Alamanda Shantika Santoso Mencetak Talenta Digital Di Indonesia
Alamanda Shantika Santoso mendirikan Binar Academy sejak tahun 2017. Sekolah itu mencetak talenta digital yang berkualitas.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Nama Alamanda Shantika Santoso kerap disebut saat berbicara tentang perempuan dan teknologi digital di Indonesia. Founder Binar Academy mendirikan sekolah teknologi informasi dengan biaya terjangkau maupun gratis yang terbuka bagi siapa saja. Komitmen ini berawal dari pengalaman dia mengalami kendala biaya saat mulai kuliah.
Alamanda atau Ala pernah bergabung di Gojek bersama Nadiem Makarim yang merupakan rekan kerjanya di sebuah perusahaan. Dia menjadi Wakil Presiden Gojek. Selama 2,5 tahun di Gojek, dia berperan membidani lahirnya aplikasi Gojek, sebelum mendirikan Binar Academy. Sejak kuliah di Universitas Bina Nusantara di Jakarta, Ala sudah mendirikan perusahaan jasa pembuatan website yang membuatnya hampir drop out (DO).
Semakin lama berkiprah di dunia teknologi digital, Ala semakin sulit menemukan talenta digital di Indonesia dengan karakter lincah dengan perubahan. Dia ingin talenta digital yang berkualitas seperti dari Sillicon Valey. Pada November 2015, di Yogyakarta, Ala menulis mimpinya menjadi menteri pendidikan dan mendirikan sekolah.
Setahun kemudian, dorongan untuk mendirikan sekolah bagi talenta digital semakin menguat di hati Ala. Tak menunggu lama, dia mendirikan pendidikan non-formal Binar Academy di tahun 2017 yang dimulai di Yogyakarta. Dia didukung sahabatnya Dita Aisyah dan Seto Lareno mengembangkan start up sekolah teknologi digital.
Ala memulai Binar Academy dengan membuka kelas pelatihan coding dan teknologi digital. Dia menawarkan biaya pendidikan gratis kepada lulusan SMA. Setelah lulus, para talenta digital itu direkrut perusahaan yang membutuhkan dengan memberi biaya rekrutmen ke Binar Academy.
Dengan model ini, minat Ala untuk pendidikan dapat terus berjalan. Ala juga memberikan pelatihan kepada korporasi yang bertransformasi ke era digital. Pelatihan guna meningkatkan kapasitas talenta digital di level yunior, medium, hingga senior.
Namun, di tahun 2020, muncul kegelisahan dalam diri Ala. Sekolah Binar Academy yang terkenal sebagai sekolah gratis dan hidup dari mendapat hiring fee dari perusahaan mitra, tak lagi punya modal kuat. Model belajar gratis tak membuat komitmen kuat bagi penerima beasiswa.
“Banyak siswa yang masuk ke Binar Academy yang iseng-iseng saja, karena ini gratis. Meskipun gratis, komitmen pada kualitas tetap utama, ada biaya sewa gedung, mentor, bikin kurikulum. Akhirnya, Binar tidak bisa punya kelas gratis lagi,” kata Ala.
Pada tahun 2018, siswa yang hilang di tengah jalan ada lebih dari 50 persen. Satu angkatan menerima 100-180 siswa. Sebanyak 25 persen dari siswa yang melanjutkan pendidikan itu berhasil disalurkan ke perusahan mitra. Banyak siswa tidak serius berkarier sebagai talenta digital. Tahun 2019, dengan berat hati Ala dan tim membatalkan batch ke-13 karena tidak mampu menyediakan kelas gratis lagi.
Meski menghadapi krisis, Ala mampu bangkit dengan keputusan baru setelah belajar dari kegagalannya. “Meskipun berbayar, kami tetap pada komitmen memberikan pendidikan berkualitas yang terjangkau hingga dapat sertifikasi Education Alliance Finland. Pendidikan kini semua online dengan harga yang jauh lebih murah, sekitar 10 persen dari sekolah sejenis," kata Ala.
Harapannya, dengan biaya pendidikan terjangkau bisa mengajarkan orang menghargai dan berkomitmen pada sesuatu. "Kami berpikir untuk bisa lebih rendah lagi, supaya semakin banyak anak-anak muda di daerah yang bisa mendapatkan pendidikan untuk menjadi talenta digital berkualitas,” ujar Ala.
Kerja sambil kuliah
Ala mengingat kembali kesenangan belajar yang diciptakan kedua orangtuanya di rumah. Ada kemerdekaan belajar yang membuat dia punya rasa ingin tahu yang tinggi dan suka belajar apa saja tanpa merasa takut salah. Sayangnya, kesenangan dan kemerdekaan belajar ini sulit ditemuinya di sekolah formal, sehingga dia sering bolos sekolah.
Di rumah, Ala banyak membaca buku hingga mengeksplorasi komputer. Sang papa mengajari Ala Matematika, sedangkan dari Mama jiwa seni Ala diperkuat. Sejak kecil, Ala menemukan kesenangan dalam bidang Matematika dan komputer.
“Pas kuliah, mikirnya mau jadi dosen. Lalu jadi guru besar. Setelah masuk ke dunia usaha dunia teknologi jadi keasyikan. Tapi lama-lama aku mengingat kembali passion aku ke pendidikan. Jadilah aku nekad membangun Binar Academy,” kata Ala yang dihubungi di Jakarta, akhir Juni 2021.
Ala mengutamakan keterjangkauan atau aksesibilitas di sekolahnya ini. Ala mengenang, sebenarnya orangtuanya berada dan dia direncanakan untuk kuliah ke luar negeri seperti kedua saudaranya. Namun, tanpa diduga papa Ala mendapat serangan stroke sehingga harta benda habis untuk biaya pengobatan.
Ketika hendak ujian PTN untuk membayar uang pendaftaran Rp 150.000 saja, orang tua Ala tidak ada uang. Tanpa diduga Ala, orangtuanya bisa mencari uang untuk Ala berkuliah di Universitas Binus di program studi TI dan Matematika yang disukai Ala. Sejak usia SD Ala sudah mengenal coding dari saudaranya yang kuliah di luar negeri.
“Aku harus kerja untuk bisa membiayai kuliah. Dari jual VCD bajakan sampai memberi les anak-anak SD-SMA aku lakukan. Dari mengajar anak-anak sekolah aku jadi paham masalah pendidikan yang membuat mereka tidak suka belajar. Lalu, aku mencoba memberikan cara belajar yang menyenangkan untuk les dana anak-anak didikku berhasil punya nilai baik di sekolah,” kenang Ala.
Ala juga memakai kepiawaiannya di coding untuk berbisnis memberikan layanan website. Saat kuliah, Ala bisa mendirikan startup. Namun, dia merasa perlu bekerja di perusahan lain untuk menimba ilmu agar kelak siap untuk mengejar mimpinya di pendidikan.
Bagi Ala, pendidikan di Binar Academy bukan sekadar melatih hardskills. Ala dan tim meriset tentang pedagogi untuk membuat orang menjadi pembelajar alamiah. “Besarannya, aku menggunakan sekolah digital ini sebagai bungkus. Padahal lebih pada pembentukan karakter, softskills, dan betul-betul meriset tentang cara belajar, menyampaiakan pembelajaran, metodologi. Kami ingin seperti pendidikan di Finlandia,” ujar Ala.
Menurut Ala, dirinya ingin punya hidup yang bermanfaat untuk menyiapkan generasi berikutnya lebih baik. “Aku hanya mau meninggalkan legacy, enggak perlu sampai diingat jadi nama sesuatu gitu. Yang penting ada legacy yang aku tinggalkan yang diingat secara pengetahuan atau aksi,” ujar Ala.