Penyelenggara Harus Pahami Kebutuhan Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas memerlukan perhatian khusus dalam mengakses vaksinasi Covid-19. Selain itu, di masa pandemi, disabilitas juga mengalami kondisi turunnya perekonomian.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 yang berjalan saat ini diharapkan mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas sesuai dengan ragam disabilitasnya. Panitia penyelenggara vaksinasi Covid-19 hendaknya memahami kondisi mereka yang mengalami disabilitas fisik, intelektual dan mental, ataupun disabilitas sensorik.
”Misalnya, kebutuhan disabilitas fisik. Terdapat fasilitas yang aksesibel, seperti pengguna kursi roda dan tongkat kruk yang tidak bisa mengakses tangga sehingga harus disediakan ramp atau tanjakan yang memadai,” ujar Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden, pada diskusi ”Memajukan Inklusivitas melalui Aksi Sektoral dan Rekomendasi Respons Covid-19 bagi Penyandang Disabilitas”, Jumat (13/8/2021).
Diskusi ini digelar Kelompok Kerja Komunikasi Risiko dan Pelibatan Masyarakat untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Selain Angkie, diskusi yang dipandu Sri Kusuma Hartani (Direktur Program LeaN On, Mercy Corps Indonesia) ini juga menghadirkan pembicara dr Yohanes Purwanto (Bidang Ilmiah Perhimpunan Fisioterapis Anak Indonesia), Nurul Saadah Andriani (Direktur Yayasan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak/ Sapda Yogyakarta), dan Metta Dharmasaputra (Co-Founder dan CEO Katadata).
Selain kebutuhan khusus disabilitas fisik, Angkie juga mengingatkan, saat mengakses vaksinasi Covid-19, disabilitas intelektual dan mental membutuhkan tenaga pendamping yang terlatih. Untuk menyediakan tenaga pendamping ini, dapat bekerja sama dengan berbagai pengampu kepentingan, terutama organisasi/komunitas penyandang disabilitas.
Begitu juga dengan kebutuhan disabilitas sensorik berbeda dengan ragam disabilitas lainnya. Misalnya, untuk tunanetra atau low vision disabilities dapat disediakan fasilitas audio yang memadai sehingga bisa mendengar semua informasi serta signage/tanda alur vaksinasi yang jelas sehingga dapat dilihat.
”Bagi tunarungu atau tuli dapat disediakan tenaga juru bahasa isyarat, untuk dapat berinteraksi dengan jelas kepada peserta vaksin tuli,” ujar Angkie.
Ia juga menegaskan, tidak hanya penyandang disabilitas yang divaksin, tetapi pendampingnya juga wajib divaksin. Kehadiran pendamping sangat penting, terutama juru bahasa isyarat, yang dibutuhkan saat melalui proses-proses vaksinasi Covid-19.
Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo terkait Percepatan Vaksinasi Covid-19 dan Penyaluran Bantuan Sosial, penyandang disabitas juga mendapat perhatian untuk mendapat vaksin. Bahkan, Presiden meminta kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menggunakan hibah vaksin korona jenis Sinopharm dari Raja Uni Emirat Arab (UAE) untuk penyandang disabilitas yang berada di zona merah.
Dari target alokasi 450.000 dosis vaksin, saat ini data yang akan menerima vaksin di wilayah Jawa-Bali sebanyak 225.000 penyandang disabilitas. Masing-masing mendapat dua dosis.
Pada kesempatan tersebut, ia mengingatkan, untuk menuju Indonesia ramah disabilitas, pendataan penyandang disabilitas di Tanah Air sangat penting agar tersedia dokumen kependudukan (kartu keluarga, akta kelahiran, akta kematian, akta perkawinan, akta perceraian, dan sebagainya) bagi penyandang disabilitas. ”Dokumen kependudukan sebagai hak dasar dan kunci utama kesetaraan penyandang disabilitas,” ujarnya.
Dampak ekonomi
Nurul Saadah mengungkapkan pentingnya pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam memajukan inklusivitas pada respons Covid-19. Ini menyusul berbagai situasi yang dihadapi penyandang disabilitas saat masa pandemi Covid-19. Dampak paling besar adalah secara ekonomi, yaitu mayoritas penyandang disabilitas mengalami penurunan pendapatan yang drastis, semakin miskin, dan pengeluaran semakin tinggi dalam kondisi pandemi Covid-19.
”Sebagian dari penyandang disabilitas terpaksa mengatasi situasi pandemi dengan strategi coping yang secara langsung atau jangka panjang akan merugikan, yakni dengan menjual aset produksi atau berutang untuk menjaga agar tetap hidup dan sehat,” papar Nurul.
Di sisi lain, penyandang disabilitas sangat rentan terdampak secara kesehatan, bukan hanya tertular virus korona baru, kesehatan fisik dan mental juga menurun. Bahkan, mereka bisa mengalami kondisi terburuk, sebagai dampak layanan kesehatan lebih rumit, bahkan ditutup akibat pandemi.
Pendidikan jarak jauh juga dinilai tidak ramah terhadap anak-anak penyandang disabilitas, baik secara teknis, substansi, maupun pembiayaan. Demikian juga dengan ketenagakerjaan. ”Perempuan disabilitas dan perempuan yang mempunyai anak disabilitas mengalami dampak lebih besar karena double burden dan stigma,” tutur Nurul.
Kendati sudah ada sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah, seperti program perlindungan dan bantuan sosial, masih ada sejumlah hambatan di lapangan. Selain pendataan yang tidak valid, bantuan belum memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas, dan bentuk bantuan tidak sesuai penyandang disabilitas. Ada keluarga tidak bisa menjangkau bantuan karena keterbatasan informasi, mobilitas, dan lain-lain.
Masa berlaku vaksin terbatas
Metta mengakui, beberapa waktu lalu menyebarkan informasi terkait vaksinasi disabilitas, terkait percepatan vaksinasi disabilitas di enam provinsi (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Yogyakarta, dan Bali), menyusul hibah vaksin Sinopharm sebanyak 450.000 dosis.
Dia tergerak membantu Kementerian Kesehatan untuk menyosialisasikan program tersebut agar vaksin tersebut tidak sia-sia karena hingga kini target penerimanya belum tercapai. Sebab, di lapangan ada kendala.
”Misalnya, sampai saat ini vaksin Sinopharm harus didistribusikan Agustus-September, ini mengejar masa kedaluwarsanya. Namun, dari 225.000 dosis, baru setengah, jadi baru sekitar 112.000. Jadi, kira harus mengejar waktu supaya tidak mubazir,” kata Metta yang mengajak jaringan media menyebarkan informasi tersebut.
Adapun Yohanes Purwanto memaparkan dampak jangka panjang dari pandemi Covid-19 kepada penyandang disabilitas. Pertama, kelompok disabilitas dengan karakteristik khusus menjadi rentan terpapar dan terdampak dari semua aspek Covid-19. Kedua, ada potensi peningkatan disabilitas atau penurunan kemampuan akibat pandemi berkepanjangan.
Ia mencontohkan beberapa kasus yang dialami penyandang disabilitas. Misalnya, kekakuan pada kedua otot kaki karena banyak beraktivitas di kursi roda, selama pandemi banyak duduk di rumah dan jarang melakukan latihan. Setelah enam bulan, punggung menjadi skoliosis (kondisi di mana tulang belakang melengkung) dan sering mengalami nyeri pinggang, kedua lutut memendek dan sulit berdiri dengan kaki lurus,” paparnya.