Pembelajaran Tatap Muka yang Sangat Dinantikan
Pembelajaran jarak jauh terlalu lama berisiko semakin besar untuk anak-anak dan negeri. Risiko kekerasan pada anak dan dampak sosial lainnya serta terjadinya ”learning loss”. Namun, faktor keselamatan anak juga penting.

Pengukuran suhu tubuh siswa SMP Negeri 15 Kota Bogor, Jawa Barat, saat pelaksanaan uji coba pembelajaran tatap muka, Senin (31/5/2021).
Pembelajaran tatap muka terbatas sudah bisa dilakukan di daerah zona pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 1-3 untuk semua jenjang pendidikan, termasuk pendidikan anak usia dini. Diizinkannya pembelajaran tatap muka terbatas ini memberi keyakinan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bahwa kehilangan hasil belajar atau learning loss selama hampir dua tahun akibat pandemi Covid-19 berangsur-angsur bakal pulih.
Namun, belajar dari pengalaman sejak virus korona baru muncul di Indonesia pada Maret 2020, situasinya ternyata dinamis. Sewaktu-waktu kondisi bisa memburuk kembali, salah satunya ketika muncul gelombang kedua Covid-19 akibat muncul varian Delta yang membuyarkan rencana pembukaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas pada Juli lalu.
Bisa dipahami jika PTM digembar-gemborkan bakal bisa menormalkan kembali pencapaian belajar siswa. Di suatu webinar yang digelar Komunitas Menata Keluarga, Suhemi, guru kelas 1 SD di Kalideres, Jakarta Barat, menahan tangis saat berbagi kisah pembelajaran jarak jauh (PJJ). Padahal, PJJ yang dia lakukan berlangsung di Ibu Kota.
”Ada anak yang cuek, tidak menyerahkan tugas. Saya terpaksa mendatangi anak-anak yang abai menyetorkan tugas ke rumahnya. Di situ baru ketahuan, orangtua tidak bisa mendampingi. Saat saya ke rumah siswa itu, di situlah siswa (baru) belajar membaca-menulis dan mengerjakan tugas,” tutur Suhemi.
Saya terpaksa mendatangi anak-anak yang abai menyetorkan tugas ke rumahnya. Di situ baru ketahuan, orangtua tidak bisa mendampingi.
Sementara itu, Yetty Retno, guru pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengaku kebingungan jika sistem belajar daring terus-menerus dijalankan. Anak-anak usia dini di sekolahnya kebanyakan diasuh oleh nenek atau saudara karena orangtua bekerja sebagai butuh migran di luar negeri.
”Prinsip PAUD yang bermain-belajar susah sekali karena saat di depan layar, anak lebih sering lari-lari. Tidak semua wali juga paham menggunakan teknologi. Tugas pun banyak dikerjakan orangtua. Jadi sulit untuk memastikan anak-anak tumbuh kembangnya bisa optimal dan terbangun pembentukan karakter jika daring terus,” kata Yetty.
Segera tatap muka
Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Jumeri mengakui, pelaksanaan PJJ selama pandemi Covid-19 tidak seperti yang diharapkan. Banyak kendala untuk pembelajaran luring dan daring sehingga pembelajaran tak optimal. Kondisi ini tak semata-mata karena infrastruktur ataupun sarana-prasarana PJJ yang terbatas.
”Kemampuan guru dalam memanfaatkan teknologi juga belum merata. Meskipun diupayakan pelatihan, belum mencakup semua guru yang jumlahnya hampir 3 juta sehingga ada ketimpangan,” kata Jumeri pada webinar Silaturahmi Merdeka Belajar Episode 2 bertajuk ”Pelonggaran Pelaksanaan PTM Terbatas yang Aman dan Nyaman di Wilayah PPKM Level 1-3” yang digelar Kemendikbudristek, pekan lalu.

Suasana kelas VII SMP Negeri 15 Kota Bogor, Jawa Barat, ketika pelaksanaan uji coba pembelajaran tatap muka, Senin (31/5/2021).
Oleh karena itu, lanjut Jumeri, PTM terbatas harus segera dilaksanakan. Izin sudah diberikan untuk daerah dengan zona PPKM level 1-3 di semua jenjang pendidikan. Dorongan bagi pemerintah daerah untuk segera mengizinkan sekolah menggelar PTM terbatas diberikan, tentu saja dengan mematuhi protokol kesehatan yang ketat.
”PJJ terlalu lama berisiko semakin besar untuk anak-anak dan negeri. Risiko kekerasan pada anak dan dampak sosial lainnya, serta learning loss, bisa berdampak pada kemampuan intelektual dan kecakapan hidup,” ujar Jumeri.
”Ke depan juga bisa berisiko pada pendapatan ketika bekerja karena kompetensi mereka akan rendah. Secara internasional disebutkan kerugian mencapai 10 triliun dollar AS apabila learning loss akibat pembelajaran tidak ideal dipertahankan,” tambahnya.
Jumeri menekankan supaya sekolah yang sudah diizinkan segera menggelar opsi PTM terbatas. Bagi siswa yang belum diizinkan orangtua, mereka tetap akan mendapat layanan pendidikan PJJ. Kapasitas siswa yang datang ke sekolah maksimal 50 persen dan tidak perlu tiap hari siswa ke sekolah, pembelajaran cukup berlangsung 2-3 jam, lalu materi belajar disederhanakan. Nantinya, ada pula pengawasan dan evaluasi dari gugus tugas Covid-19 di sekolah.
Berdasarakan data yang diterima Kemendikbudristek, saat ini 93 persen sekolah di Indonesia sudah menerapkan protokol kesehatan dengan baik, 87 persen sudah siap air bersih, dan sebagian besar sekolah sudah membentuk satgas Covid-19. Selain itu, 96 persen sekolah sudah tersedia toilet yang bersih, sarana dan prasarana lainnya sudah 96 persen, tersedianya disinfektan dan lainnya sebanyak 87 persen. Saat ini, 60 persen dari 540.000 sekolah di Indonesia sudah diberikan izin untuk melaksanakan PTM terbatas.
Untuk itu, Jumeri mengimbau kepada pemerintah daerah, dinas pendidikan provinsi, kabupaten, dan kota untuk segera memastikan wilayah PPKM level 1-3 yang sudah diizinkan menyelenggarakan PTM terbatas segera melaksanakannya. ”Mari kita manfaatkan peluang ini untuk memajukan pendidikan kita dengan mendorong satuan pendidikan, (dan) kepala sekolah untuk memastikan, memeriksa kesiapannya, mengawasi pelaksanaannya agar PTM terbatas ini bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.
Menurut Jumeri, efektivitas PTM terbatas jauh lebih tinggi dibandingkan PJJ sehingga sekolah yang berada di wilayah PPKM level 1-3 didorong untuk melakukan PTM terbatas jika sudah memenuhi daftar periksa.
”Kelengkapan sarana daftar periksa dan mekanisme pembelajaran sesuai protokol kesehatan di sekolah merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan sebelum menyelenggarakan PTM terbatas. Hal ini sebagai bentuk ikhtiar dan mitigasi risiko penyebaran Covid-19 di satuan pendidikan,” ucap Jumeri.
Tak berubah
Praktisi teknologi pendidikan Indra Charismiadji mengatakan, sudah lebih dari 1,5 tahun pandemi Covid-19 memaksa pembelajaran di sekolah beralih ke PJJ. Namun, sampai saat ini Kemendikbudristek tetap menarasikan pembelajaran daring lebih banyak membawa dampak negatif atau learning loss. Akibatnya, PTM terbatas dianggap cara jitu untuk memperbaiki ketertinggalan pembelajaran.
Baca juga: Pembelajaran Jarak Jauh Bermasalah, Pembukaan Sekolah Tetap Tunggu Pandemi Terkendali

Seorang siswi SD mengikuti pembelajaran jarak jauh daring dari rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (3/8/2021). Sudah baiknya infrastruktur telekomunikasi menyebabkan sistem pengajaran jarak jauh dapat berlangsung dengan lancar.
”Tidak keliru dengan persepsi PJJ jadi menyebabkan learning loss. Tapi buat orang pendidikan, pola pikir ini fix mindset atau pemikiran yang tidak mau berkembang. Akhirnya, banyak pendidik yang yakin daring itu negatif, enggak bisa mendidik karakter, membosankan, atau enggak ada gunanya,” kata Indra di webinar ”Pakar Berbagi mengenal Flipped Classroom dan Asynchronus Learning”, Sabtu (14/8/2021).
Indra menyayangkan jika pandemi Covid-19 tidak mendorong perubahan birokrasi pendidikan di pemerintahan untuk bertransformasi ke pendidikan digital yang berkualitas. Kegagalan PJJ di masa pandemi akibat pembelajaran tradisional hanya beralih tempat ke platform digital.
Kajian internasional, termasuk Harvard University pada 2014, merilis bahwa PJJ penuh pun atau sekolah virtual efektivitasnya baik, bahkan lebih baik dari yang kelas tradisional. “Harusnya mindset diubah bukan selama PJJ berdampak negatif, tapi bagaimana membuat pembelajaran tidak tatap muka jadi positif, ini growth mindset atau mindset bertumbuh,” jelas Indra.
Kegagalan PJJ, secara umum karena guru hanya memindahkan praktik kelas tradisional ke digital. Jam pembelajaran juga seperti normal dengan semangat guru menyampaikan materi. Akibatnya, model belajar daring yang sinkronus lewat Zoom, Google Meet, dilakukan dengan model guru ceramah, membosankan, dan siswa tidak fokus.
”Model sinkronus ini yang umum dipakai guru dan sekolah. Jadwal sama, satu menu untuk semua, waktu sama dan ini akan bergantung pada guru. Peserta didik pasif. Inilah yang menyebabkan learning loss,” kata Indra.
Mengandalkan model sinkronus memang cocok dengan model tatap muka. Namun, model guru yang mentransfer pengetahuan semata sudah ketinggalan zaman dan tidak membangun karakter siswa sesuai kecakapan abad ke-21.
Indra mengatakan, sekolah harus beradaptasi pada belajar asinkronus dan flipped classroom. Penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran bukan menggantikan yang tradisional, melainkan harus mampu didefinisi ulang. Teknologi digital dan manusia harus menyatu dan melebur.
Pembelajaran asinkronus merupakan pembelajaran tidak langsung dengan sifat belajar bisa kapan saja, di mana saja, dan dengan alat apa saja. Sekolah harus mulai memanfaatkan learning management system (LMS), baik gratis maupun berbayar, sehingga pembelajaran terkelola dengan baik dan terstruktur. Bahkan, di LMS ada kecerdasan buatan untuk dapat memantau perkembangan belajar siswa sehingga guru dapat melayani pembelajaran sesuai kebutuhan siswa.
”Guru menyiapkan bahan ajar yang terstruktur. Siswa bisa mengakses kapan saja dan di mana saja. Saat pertemuan tatap muka lewat layar atau tatap muka di kelas, lebih untuk berdiskusi. Guru bukan lagi mendistribusikan pengetahuan. Kecakapan nalar tingkat tinggi siswa dan karakter pun terbangun,” umar Indra.
Menurut dia, pendidikan pasca-Covid-19 harus dibawa untuk menguatkan PJJ, dengan model flipped classroom dengan materi disampaikan di luar kelas. Saat kelas tatap muka lebih fokus membangun kecakapan nalar tingkat tinggi dengan berdiskusi dan bertanya kepada guru. Model blended learning pun memang harus dikembangkan dengan model asinkronus dan flipped classroom.
”Bukan model PTM terbatas yang untuk memudahkan guru menyampaikan materi. Pendidikan kita harus bertransformasi ke blended learning yang memadukan pembelajaran daring dan luring, bukan mencampurkan model PTM terbatas dan PJJ,” kata Indra.
Baca juga : Masuk PPKM Level 3, Tegal dan Pemalang Siapkan Pembelajaran Tatap Muka
Peran guru yang diyakini tak mampu digantikan mesin, kata Indra, juga harus disiapkan. Guru sebagai pemimpin, fasilitator, dan motivator. ”Guru jadi seperti pelatih atlet yang bisa mendampingi anak-anak berkembang potensinya secara terstruktur dan terus mencapai perkembangan terbaik,” ujarnya.