperti tak terurus.