Keberagaman Budaya dalam Penutup Kepala Perempuan Nusantara
Penutup kepala merupakan khazanah budaya yang ada di Nusantara dengan beragam nama dan fungsi. Sayangnya, saat ini, tradisi ini mulai ditinggalkan dalam keseharian karena sejumlah alasan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki kekayaan budaya dalam berbagai bentuk, di antaranya penutup kepala yang dikenakan masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Karena itu, untuk membangkitkan semangat keberagaman beragama dan berkeyakinan serta kebebasan berekspresi di Indonesia dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menggelar Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara.
Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara: Merawat Kebangsaan, Mengekspresikan Keberagaman yang dimulai sehari setelah peringatan Hari Kemerdekaan Ke-76 Republik Indonesia dan bertepatan juga dengan Peringatan Hari Konstitusi, Rabu (18/8/2021), merupakan kampanye kebinekaan dan kebebasan berekspresi di komunitas masing-masing.
”Melalui Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara, Komnas Perempuan mengajak kita semua untuk lebih mengenali Indonesia melalui ragam budaya yang dimilikinya. Ragam budaya yang memberikan corak bagi jati diri bangsa, sekaligus fondasi bagi penghormatan hak asasi manusia,” ujar Andy Yentriyani, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada pembukaan festival tersebut.
Andy pun mengatakan, Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara merupakan bagian dari rangkaian Bulan Konstitusi dengan tema ”Merawat Kebangsaan, Mengekspresikan Keberagaman” yang akan berakhir di peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2021.
Kalau dia sudah memakai bulang, bagaimanapun cantiknya, tidak boleh lagi ditaksir.
Festival penutup kepala ini merupakan bagian dari kampanye ”Bhinneka itu Indonesia”, yang telah digagas Komnas Perempuan hampir satu dekade. Diharapkan, kampanye ini meneguhkan komitmen bersama pada konstitusi, mewujudkan Indonesia tanpa diskriminasi, serta Indonesia yang mampu merayakan dan mengoptimalkan keberagaman.
Veryanto Sitohang, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, menjelaskan ”Kampanye Bhinneka” merupakan seruan kepada setiap warga bangsa untuk sepenuhnya memaknai dirinya adalah warga negara Indonesia. Kampanye ini dilakukan mengingat posisi perempuan yang rentan dalam setiap konflik atas nama agama, suku, ras dan antargolongan. Kampanye ini mulai dikampanyekan sejak tahun 2012.
Adapun Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara ini bertujuan untuk membangkitkan semangat keberagaman beragama dan berkeyakinan di Indonesia sebagai semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan perempuan sebagai penggerak perdamaian. Harapannya, selain mengampanyekan kebinekaan bersama kaum ibu dan perempuan penggerak perdamaian, juga akan terus mendorong komitmen bersama dalam mengampanyekan kebinekaan di komunitas masing-masing.
Lima perempuan
Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara dan Peringatan Hari Konstitusi 2021 dibuka dengan webinar secara daring yang menghadirkan narasumber perempuan dengan penutup kepala dari lima daerah di Indonesia, beserta penelitian tentang penutup kepala tersebut.
Kelima perempuan tersebut adalah Sarbini Wati (perempuan dari masyarakat adat Bayan, Nusa Tenggara Barat), Anita M Hutagalung (dari Simalungun, Sumatera Utara), Yefri (perwakilan dari Sumatera Barat), Endek (perwakilan dari masyarakat Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah), dan Nurlaini (Kepala Siginjei Jambi/penulis dan peneliti buku Kuluk Penutup Kepala Warisan Luhur dari Jambi). Dalam diskusi yang dipandu Yuniyanti Chuzaifah (Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014), kelima perempuan tersebut tampil mengenalkan beragam penutup kepala perempuan Nusantara dan berbagi pengalaman terkait makna penutup kepala tersebut.
Sarbini Wati memperkenalkan penutup kepala perempuan Lombok Utara, yang dikenal dengan sebutan ”jong”. Penutup kepala yang banyak digunakan perempuan di daerah Bayan itu terbuat dari kapas yang dipintal jadi benang, kemudian ditenun. Jong berbentuk segi empat berukuran kurang lebih 40 sentimeter yang dipadukan dengan benang warna warni.
Sebelum jong dipakai, awalnya dilipat jadi dua membentuk segitiga. Segitiga sendiri melambangkan sebuah gunung yang merupakan sumber kehidupan makhluk hidup di dunia.
”Jong digunakan sejak turun-temurun dan digunakan pada waktu acara ritual. Makna Jong bagi perempuan yang memakainya adalah sebagai salah satu busana atau pakaian kebesaran pada hari-hari tertentu dan sangat disakralkan,” papar Sarbini.
Adapun Anita memperkenalkan tutup kepala perempuan di Simalungun dikenal dengan nama ”Bulang”. Bulang bagi perempuan di daerahnya merupakan identitas. Bukan hanya sebagai identitas kedaerahan, melainkan juga sebagai identitas dalam keluarga, yakni sebagai bagian dari pernikahan.
Bagi perempuan Simalungun, bulang ada empat jenis, yakni bulang sulappei (bulang adat/pesta), bulang teget (bulang untuk pengantin), bulang suyuk (bulang pesta/usia tua), dan bulang hurbu/salalu (bulang harian).
”Dari keseluruhan bulang itu bermakna bahwa yang memakai adalah sebagai simbol perempuan yang sudah menjadi inang atau ibu. Jadi, pada zaman dulu, kalau dia sudah memakai bulang, bagaimanapun cantiknya, tidak boleh lagi ditaksir. Itu sudah identitas bahwa dia sudah menjadi ibu dan ini diberikan kepada menantu oleh mertua perempuannya,” papar Anita.
Dewi Kanti, komisioner Komnas Perempuan, menyatakan, Pembukaan Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara menunjukkan masih terpeliharanya tradisi penutup kepala perempuan sebagai warisan peradaban Nusantara.
”Para perempuan pelestari ini memiliki peran penting menjadi sumber pengetahuan tentang jati diri bangsa ini. Kita diingatkan kembali kepada keragaman Indonesia yang selama ini sering dihadapkan pada pola-pola penyeragaman,” tutur Dewi.