MA Dinilai Gagal Melihat Keseluruhan Konteks Terbitnya SKB Tiga Menteri
Terbitnya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang bertujuan memulihkan keadaan akibat menguatnya intoleransi di sekolah tidak ditangkap oleh majelis hakim Mahkamah Agung. Hal ini disesalkan sejumlah pihak.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Suasana rapat dengar pendapat organisasi masyarakat Islam dan lembaga adat di Sumatera Barat yang menolak SKB 3 Menteri tentang seragam sekolah di DPRD Sumbar, Padang, Kamis (18/2/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Perempuan menggelar sidang eksaminasi publik terhadap putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang mengatur Penggunaan Seragam dan Atribut di Lingkungan Pendidikan. Sidang eksaminasi ini untuk memberikan pertimbangan dari sejumlah ahli dan profesional guna memberikan masukan atas keputusan hakim Mahkamah Agung yang dinilai tidak berperspektif keberagaman, kebebasan beragama, hak perempuan, hak anak, pedagogi pendidikan, dan hak asasi manusia. Dalam kesempatan ini, Komisi Nasional Perempuan memberi ruang bagi suara publik demi memperjuangkan keadilan dan kepentingan bersama, terutama perlindungan terhadap hak perempuan dan hak asasi manusia.
Sidang Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Nomor 17P/HUM/2021 tentang Uji Materiil atas Surat Keputusan Bersama 02/KB/2021 Nomor 025-199 Tahun 2021dan Nomor 219 Tahun 2021 tentang Pengaturan Busana di Lingkungan Pendidikan digelar Komisi Nasional (Komnas) Perempuan secara daring, Kamis (12/8/2021). Sidang dipimpin Guru Besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, dengan beberapa anggota majelis eksaminator.
Sidang eksaminasi dilaksanakan dengan pemaparan dari semua anggota majelis eksaminator secara bergantian selama 15-20 menit. Mereka memberikan kajian akademik dari beragam perspektif, antara lain hukum, hak perempuan, hak asasi manusia, hak anak, kebebasan beragama, dan pendidikan.
Keputusan akan dirumuskan tim Komnas Perempuan pada pertemuan berikutnya. Hasil pertimbangan ini akan menjadi masukan bagi lembaga Mahkamah Agung. ”Mahkamah Agung pada Mei 2021 mengabulkan permohonan pengujian SKB 3 Menteri tentang pengaturan seragam dan atribut di lingkungan pendidikan dan berdampak pada pengabulan pengujian. Komnas Perempuan menghormati proses MA dengan melaksanakan putusan MA. Namun, dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan, Komnas Perempuan punya mandat memberi pertimbangan, termasuk pada lembaga peradilan, guna mendorong putusan yang kondusif untuk pemenuhan dan perlindungan hak perempuan,” papar Ketua Gugus Kerja Perempuan dan Kebinekaan Komnas Perempuan Imama Nahe’i.
Rasa keadilan
Ketua sidang majelis eksaminator, Sulistyowati, mengatakan, sidang eksaminasi merupakan sidang rakyat ketika dirasa tidak ada keadilan bagi masyarakat dalam putusan MA, baik prosedural legal formal maupun substansi. Menurut Sulistyowati, putusan majelis hakim MA yang mengabulkan permohonan uji materi SKB 3 Menteri, yang intinya berisi pelarangan terhadap peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan mewajibkan memakai seragam dan atribut khas agama tertentu di lingkungan satuan pendidikan milik pemerintah daerah, tidak dapat diterima dengan rasa keadilan dan akal sehat.
Keputusan itu menjadi dukungan untuk melegalisasi lewat peraturan daerah supaya membiarkan penyeragaman penggunaan simbol keagamaan bagi perempuan sesuai norma hukum adat dan agama. ”Padahal, perda yang melegitimasi pengontrolan tubuh perempuan melalui politisasi instrumen hukum merupakan intoleransi. Perda salah sasaran jika mengatur seragam sekolah. Yang dibutuhkan siswa adalah pemerintah daerah memberikan layanan pendidikan berkualitas dan penguatan karakter,” kata Sulistyowati.
Suasana belajar anak-anak Pulau Tegal, Kabupaten Pesawaran, Lampung, beberapa waktu lalu. Sedikitnya 26 anak Pulau Tegal dari umur 6 tahun hingga 15 tahun belajar di sekolah informal. Mereka baru saja mendapat sumbangan seragam, tas, dan sepatu. Namun, hingga saat ini, mereka belum memiliki guru resmi dari dinas pendidikan setempat.
Sulistyowati menegaskan, majelis hakim MA gagal melihat keseluruhan konteks terbitnya SKB 3 Menteri yang penting untuk memulihkan keadaan akibat menguatnya intoleransi dan kohesi sosial dengan pemaksaan terhadap perempuan dan anak soal pakaian khas agama tertentu. Hakim MA tidak mampu memahami esensi SKB 3 Menteri yang tidak boleh mewajibkan dan melarang pakaian simbol agama tertentu untuk anak sekolah dan guru dalam rangka memulihkan kondisi akibat potensi terpecahnya masyarakat Indonesia karena politik populis pemerintah daerah, dengan memakai tafsir hukum adat dan agama.
Bivitri Susanta, dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, mengatakan, MA selama ini sering menghadapi kritik untuk kasus persidangan. Sistemnya hanya memasukkan dokumen dan tinggal menunggu hasil. Akibatnya, kualitas putusan sering kali dikritisi karena minim pertimbangan hukum.
Eksaminasi ini dilakukan karena tidak ada bentuk upaya hukum untuk menguji putusan MA, tetapi ditujukan untuk memberikan kajian akademik dan tujuan advokasi untuk perubahan substansi dan perubahan lebih besar.
Putusan MA tentang SKB 3 Menteri ada 199 halaman. SKB 3 Menteri yang menjadi obyek ditetapkan pada Februari 2021, salah satunya akibat mencuatnya kasus pemaksaan siswa non-Muslim di Sumatera Barat agar mengenakan jilbab di sekolah negeri. Lalu, pada 3 Mei ada putusan MA yang membatalkan SKB 3 Menteri sehingga tidak ada ketentuan dalam SKB 3 Menteri yang mengusung semangat antidiskriminasi dan mengakui keberagaman, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, utamanya perempuan dan anak.
Pertimbangan majelis hakim MA mengabulkan permohonan pembatalan SKB 3 Menteri terkait seragam sekolah karena dinilai bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, yakni UU Sistem Pendidikan Nasional, UU tentang Pemerintahan Daerah, serta UU tentang Perlindungan Anak. Karena itu, SKB 3 Menteri tentang pengaturan seragam sekolah dinilai tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
”Dari putusan, cara pandang, dan memandang tidak mengarah tentang toleransi dan intoleransi, tetapi untuk kepentingan kekhasan agama. Pertimbangan itu muncul berkali-kali. Ada pemaknaan toleransi yang berbeda, akhlak dinilai berdasarkan pandangan agama dan mayoritas, yakni Islam,” kata Bivitri.
Sri Wiyanti Eddyono, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, mengatakan, dari seluruh dokumen putusan MA, perdebatan pengajuan pemohonan termohon dan pertimbangan hakim tidak muncul rujukan pada perspektif hak perempuan. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi hak perempuan/CEDAW.
”Menjadi sangat memprihatinkan MA meletakkan argumentasi dalam putusan lebih pada nilai-nilai agama dan moralitas yang bertumpu pada agama tertentu. Keprihatinan pada MA ini karena sebagai lembaga peradilan yang memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, bukan lembaga agama,” kata Sri.
Praktisi pendidikan yang juga Ketua Umum Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo mengatakan, UU Sistem Pendidikan Nasional memiliki prinsip pendidikan demokratis, berkeadilan, nondiskriminasi, menjunjung hak asasi manusia, nilai agama, dan budaya. Semangat ini juga selaras dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
Menurut Henny, jika SKB dinilai melanggar nilai agama dan adat, tentunya harus diingat bahwa Indonesia ini menganut keberagaman, ada kemajemukan bangsa yang berarti punya banyak agama, budaya, dan lain-lain. Pendidikan harus membantu anak untuk mencapai potensinya dengan kebebasan memilih.
Sayangnya, kata Henny, majelis hakim memaknai mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan seragam penganut agama tertentu sebagai pembiasaan proses belajar mengajar karena siswa orang yang belum dewasa. Mewajibkan siswa memakai seragam dan atribut keagamaan justru tidak mencerdaskan siswa.
”Dengan membiasakan siswa memilih dan bertanggung jawab dengan pemilihan, itu berkaitan dengan kemandirian,” kata Henny.
Cekli Setya Pratiwi, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, mengatakan, SKB 3 Menteri tentang seragam seharusnya tak dilihat tentang pendidikan semata. Di sini juga ada hal penting tentang kebebasan beragama, hak anak, dan antidiskriminasi.