Rencana Pengembangan Borobudur Masih Perlu Dibenahi
Diskusi pemerintah dengan sejumlah pihak untuk mengembangkan kawasan Candi Borobudur akan berlangsung secara kontinu. Rencana pengembangan dinilai masih perlu dibenahi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pengembangan Candi Borobudur sebagai kawasan strategis pariwisata nasional dinilai masih perlu dibenahi. Pengembangan hendaknya tidak hanya memperhatikan prinsip pelestarian pusaka dunia, tetapi juga melibatkan dan berdampak positif bagi masyarakat sekitar.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Laretna T Adhisakti, Selasa (17/8/2021), mengatakan, desain yang komprehensif dibutuhkan untuk pengembangan kawasan Candi Borobudur. Desain mesti sesuai panduan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) serta memenuhi analisis dampak pusaka atau heritage impact assessment (HIA). Ini karena Candi Borobudur sudah ditetapkan sebagai warisan dunia atau world heritage oleh UNESCO sejak 1991.
”HIA untuk semua warisan dunia mesti sesuai panduan UNESCO dan ICOMOS (Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs). Prosedur HIA perlu disiapkan, seperti tata cara penetapan konsultan independen (untuk menyusun HIA). Ini belum ada di Indonesia,” kata Laretna.
Pemerintah Indonesia telah mengajukan HIA ke UNESCO. Namun, HIA dinilai belum sesuai ketentuan. UNESCO meminta Indonesia merevisi HIA. Hingga HIA disetujui, UNESCO mengimbau agar pembangunan di kawasan Candi Borobudur dihentikan sementara.
UNESCO juga sudah menyurati Pemerintah Indonesia pada 8 April 2020, 23 Oktober 2020, 4 November 2020, 12 Januari 2021, dan 28 April 2021. Sorotan tentang Borobudur juga ada dalam catatan sidang Komite Warisan Dunia ke-44 yang berlangsung pada 16-31 Juli 2021 di Fuzhou, China.
Jika teguran UNESCO diabaikan, bukan tidak mungkin teguran lebih keras diberikan. Situs warisan dunia dapat masuk ke daftar warisan dunia dalam bahaya, seperti yang terjadi pada Hutan Hujan Tropis Sumatera. Status warisan dunia pun dapat dicabut.
Hal itu dapat mencoreng nama baik negara di mata dunia. Selain itu, pencabutan status dikhawatirkan berdampak pada upaya negara mengajukan warisan dunia lain ke UNESCO.
Komitmen
Di sisi lain, pelibatan UNESCO dalam rencana pengembangan kawasan Borobudur dinilai lumrah. Ini karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia (World Heritage Convention). Komitmen melindungi warisan dunia ada pada Keputusan Presiden No 26/1989 tentang Pengesahan Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage.
Sudah saatnya paradigma pembangunan digeser dari ekonomi ekstraktif menjadi demokratis.
Laretna mengatakan, BPPI dan ICOMOS Indonesia telah berdiskusi dengan sejumlah kementerian, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Diskusi tentang kelanjutan pengembangan Borobudur akan dilakukan secara kontinu.
Pelibatan sejumlah kementerian juga mesti diperhatikan. Ini agar pengembangan Borobudur mengacu pada visi yang sama dan tidak melupakan esensi Candi Borobudur sebagai warisan dunia. Untuk itu, lembaga koordinator diperlukan. Presiden pun diharapkan memimpin pengembangan warisan dunia di Indonesia.
”Bukan berarti situs warisan dunia seperti dimasukkan dalam peti es. Situs boleh bertumbuh dan berkembang sesuai zaman, tapi harus sesuai ketentuan,” kata Laretna.
Sebelumnya, anggota Komite ICOMOS Indonesia, Soehardi Hartono, mengatakan, penerapan HIA di Indonesia masih lemah. Itu sebabnya badan atau lembaga khusus yang berwenang memantau, mengoordinasi, dan mengevaluasi situs warisan dunia di Indonesia penting (Kompas.id, 4/8/2021).
Tidak ekstraktif
Pengembangan kawasan Borobudur diharapkan tidak ekstraktif. Artinya, pengembangan tidak hanya menguntungkan pihak tertentu. Masyarakat perlu dilibatkan dan menerima manfaat dari pengembangan itu.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Wihana Kirana Jaya mengatakan, sudah saatnya paradigma pembangunan digeser dari ekonomi ekstraktif menjadi demokratis. Ini agar tidak ada masyarakat yang ditinggalkan dalam pembangunan. Hal ini sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
”Komunitas perlu dibangun dulu. Pariwisata akan jadi bonus. (Kegiatan) ekonomi harus bisa menyediakan multiplier effect yangmembesarkan komunitas. Jadi, ada kesetaraan antara investor dan komunitas lokal,” ucap Wihana.
Menurut dia, pengembangan kawasan warisan dunia dapat mengacu pada tujuh pilar. Beberapa di antaranya adalah berorientasi ke masyarakat, inklusif, menyediakan peluang kerja atau kemitraan dengan masyarakat, serta memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Wihana mengatakan, kota Cleveland di Amerika Serikat dan Princeton di Inggris merupakan preseden yang berhasil menerapkan pilar-pilar ini.
”Pola pikir perlu diubah, regulasi dibenahi, dan tata kelola bisnis disesuaikan dengan pilar-pilar ini,” katanya.