Klaim Usang Pribumi dan Non-Pribumi
Siapakah penghuni asli Indonesia? Siapakah orang yang benar-benar berasal dari bumi Nusantara? Tanpa perlu saling mengklaim, ilmu pengetahuan bisa menelusurinya dengan bukti-bukti ilmiah.
Ketika pecah kerusuhan Mei 1998, tiba-tiba muncul sentimen pribumi dan non-pribumi di beberapa kota besar di Indonesia. Agar luput dari amukan massa, rumah, toko, ruko, hingga gedung ditulisi kata-kata berhuruf kapital: PRIBUMI, MILIK PRIBUMI, PRIBUMI ASLI, dan sebagainya. Pertanyaan yang patut dilontarkan berikutnya, siapakah itu pribumi Indonesia?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata pribumi sebagai: penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan; inlander (warga asli). Dari sini bisa dikejar lagi, siapakah penghuni asli Indonesia? Siapakah orang yang benar-benar berasal dari bumi Nusantara? Untuk menjawab hal ini, mari kita gunakan pisau analisis berbasis sains.
Hingga saat ini, para arkeolog meyakini, nenek moyang orang Indonesia berasal dari Afrika. Berdasarkan teori Out of Africa kedua, manusia modern atau Homo sapiens mulai bermigrasi keluar dari Afrika sejak 150.000 tahun lalu.
Sebelumnya, menurut teori Out of Africa pertama, terjadi gelombang migrasi Homo erectus dari Afrika pada 1,8 juta tahun lalu yang kemudian sampai ke Pulau Jawa pada 1,5 juta tahun lalu. Namun, 100.000 tahun lalu mereka punah.
Sementara itu, manusia modern dari Afrika, menurut teori Out of Africa kedua, tiba pertama kali di Papua sekitar 70.000 tahun silam. Mereka berjalan dari Afrika hingga ke Kepulauan Melanesia dan bergerak ke Papua serta Halmahera menjadi ras Melanesid dengan ciri fisik rambut keriting kemerahan dan berkulit hitam yang keturunannya sekarang adalah saudara-saudara kita di Papua dan sekitarnya.
Selain bermigrasi ke Papua, manusia modern dari Afrika juga bergerak ke selatan sekitar Australia 30.000 tahun lalu, kemudian ke Nusa Tenggara Timur dan lanjut ke Pegunungan Meratus di Kalimantan, begerak lagi ke Pulau Sumatera sekitar 15.000 tahun lalu menjadi ras Australomelanesid dengan ciri badan kekar dan kepala menonjol. Mereka hidup di goa-goa.
Ras Australomelanesid berkembang hingga sekitar 5.000 tahun lalu. Mereka sempat bertemu dengan manusia modern Ras Mongoloid yang bermigrasi dari China dan Taiwan ke Kepulauan Nusantara sekitar 5.000 tahun lalu.
Ras Mongoloid yang merupakan penutur rumpun bahasa Austronesia muncul sekitar 7.000 tahun lalu. Mereka juga bermigrasi dari Afrika dan sampai di Taiwan sekitar 6.000 tahun lalu, kemudian bergerak ke selatan melalui Filipina, Sulawesi, Vanuatu, Polinesia, hingga Madagaskar.
”Jika ditelusuri lebih lanjut, kita semua adalah saudara. Kita berasal dari satu pohon evolusi yang sama, yang kemudian bercabang-cabang menjadi penduduk di Kepulauan Nusantara ini,” kata arkeolog senior Balai Arkeologi Yogyakarta, Prof Harry Widianto, beberapa waktu lalu.
Bukti pertemuan ras
Pertemuan antara dua jenis ras manusia Homo sapiens, yaitu ras Australomelanesid dengan ras Mongoloid, terbukti dalam ekskavasi Situs Goa Harimau di Desa Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, yang digelar Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak 2009 hingga 2014. Kedua ras itu diduga pernah bertemu dan berinteraksi di goa itu.
Dari 78 kerangka Homo sapiens yang diekskavasi, Tim Penelitian Arkeologi Goa Harimau mendeteksi empat kerangka ras Australomelanesid. Sementara 74 kerangka individu lainnya merupakan ras Mongoloid.
Pengarah Tim Penelitian Arkeologi Goa Harimau Prof Harry Truman Simanjuntak mengatakan, Homo sapiens Australomelanesid terlebih dulu datang ke Goa Harimau dan disusul Homo sapiens Mongoloid. ”Setelah bertemu, ada adaptasi budaya di antara keduanya,” kata Truman.
Dari hasil penanggalan radiokarbon oleh Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional pada lapisan tanah teratas, umur kerangka Homo sapiens Mongoloid terdeteksi 3.464 tahun. Sementara itu, penanggalan radiokarbon oleh Waikato Radiocarbon Dating Laboratory, Selandia Baru, untuk lapisan tanah ketiga (tempat penemuan kerangka Australomelanesid) menunjukkan usia 4.840 tahun.
Meski memiliki rentang waktu usia hingga 1.376 tahun, kedua ras ini diduga pernah berinteraksi, bahkan melakukan perkawinan. ”Waktu kedatangan dua ras ini memang berbeda. Namun, ada masanya Homo sapiens Australomelanesid dan Mongoloid di Goa Harimau berhubungan,” kata anggota Tim Penelitian Arkeologi Goa Harimau dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Sofwan Noerwidi.
Indikasi bahwa kedua ras itu berinteraksi dikuatkan dengan penemuan kerangka individu nomor 48 yang dari ciri-ciri struktur tengkorak serta tulang menunjukkan percampuran ras Australomelanesid dan Mongoloid. Ciri-ciri percampuran ras individu 48 terlihat pada struktur tengkoraknya yang memanjang dengan tulang wajah sempit, khas ras Australomelanesid. Namun, pada bagian gigi seri atas individu itu berbentuk tembilang yang merupakan ciri fisik ras Mongoloid.
Bukti terjadinya percampuran ras juga tampak dari hasil analisis kerangka-kerangka manusia yang ditemukan di Situs Lambanapu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Menurut Ketua Tim Peneliti Situs Lambanapu Retno Handini, puluhan manusia yang dikuburkan di situs tersebut memiliki karakter ras Mongoloid yang bercampur dengan ras Australomelanesid. Hal ini cocok dengan analisis DNA yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman terhadap populasi Sumba saat ini.
Selain itu, diperkirakan terdapat pula percampuran antara kelompok penutur Austronesia dan Austroasiatik. Hasil studi bahasa Sumba menunjukkan, 35 persen penduduk Sumba menggunakan bahasa tutur Austronesia, sedangkan 65 persen lainnya bahasa non-Austronesia atau Papua. Hasil analisis kerangka, DNA, dan bahasa ini semakin menegaskan bahwa leluhur masyarakat Sumba memang berasal dari percampuran genetika.
Baca juga : Studi Genetika Perkuat Keberagaman Bangsa Indonesia
Adakah kemurnian ras?
Jika menilik hasil penelitian arkeologi di atas, bahwa proses percampuran ras dan budaya sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu, maka klaim tentang kemurnian ras di Indonesia menjadi semakin sulit dibuktikan. Dengan teknologi tes DNA, kini galur ras dan etnis siapa pun bisa ditelusuri bukti-bukti saintifiknya yang sahih dan tak terbantahkan.
Pada proyek DNA yang digelar majalah Historia dua tahun lalu muncul temuan menarik. Dari hasil tes DNA terhadap 16 orang, ternyata semua yang dites adalah keturunan campuran dari bermacam-macam ras dan etnis. ”Istilah (kemurnian) ras dan suku tidak lagi diperlukan. Sampai saat ini saya masih sering ditanya, Mbak Grace orang mana, ya? Manado atau Tionghoa?” kata politisi Grace Natalie yang menjadi salah satu sukarelawan tes tersebut.
Meski kemurnian ras, etnis, atau suku sulit dibuktikan dari sisi keilmuan, dalam kehidupan sehari-hari masih tetap ada kelompok masyarakat yang suka mengotak-kotakkan diri berdasarkan suku. Sebagai contoh, isu tentang putra daerah masih muncul di mana-mana dan selalu digaungkan saat pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, dan sebagainya. Isu agama juga dimainkan. ”Ternyata kita belum merdeka sepenuhnya dan masih terkungkung oleh politik pecah-belah Belanda,” paparnya.
Menurut Grace, apabila semua orang Indonesia menyadari bahwa kita semua merupakan percampuran dari berbagai macam ras dan etnis, semestinya jarak dan sekat itu hilang. Dengan berbagai macam penelitian dan riset ilmiah, bisa dibuktikan dengan sahih bahwa tidak ada suku atau etnis yang murni di Indonesia.
Sama seperti Grace, berdasarkan tes DNA, jurnalis Najwa Shihab juga terbukti memiliki 10 nenek moyang. ”Proyek ini tidak mau mencari mana ras yang murni atau tidak. Tapi, proyek ini adalah sebuah gerakan untuk menelusuri keberagaman atau kebinekaan Indonesia yang datang dari berbagai latar ras, suku, dan budaya. Kita ini beragam dan ini berbanding terbalik dengan anggapan riset Himmler pada masa pemerintahan Hitler,” ucap Pemimpin Redaksi Majalah Historia Bonnie Triyana.
Pada masa kepemimpinan Adolf Hitler, di Jerman pernah digelar proyek penelitian untuk mencari ras mana yang paling unggul. Penelitian yang dipimpin komandan Schutzstaffel Jerman Heinrich Luitpold Himmler ini rupanya dilakukan hanya untuk memberikan legitimasi bahwa ras Arya diyakini sebagai ras paling unggul yang kemudian justru berujung pada peristiwa holocaust.
Tes DNA mampu memberikan data ilmiah soal komposisi ras, penelusuran nenek moyang, hingga lini masa kehadiran ras. Semua adalah pengetahuan penting yang memberikan pencerahan asal-usul, pengaruh luar, dan budaya yang menjadikan kita orang Indonesia.
Pada akhirnya, sampailah kita kepada pertanyaan awal di atas, siapakah pribumi Indonesia? Hasil-hasil penelitian ilmiah sampai saat ini belum menemukan siapa pribumi Indonesia seperti diartikan dalam KBBI sebagai penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan; atau inlander alias warga asli. Bahkan, dari hasil penelusuran arkeologi dan DNA tak bisa dibantah bahwa kita semua adalah generasi hasil kawin-mawin dari berbagai ras sejak puluhan ribu tahun silam.
Karena itu, bersikukuh pada klaim pribumi hanyalah isapan jempol yang sulit dibuktikan secara saintifik. Namun, satu hal yang tidak bisa dibantah adalah siapa pun yang telah terdaftar sah sebagai warga negara Indonesia dengan segala warna kulit, ras, etnis, dan suku apa pun berhak hidup dan tinggal di bumi Indonesia seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Prinsip ini mesti dipegang bersama sebagai sebuah komitmen hidup berbangsa dan bernegara.
Lihat juga : Tak Ada Pribumi di Indonesia
Esok hari, Indonesia memperingati 76 tahun hari kemerdekaan, dan sampai tujuh dasawarsa lebih pasca-kemerdekaan, slogan usang pribumi dan non-pribumi masih saja berulang-ulang dilontarkan. Sentimen itu tidak saja berpotensi memecah belah persatuan, tetapi juga mengingkari jati diri warga bangsa ini yang sejatinya adalah perpaduan atau pertalian dari berbagai ras dan etnis. Selamat Hari Kemerdekaan, Selamat Merayakan Kebinekaan!