Jaga Kekayaan Rempah melalui Edukasi dan Peningkatan Budidaya
Kekayaan rempah di Indonesia perlu dijaga dengan budidaya dan edukasi. Potensi rempah juga dapat dieksplorasi lebih luas, baik untuk kuliner maupun pengobatan tradisional.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan potensi kuliner hingga pengobatan tradisional sangat bergantung pada kekayaan rempah di Indonesia. Kekayaan tersebut dapat dijaga dengan budidaya dan edukasi publik tentang rempah.
Pakar kuliner William Wongso mengatakan, pengenalan rempah-rempah perlu disisipkan dalam pendidikan formal, seperti SMA/SMK dan akademi pariwisata. Dengan demikian, semakin banyak masyarakat yang mengenal kekayaan rempah di Indonesia.
Selain jenisnya yang beragam, cita rasa rempah yang tumbuh di setiap daerah pun berbeda. Pengetahuan ini membuat publik dapat mengeksplorasi potensi rempah secara luas.
Generasi muda bisa melakukan wine tasting (pencicipan anggur), kenapa tidak spice tasting (pencicipan rempah)? Kita lihat bagaimana rasa dan aromanya sehingga bisa membedakan kualitas (rempah) satu daerah dengan lainnya. (William Wongso)
”Generasi muda bisa melakukan wine tasting (pencicipan anggur), kenapa tidak spice tasting (pencicipan rempah)? Kita lihat bagaimana rasa dan aromanya sehingga bisa membedakan kualitas (rempah) satu daerah dengan lainnya,” kata William pada diskusi Pekan Kebudayaan Nasional, Selasa (10/8/2021).
Menurut dia, rempah adalah cerminan kearifan lokal suatu daerah. Indonesia bagian timur, kata William, jarang menggunakan banyak rempah pada masakannya walau wilayah itu adalah penghasil rempah. Penduduk desa dan pedalaman di Flores Timur, misalnya, kerap menggunakan garam, asam, dan daun aromatik untuk memasak.
Sementara itu, Indonesia bagian barat lebih banyak menggunakan rempah dibandingkan Indonesia bagian timur. William mengatakan, hal ini dipengaruhi akulturasi budaya dengan bangsa lain pada masa perdagangan rempah Nusantara zaman dulu, yakni dengan India, Arab, dan China.
Adapun rempah-rempah menjadi salah satu komoditas utama Nusantara pada masa lampau. Rempah-rempah itu antara lain lada, pala, cengkeh, kayu manis, kunyit, jahe, bunga lawang, ketumbar, dan kapulaga. Simpul-simpul perdagangan rempah (Jalur Rempah) tersebar di sejumlah titik di Indonesia, baik di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, maupun Sumatera.
Pedagang-pedagang asing yang datang ke Nusantara selain India, Arab, dan China antara lain Spanyol, Portugis, Amerika Serikat, dan Belanda. Di sisi lain, rempah juga menjadi salah satu faktor penjajahan terhadap Indonesia di masa lalu.
Budidaya
Selain edukasi, budidaya rempah juga diperlukan untuk memastikan keberlanjutan rempah di Indonesia. Pendiri Acaraki Jamu, Jony Yuwono, mengatakan, industri jamu saat ini menghadapi krisis bahan baku. Sebab, para petani sekarang lebih banyak menanam kopi dan teh dibandingkan rempah. Permintaan rempah yang tidak konsisten di pasar menjadi salah satu penyebabnya.
”Produksi rempah tidak ada sistem sortir berdasarkan kualitas. Jadi, kualitas yang bagus, menengah, dan rendah digabung sehingga harga jualnya dipukul rata. Ini beda dengan teh, kopi, dan ikan tuna yang disortir berdasarkan kualitas sehingga meningkatkan harga jual,” kata Jony.
Budidaya rempah juga penting untuk eksplorasi potensi jamu. Adapun jamu berkhasiat untuk kesehatan jika diminum secara konsisten dan dalam jangka panjang. Masyarakat zaman dulu mengandalkan jamu sebagai salah satu pengobatan tradisional.
Fenomena tersebut tergambar dalam relief di Candi Borobudur, Prambanan, dan Penataran. Jamu sebagai pengobatan tradisional juga tertulis di manuskrip kuno, seperti Serat Centhini dan Serat Munasihati Jati.
”Ketertarikan publik ke jamu belum mati. Terlebih saat pandemi, banyak orang mencari tahu soal jamu, bahkan orang asing. Rempah dikenal sebagai penyedap dan pengawet makanan, tapi belum banyak yang paham bahwa rempah-rempah punya kegunaan lain untuk kesehatan,” kata Jony.
Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja) 2017 oleh Kementerian Kesehatan mencatat bahwa ada 6.193 ramuan tanaman obat. Tanaman yang paling banyak digunakan adalah kunyit (371 ramuan), jahe (261 ramuan), jambu biji (183 ramuan), sirih (177 ramuan), dan mengkudu (145 ramuan).
Sementara itu, pegiat pangan lokal di Nusa Tenggara Timur, Maria Loretha, memperkirakan, perdagangan rempah berhubungan dengan budidaya sorgum di NTT. Sorgum dapat menjamin ketahanan pangan di daerah yang curah hujannya rendah. Sorgum bisa hidup di lahan kering dan berbatu.
Selain tangguh, sorgum juga membuat kenyang dalam waktu lama serta bernilai gizi tinggi. Konsumsi sorgum pun digalakkan bagi anak yang menderita masalah gizi di Flores Timur dan juga lansia.