Pemidanaan Dinar Candy dan Beratnya Dampak Pandemi
Pandemi Covid-19 yang tak kunjung berhenti, berdampak besar terhadap masyarakat. Pandemi tak hanya memberikan tekanan ekonomi, tetapi juga psikis.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Awal pekan lalu, Rabu (4/8/2021) selebgram Dinar Candy berdiri di pinggir Jalan Lebak Bulus Raya, Cilandak, Jakarta Selatan, menggunakan bikini sembari memegang triplek bertuliskan ”Saya Stres karena PPKM Diperpanjang”. Aksi Dinar tersebut direkam adiknya kemudian diunggah ke Instagram Dinar yang memiliki 3,8 juta pengikut. Videonya viral di lini masa meskipun sudah dihapus dari Instagramnya.
Dinar belakangan ditetapkan sebagai tersangka, dianggap melanggar Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pasa 36 berbunyi: ”Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 miliar”.
Menurut Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Azis Andriansyah tindakan Dinar tersebut tidak mengindahkan norma, etika, budaya, dan agama yang berlaku di masyarakat. Kendati ditetapkan sebagai tersangka, untuk sementara terhadap Dinar tidak dikenakan penahanan, tapi wajib lapor.
Penetapan Dinar sebagai tersangka mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi menilai apa yang dilakukan Dinar adalah bagian dari kebebasan berpendapat dan berekpresinya. Penetapan tersangka dengan ancaman pidana 10 tahun (Pasal 36 UU Pornografi) kepada Dinar dinilai berlebihan.
Aminah menyatakan, semua pihak dan kepolisian seharusnya melihat secara komprehensif apa yang dilakukan Dinar sebagai akibat pandemi Covid-19. Dampak Pandemi, seperti diakui Dinar membuatnya tertekan dan tidak bisa bekerja. Dampak ini juga dialami oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat.
Ia menyuarakan kegelisahan dan perasaannya, yang menjadi pekerjaan rumah bagi negara dan masyarakat untuk bahu-membahu mengatasi pandemi ini, termasuk saling memberi dukungan untuk kesehatan mental kita. (Siti Aminah Tardi)
”Ia menyuarakan kegelisahan dan perasaannya, yang menjadi pekerjaan rumah bagi negara dan masyarakat untuk bahu-membahu mengatasi pandemi ini, termasuk saling memberi dukungan untuk kesehatan mental kita,” ujar Aminah.
Pilihan pemidanaan dinilai bukan solusi terbaik, bahkan dikhawatirkan tidak akan membantu Dinar mengatasi tekanan akibat pandemi, tapi justru bisa memperburuknya. Ketika Dinar sudah menyesali apa yang dilakukannya, sebaiknya kasus ini diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif sebagaimana dimandatkan dalam Surat Edaran Kepala Polri No 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Mompang L Panggabean, dosen Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia, berpendapat, jika dikaitkan dengan adanya alasan peniadaan pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), baik alasan pembenar dan alasan pemaaf, maka patut dicermati apakah perbuatan Dinar telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau kah ada alasan peniadaan pidana.
”Tidak ada salahnya jika masalah tersebut ditilik dari Pasal 44 KUHP bahwa tidak dipidana seseorang yang melakukan suatu tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau jiwanya terganggu karena penyakit,” ujar Mompang.
Proses kejiwaan yang mendahului pengambilan keputusan untuk melakukan perbuatan terlarang, berperan penting, sebab penyebab proses itu adalah motif pelaku. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana dan sikap batin pelaku tindak pidana merupakan hal-hal yang menentukan bentuk-bentuk kesalahan.
”Perbuatan seseorang tidak bisa dilihat hanya dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya, sebab harus dilihat secara konkret adanya pengaruh watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan,” papar Mompang.
Overkriminalisasi
Maidina Rahmawati, peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menilai, pemidanaan Dinar dengan UU Pornografi berpotensi mengakibatkan overkriminalisasi. Sebab, dalam UU Pornografi yang dilarang UU Pornografi adalah memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.
Adapun yang dimaksud dengan ”mengesankan ketelanjangan” sebagaimana pada Pasal 4 Ayat (1) huruf d UU Pornografi adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Dalam hal aksi Dinar, tidak ada alat kelamin yang dipertunjukkannya.
Apabila menggunakan bikini termasuk dalam defenisi ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, hal ini dapat berpotensi mengakibatkan overkriminalisasi karena berakibat semua unggahan di media sosial yang dilakukan oleh masyarakat dengan tampilan berbikini dapat dijerat dengan UU Pornografi.
”Kondisi ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dan kelebihan beban pemidanaan atau overkriminalisasi,” ujar Maidina.
Mengelola stres
Gisella Tani Pratiwi, psikolog klinis, mengungkapkan, setiap orang memiliki kapasitas mengelola stres yang berbeda-beda karena karakteristik pribadi yang dimiliki. Karena itu, perilaku yang ditampilkan pada masa pandemi pun bisa beragam.
”Untuk membantu mengelola stres secara pribadi kita bisa mengenali dulu pola stres kita, yaitu pemicu stres, respons emosi, sensasi di badan dan pikiran yang muncul. Lalu kenali pula hal-hal atau cara apa yang membantu kita dalam mengelola diri agar lebih seimbang,” ujar Gisella.
Jika perlu, harus mempelajari beragam strategi pengelolaan emosi dan stabilisasi emosi. Bahkan sangat disarankan ketika dampak stres sudah sulit dikelola, perlu untuk mencari bantuan profesional.
Situasi pandemi, membawa pengaruh yang besar. Karena itu selain usaha individu masing-masing, kesempatan untuk mengelola stres juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Pengaruh tersebut mulai dari dukungan sosial lingkungan yang paling dekat dan ditemui sehari-hari, seperti keluarga, sampai pada lingkungan luas yang tidak berinteraksi langsung namun berdampak pada diri individu, misalnya peraturan dan kebijakan negara.
”Apa pun yang terjadi di lingkungan akan memengaruhi terhadap individu, baik secara konstruktif maupun destruktif, dalam hal ini dalam cara mengelola stres,” ungkap Gisella.