Pendidikan, Jalan bagi Penyandang Disabilitas Menuju Dunia Kerja
Pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sudah diamanatkan dalam UU Penyandang Disabilitas. Namun, kenyataannya, implementasinya masih jauh dari harapan. Akses pekerjaan masih terhambat dan pendidikan masih terkendala.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Keberadaan penyandang disabilitas sering dipandang sebagai beban atau pihak yang perlu dikasihani karena dianggap memiliki keterbatasan. Padahal, dalam keseharian, ada banyak penyandang disabilitas yang memiliki potensi yang bisa didukung, ditingkatkan kapasitasnya, dan diberi akses pendidikan. Apabila hal ini diperhatikan, sumbangan penyandang disabilitas dalam pembangunan sangat besar.
Kontribusi penyandang disabilitas akan terlihat jika pemerintah dan pemangku kebijakan memberikan perhatian khusus terhadap tantangan dan kendala yang dihadapi penyandang disabilitas. Semua itu bisa dimulai dengan memberikan hak-hak penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
UU tersebut menegaskan, pemerintah dan swasta wajib melaksanakan perintah UU tanpa diskriminasi, yakni mempekerjakan penyandang disabilitas dari keseluruhan karyawan yang dimiliki berdasarkan kuota.
Pasal 53 UU No 8/2016 secara rinci mengatur tentang pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) paling sedikit mempekerjakan 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai. Sementara itu, perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah total pekerja.
Selama beberapa tahun terakhir, memang sudah ada sejumlah lembaga/instansi atau perusahaan yang mulai terbuka menerima penyandang disabilitas sebagai pegawai/karyawan. Akan tetapi, jumlahnya masih jauh dari harapan seperti yang diperintahkan UU Penyandang Disabilitas, itu pun masih terbatas pada ragam disabilitas tertentu.
Fakta di lapangan, masih kita temukan banyak diskriminasi dalam proses perekrutan sehingga berakibat tidak terakomodasinya penyandang disabilitas dalam dunia kerja.
”Fakta di lapangan, masih kita temukan banyak diskriminasi dalam proses perekrutan sehingga berakibat tidak terakomodasinya penyandang disabilitas dalam dunia kerja,” ujar Nahar, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dalam Serial Live Consultation Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas yang kelima dengan tema ”Persiapan Anak Penyandang Disabilitas Memasuki Dunia Kerja di Masa Pandemi Covid-19”, Jumat (13/8/2021).
Untuk mewujudkan hal tersebut, sejak dini anak-anak penyandang disabilitas sudah disiapkan untuk memasuki dunia. Karena itulah, Kementerian PPPA kini mendorong, lembaga/instansi serta swasta untuk memberikan perhatian khusus terkait peluang pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
Selain peran lembaga/instansi dan swasta, peran orangtua/pengasuh sebagai bagian terdekat dari anak penyandang disabilitas sangat penting dalam proses pemenuhan kebutuhan dan akses bagi anak penyandang disabilitas. Terutama dalam menyiapkan mereka untuk dapat mulai hidup mandiri dan memasuki dunia kerja pada saatnya nanti.
Anak-anak penyandang disabilitas harus disiapkan sejak dini, mendapat pembekalan, pendidikan, agar mereka memiliki pengetahuan dan informasi yang luas mengenai langkah yang tepat serta membaca kesempatan pekerjaan yang bisa diakses. Mereka harus disiapkan secara mental dan didukung keterampilan serta kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dunia kerja.
Untuk meningkatkan kapasitas penyandang disabilitas, dukungan dari organisasi/lembaga masyarakat juga sangat penting agar bisa bersama-sama pemerintah mendorong akses pekerjaan yang luas bagi penyandang disabiltas.
Sejumlah langkah bisa ditempuh Kementerian PPPA bersama lembaga masyarakat sipil, seperti yang dilakukan Kementerian PPPA bersama Yayasan Sayangi Tunas Cilik (Save The Children). Melalui kegiatan Serial Live Consultation Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas, para orangtua dan keluarga/pendamping diberikan pengetahuan dan kesempatan untuk berkonsultasi. Konsultasi terkait tantangan-tantangan yang dihadapi serta solusi-solusi terbaik dan tepat dalam upaya menyiapkan anak-anak istimewa kita memasuki dunia kerja.
Lembaga pendidikan
Pendidikan adalah salah satu pintu masuk untuk meningkatkan akses penyandang disabilitas di berbagai sektor. Dosen Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sukinah, menegaskan, komitmen bagi anak-anak penyandang disabilitas harus ditunjukkan dengan memenuhi haknya, terutama hak dalam pendidikan.
Berangkat dari hal tersebut, pada tahun 1999 UNY mendirikan lembaga pendidikan bagi anak penyandang disabilitas Bina Anggita Yogyakarta. Pada 2004 lembaga tersebut mendapatkan perizinan sebagai lembaga formal penyandang disabilitas. Beberapa anak alumnus lembaga tersebut sudah ada yang sukses di dunia kerja, setelah lulus sekolah mereka lolos bekerja dengan perusahaan mitra lembaga tersebut.
”Keterlibatan anak penyandang disabilitas menjadi penting mulai dari keluarga, lingkungan sekitar, dan di sekolah. Dengan memberikan pendidikan kepada mereka, akan berdampak baik dengan langkah mereka menuju dunia kerja,” ujar Sutinah.
Dimulai dengan magang
Pada seri konsultasi tersebut, hadir CEO dan Founder PT Botanina Hijau Indonesia Agustina Ciptarahayu yang memberikan motivasi kepada anak-anak penyandang disabilitas serta membuka peluang bagi anak penyandang disabilitas untuk bergabung dengan Botania. ”Bisa dimulai dengan magang di bagian produksi ataupun di bagian inovasi. Kami percaya, dengan memberikan kepercayaan dan kesempatan yang sama, akan memberikan peluang kepada mereka,” kata Agustina.
Namun, sebelum anak penyandang disabilitas bekerja, Botani akan lebih dulu memberikan wawasan tentang proses dan aktivitas bisnis, membangun kepercayaan diri dan kemampuan yang dimiliki. Diakui bahwa hal tersebut bukan hal yang mudah, apalagi ada sejumlah hambatan yang dihadapi penyandag disabilitas.
Agustina memastikan, dari pengalaman yang dilakukan Botania selama ini, ada banyak sekali pembelajaran yang didapatkan. Pihaknya, misalnya, menjadi lebih peka dan menghargai aspek individualitas setiap orang, seperti saat sedang berkomunikasi dengan anak-anak penyandang disabilitas. Saat rekrutmen dilakukan, lanjut Agustina, kuncinya adalah pandangan yang melihat semua sebagai sesama manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
”Memberikan penghormatan dan kesempatan yang sama kepada anak penyandang disabilitas adalah penting dilakukan. Menjadi tugas kita bersama untuk percaya bahwa mereka memiliki potensi yang sama dan semua orang bisa berkarya. Ke depan, tantangan dan persaingan akan semakin besar, maka dari itu kita harus terus konsisten membangun kemampuan mereka agar bisa bersaing,” tutur Agustina.