Perkuat Perlindungan dan Keberpihakan terhadap Masyarakat Adat
Posisi masyarakat adat masih rentan ketika menghadapi perusakan lingkungan hingga konflik Sumber Daya Alam. Perlindungan, pengakuan hak, hingga penghormatan kepada masyarakat adat melalui undang-undang diperlukan.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan dan keberpihakan negara terhadap masyarakat adat dinilai belum optimal. Konflik lahan hingga perusakan lingkungan yang menjadi ruang hidup masyarakat adat masih terjadi. Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia atau HIMAS jadi momentum memperkuat perlindungan dan keberpihakan kepada masyarakat adat.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, masyarakat adat saat ini menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya perampasan wilayah adat. Konflik ini kerap dialami masyarakat adat dengan perusahaan, misalnya perusahaan tambang.
Undang-Undang Mineral dan Batubara serta Undang-Undang Cipta Kerja menjadi instrumen hukum untuk meneguhkan perampasan wilayah adat. Itu juga memberi karpet merah ke perusahaan-perusahaan terhadap wilayah adat yang tersisa. (Rukka Sombolinggi)
”Undang-Undang Mineral dan Batubara serta Undang-Undang Cipta Kerja menjadi instrumen hukum untuk meneguhkan perampasan wilayah adat. Itu juga memberi karpet merah ke perusahaan-perusahaan terhadap wilayah adat yang tersisa,” ucap Rukka pada peringatan HIMAS 2021 secara daring, Senin (9/8/2021).
UU Cipta Kerja dan revisi UU Minerba berpotensi memperbesar ketimpangan penguasaan sumber daya alam (SDA) antara industri dan masyarakat adat. Selain itu, perampasan wilayah adat dan kerusakan lingkungan juga akan semakin mudah, sementara masyarakat yang terlibat konflik SDA berpotensi dikriminalkan (Kompas.id, 19/1/2021).
Menurut catatan AMAN, sepanjang 2020, ada 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat. Sementara itu, perlindungan hukum dan pengakuan hak masyarakat adat dapat dijamin apabila Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) disahkan. RUU MHA telah diajukan sejak 2013 dan kini masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.
Adapun jumlah masyarakat adat di Indonesia, menurut data AMAN, adalah 40 juta hingga 70 juta orang. Dari angka itu, 17 juta di antaranya merupakan anggota AMAN yang berasal dari 2.359 komunitas adat.
Rukka menambahkan, partisipasi masyarakat adat pada ruang pengambilan keputusan perlu diperluas. Itu agar kebijakan yang dihasilkan pemerintah tepat sasaran.
Ruang kehidupan
Menurut perempuan adat Dayak Maanyan dari Kalimantan Tengah, Mardiana Derendana, bumi adalah ruang kehidupan masyarakat adat. Alam merupakan identitas, sumber pangan, dan sumber penghidupan mereka. Konflik dan eksploitasi SDA dari pihak lain dapat menyengsarakan masyarakat adat.
”Ini berkaitan dengan pembabatan hutan dan perusakan lingkungan. Hak hidup kami dirampas sejak 2006. Kami tidak anti-perusahaan atau pemerintah. Kami anti dengan perampasan hak hidup kami,”
Sejumlah cara ditempuh untuk mempertahankan wilayah adat, baik melalui ritual adat, kesenian, kebudayaan, hingga orasi. Namun, upaya mereka tidak selalu berhasil. Sebagian masyarakat adat pun ada yang menerima intimidasi.
Ketua Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta (PGM) Torianus Kalami mengatakan, organisasinya sedang memetakan wilayah adat 14 marga di wilayah mereka. Dokumen ini akan diserahkan kepada kementerian dan diverifikasi. Pemetaan ini untuk perlindungan wilayah adat.
Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan YME Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Sjamsul Hadi mengatakan, kementeriannya mendorong percepatan pengesahan RUU MHA. Diskusi antar-kementerian dan lembaga telah dilakukan dan akan segera ditindaklanjuti.
”Kami mulai bergerak agar masyarakat adat dikembalikan sebagai subyek, bukan obyek (hukum dan kebudayaan). Upaya pengembangan dan pemajuan kebudayaan juga akan kami kembalikan ke masyarakat adat karena mereka yang berhak mengembangkannya,” tutur Sjamsul.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menambahkan, masyarakat adat mesti jadi bagian tatanan kehidupan normal baru. Itu karena mereka memiliki kearifan lokal yang patut diadaptasi saat menghadapi pandemi Covid-19.
”Ini penting dipelajari dari masyarakat adat yang telah menghidupi bumi kita selama ribuan tahun,” katanya.