Atasi Ketimpangan Tes dan Vaksin di Masyarakat Adat
Kasus Covid-19 semakin banyak di laporkan di lingkungan masyarakat adat. Namun vaksinasi maupun pemeriksaan dan pelacakan kasus pada masyarakat adat masih sangat terbatas.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pandemi Covid-19 meluas di pedalaman di luar Jawa dan Bali. Untuk itu, pemerintah diminta meningkatkan kapasitas tes, lacak, dan vaksinasi di daerah, termasuk di lingkungan masyarakat adat.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (11/8/2021), mengatakan wabah Covid-19 semakin banyak di laporkan di lingkungan masyarakat adat. Namun vaksinasi untuk masyarakat adat masih sangat terbatas.
"Adanya keputusan vaksinasi tanpa NIK (nomor induk kependudukan) untuk masyarakat adat baru langkah awal. Masih banyak tantangan lainnya sehingga sampai sekarang belum jalan vaksinasinya," kata Rukka. Karena itu, perlu sosialisasi mengenai Covid-19 dan vaksin yang intens dari pemerintah daerah dan tenaga kesehatan primer dengan melibatkan tokoh-tokoh adat.
"Perlu juga pemeriksaan kesehatan sebelum vaksinasi di kampung-kampung untuk menghindari kejadian ikutan pascavaksinasi. Secara teknis, kami berharap vaksinator bisa masuk kampung dengan memanfaatkan balai-balai adat, puskesmas, atau kantor desa terdekat," ujarnya.
Dari pendataan hingga Selasa (10/8) terdapat 556.892 masyarakat adat yang mendaftar melalui AMAN untuk mendapatkan vaksinasi. Namun, belum ada satu pun yang mendapatkan vaksin. "Selama ini kami sudah berkomunikasi dengan Mabes Polri, tapi belum ada jalan. Ini di antaranya kendala jarak dan aksesibilitas," ucap Rukka.
Adanya keputusan vaksinasi tanpa NIK (nomor induk kependudukan) untuk masyarakat adat baru langkah awal. Masih banyak tantangan lainnya sehingga sampai sekarang belum jalan vaksinasinya.
Tokoh pemuda adat dari Mollo, Kecamatan Soe, Kabupaten Nusa Tenggara Timur (NTT) Dicky Senda mengatakan, masyarakat di wilayahnya antusias mendapatkan vaksin Covid-19. Akan tetapi, ketersediaan vaksin tidak mencukupi.
Bahkan, Dicky yang sudah mendapatkan suntikan vaksin dosis pertama pada 16 Juni 2021 terlambat untuk menerima suntikan kedua. "Seharusnya suntikan kedua tanggal 27 Juli, namun belum ada kejelasan sampai sekarang. Katanya stok kosong," tuturnya.
Dicky mengungkapkan, banyak warga yang datang dari kampung-kampung dengan berjalan kaki atau menggunakan ojek menuju pusat vaksinasi di Puskemas Molo Utara. Namun, kebanyakan tidak bisa mendapatkan vaksin.
"Selain stok sedikit, juga tidak imbang dengan yang dibagikan di vaksin dosis pertama. Cara pembagiannya juga semrawut. Vaksinasi tahap pertama empat hari, tapi vaksinasi dosis kedua hanya sehari," kata dia.
Dia menambahkan, orang dengan antusias tinggi sudah datang mengorbankan waktu, tenaga dan biaya tapi akhirnya pulang tanpa ada kepastian kapan akan ada vaksin lagi.
Minim pemeriksaan
Selain persoalan vaksin, menurut Rukka, keterbatasan tes dan lacak membuat penularan Covid-19 di masyarakat adat sulit diketahui dengan pasti skalanya. Banyak masyarakat adat yang sudah mengalami gejala Covid-19, namun saat ini minim pemeriksaan seperti dialami masyarakat Dayak di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.
"Mereka melaporkan kasus-kasus demam dan hilang penciuman, namun mereka menyebutnya sebagai sampar dan sebagai penyakit tahunan," kata dia.
Mika Ganobal, tokoh adat dan Lurah Sima Lima, Kecamatan Pulau-Pulau Aru, Kabupaten Kepulauan Aru mengatakan, kasus Covid-19 di Kepulauan Aru terus bertambah. Covid-19 juga sudah masuk ke desa-desa di pedalaman Kepulauan Aru.
"Data di Kabupaten Kepulauan Aru yang meninggal positif Covid-19 20 orang, tetapi kalau orang meninggal dunia memang meningkat. Di kelurahan saya hampir tiap hari ada yang meninggal, tetapi memang tidak dites," tuturnya.
Mika mengatakan, di Kepuluan Aru tidak ada laboratorium untuk pemeriksaan dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR) sehingga spesimennya harus dikirim ke Ambon. "Adanya antigen tetapi terbatas. Kebanyakan masyarakat kalau sakit tidak diperiksa," kata dia.
Dede, tokoh adat Kasepuhan Cilebang yang juga Sekretaris Puskemas Sobang, Kabupaten Pandeglang, Banten mengatakan, banyak warganya mengalami gejala Covid-19, namun sebagian besar tidak diperiksa. Sejauh ini hanya ada satu orang positif Covid-19 yang meninggal dunia. "Sekitar dua minggu lalu dia positif Covid-19 dan dirujuk ke rumah sakit, namun dibawa pulang oleh keluarganya dan akhirnya meninggal dunia," ujarnya.
Menurut Dede pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 sangat sedikit. "Tetapi dari gejalanya sebenarnya banyak yang sudah terkena Covid-19. Kebanyakan isolasi mandiri dan menggunakan obat-obatan tradisional saja, ada juga yang meninggal, tapi kebanyakan yang lanjut usia," kata dia.
Banyak juga warga Badui Luar dari Kampung Cisaban, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, yang datang dengan gejala Covid-19. Mereka juga umumnya menolak diperiksa antigen." Rata-rata sembuh sendiri, tapi kalau sakit dengan gejala Covid-19 banyak," kata Dede, yang juga pernah terkonfimasi Covid-19.