Pemetaan Profesi Penting untuk Kembangkan Industri Film
Pengembangan industri film memerlukan pemetaan yang jelas tentang profesi perfilman, peluang karier, hingga kompetensi yang dibutuhkan. Selain itu, standar kompetensi pekerja film pun penting.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemetaan profesi perfilman, peluang karier, hingga kompetensi yang dibutuhkan penting untuk mengembangkan industri film nasional. Hal ini sekaligus mendorong upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di industri perfilman.
Gagasan tersebut dibahas dalam peluncuran dan bedah buku berjudul Peluang dan Karier Industri Film Indonesia, Rabu (18/8/2021). Buku itu disusun oleh para pelaku industri film bersama Direktorat Jenderal Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Buku ini membahas 99 profesi perfilman yang ada di Indonesia.
Aktor dan sutradara Slamet Rahardjo Djarot mengatakan, angka 99 profesi perfilman tersebut terdiri dari 85 bidang kerja pendukung ditambah 14 departemen di industri film. Beberapa departemen yang dimaksud adalah departemen penulisan skenario, tata artistik, tata kamera, penyutradaraan, pemeranan, dan tata cahaya.
(Industri) film Indonesia sedang dibangun. Bangunan dasarnya adalah tatanan tentang 99 profesi ini.(Slamet Rahardjo)
“(Industri) film Indonesia sedang dibangun. Bangunan dasarnya adalah tatanan tentang 99 profesi ini,” kata Slamet secara daring.
Pemetaan 99 profesi perfilman ini disertai juga dengan tugas kerja masing-masing profesi, pendidikan dan pelatihan keterampilan yang diperlukan, peluang, hingga petunjuk untuk memulai karier film. Buku yang disusun mulai 2017 itu nanti akan jadi pedoman bagi pekerja industri film, masyarakat, dan pelajar atau mahasiswa perfilman.
Menurut Gunawan Paggaru, sutradara yang turut dalam penyusunan buku ini, sumber daya manusia (SDM) dari instansi pendidikan belum sesuai dengan tuntutan industri film. Hal ini membuat SDM sulit diserap lapangan kerja yang tersedia. Pemetaan profesi dan kompetensi diharapkan menjadi acuan untuk menyusun kurikulum yang sesuai.
Selain produksi dan ekshibisi, pendidikan merupakan salah satu mata rantai penting dalam ekosistem film. Pendidikan tidak hanya menghasilkan SDM, tapi juga apresiator film. Pendidikan turut menjamin keberlanjutan ekosistem film di Indonesia.
“Buku ini penting untuk menjadi tolak ukur link and match dunia pendidikan dengan industri. Ini juga sebagai tolak ukur kompetensi SDM di industri film,” kata Gunawan yang juga Ketua Persatuan Karyawan Film dan Televisi (KFT).
Buku tersebut akan terbit dalam tiga jilid. Jilid pertama membahas tentang ragam profesi film, jilid kedua tentang regulasi perfilman, dan jilid ketiga tentang daftar istilah di dunia film.
Standar kompetensi
Selain melalui pendidikan, upaya meningkatkan kualitas SDM perfilman dilakukan dengan menerapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). SKKNI mendorong sertifikasi bagi para pekerja industri film. Ini sekaligus untuk menyiapkan industri film Indonesia masuk ke pasar global.
KFT pada Juli 2021 mencatat ada sekitar 1.000 pekerja film yang telah disertifikasi selama dua tahun terakhir. Adapun SKKNI berjalan mulai 2020.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan, tantangan industri film ke depan mungkin akan lebih rumit. Itu sebabnya insan film perlu diperkuat dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan.
“Baru di 2019 industri film berkembang pesat dari peningkatan jumlah penonton, film yang didistribusikan, hingga jumlah gedung bioskop yang ada. Pandemi mengubah banyak hal. Kita mesti menerima dan beradaptasi dari kenyataan itu kemudian sama-sama membangun kekuatan untuk memulai episode baru,” ucap Nadiem.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, produksi film di Indonesia sempat menurun pada tahun 1990-an dan berdampak ke hilangnya SDM perfilman. Upaya menghimpun lagi SDM untuk berkarya butuh waktu panjang. Industri film dan perlindungan pekerjanya perlu diperkuat untuk mencegah hal serupa terjadi di masa pandemi saat ini.
“Implikasi dari kejadian itu adalah (industri film) susah bangkit,” kata Hilmar. “Pekerjaan rumah kita masih panjang (untuk mendorong industri film) dan tidak mungkin ini dikerjakan sendirian. Semua elemen perlu bergotong royong,” tambahnya.