Anak-anak muda generasi Z dan milenial optimistis pendidikan dan kebudayaan di Indonesia bisa maju. Namun, mereka tidak begitu optismistis negara ini bisa menerapkan sistem politik dan hukum yang bersih dan transparan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Optimisme generasi muda terhadap kemajuan negara cenderung tinggi. Hal ini hendaknya menjadi dorongan bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas kebijakan di berbagai bidang dan menjaga optimisme itu.
Demikian survei indeks optimisme generasi muda yang dilakukan Good News From Indonesia dan Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik (KedaiKOPI) pada periode 8-15 Juli 2021.
Survei tersebut melibatkan 800 responden dari 11 kota besar meliputi, antara lain, Surabaya, Bandung, Medan, Banjarmasin, Denpasar, termasuk Jabodetabek. Responden merupakan warga generasi Z (berusia di bawah 25 tahun) dan milenial (25-40 tahun).
Optimisme dihitung berdasarkan lima sektor, yaitu pendidikan dan kebudayaan, kebutuhan dasar, kehidupan sosial, ekonomi dan kesehatan, serta politik dan hukum. Sektor pendidikan dan kebudayaan memperoleh skor optimisme tertinggi, yaitu 83,9 persen.
Hanya tiga dari 10 generasi muda yang optimistis Indonesia mampu menerapkan sistem pemerintahan yang baik, bersih, dan transparan di masa depan. Tingginya praktik korupsi menjadi alasan utamanya.
”Ini dipengaruhi semakin mudahnya akses pendidikan di Indonesia. Hal ini tampak dari ketersediaan perguruan tinggi di setiap daerah di Indonesia. Sementara pada sektor kebudayaan, faktor yang menyebabkan generasi muda optimistis adalah diterimanya produk kerajinan tangan Indonesia di level dunia,” kata Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo, Jumat (13/8/2021).
Survei serupa juga dilakukan pada 2018. Di tahun itu, skor optimisme di bidang pendidikan 59 persen dan kebudayaan 52 persen. Angka ini menunjukkan optimisme yang cenderung lemah. Skor optimisme kemudian naik jadi 68 persen di 2020 dan 83,9 persen di 2021.
Selain pendidikan dan kebudayaan, optimisme juga tampak di sektor ekonomi dan kesehatan (64,5 persen), pemenuhan kebutuhan dasar (75,1 persen), kehidupan sosial (50,5 persen), serta politik dan hukum (28,1 persen). Optimisme di sektor politik dan hukum paling rendah. Pada 2020, skor politik dan hukum 21 persen.
”Hanya tiga dari 10 generasi muda yang optimistis Indonesia mampu menerapkan sistem pemerintahan yang baik, bersih, dan transparan di masa depan. Tingginya praktik korupsi menjadi alasan utamanya,” kata Kunto.
Survei yang sama juga memaparkan masalah utama di Indonesia menurut generasi muda. Menurut mereka, masalah paling utama adalah Covid-19. Masalah lainnya adalah kebijakan pemerintah yang menyulitkan dan tidak tegas, fasilitas kesehatan dan vaksin, masyarakat yang tidak patuh protokol kesehatan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ketangguhan
Sosiolog Roby Muhamad mengatakan, optimisme generasi muda di masa pandemi Covid-19 merupakan hal positif. Artinya, masyarakat Indonesia punya ketangguhan yang cenderung tinggi.
Ia menambahkan, karakter generasi muda saat ini yang kritis terhadap pemegang otoritas perlu diperhatikan. Ini karena mereka berperan besar untuk menjaga atau memadamkan optimisme anak muda. Pemegang otoritas yang dimaksud, antara lain, orang tua, guru, tokoh masyarakat, sekolah, organisasi masyarakat, hingga pemerintah.
Menurut inisiator Semua Murid Semua Guru Najelaa Shihab, optimisme anak muda penting sebagai modal menghadapi situasi krisis. Akan tetapi, optimisme perlu dibarengi dengan kemampuan berpikir kritis agar realistis. Hal ini butuh dukungan orangtua, pendidik, dan guru.
”Jadi, (orang dewasa) bukan jadi pihak yang mematikan optimisme dengan alasan yang terkadang menghakimi anak muda. Semoga optimisme yang realistis menjadi dorongan untuk beraksi. Jadi, optimisme tidak berhenti di sikap positif ke dirinya sendiri, tapi menyebar ke semua pemangku kepentingan,” ucap Najelaa.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Daya Saing Sekretariat Wakil Presiden Ahmad Erani Yustika mengatakan, generasi Z dan milenial kerap mempertanyakan kredibilitas pemerintah, termasuk dalam menangani krisis. Hal ini perlu diperhatikan. ”Jika tidak, pemerintah akan dianggap bagian dari masalah, bukan pemecah (masalah),” katanya.