Regulasi Progresif untuk Kekerasan Seksual Dibutuhkan
Penyelesaian kasus kekerasan seksual belum optimal. Hal ini dipengaruhi hukum yang dinilai belum progresif hingga adanya budaya patriarki yang memberi impunitas ke pelaku.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemenuhan hak korban kekerasan seksual, khususnya perkosaan, dan penyelesaian hukum terhadap pelaku masih menjadi sorotan. Regulasi yang progresif dibutuhkan. Ini sesuai dengan komitmen Indonesia terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau CEDAW.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Kekerasan terhadap Perempuan, Renata Preturlan, mengatakan, pelaku perkosaan masih mendapat impunitas. Ini disebabkan beberapa faktor, antara lain normalisasi kekerasan seksual atau rape culture, stigmatisasi korban, terbatasnya akses keadilan untuk korban, serta budaya patriarki.
“Itu sebabnya hukum penting. Mungkin saja ada kasus yang tidak dipidana karena definisi (perkosaan) terlalu sempit,” kata Preturlan pada diskusi daring, Jumat (6/8/2021). “Selain hukum, aspek lain perlu diperkuat agar kekerasan seksual bisa diproses,” tambahnya.
Menurut dia, perkosaan harus dikriminalisasi dengan hukum yang netral terhadap jender. Sebab, perkosaan dan kekerasan seksual lain bisa terjadi ke perempuan dan laki-laki. Hukum yang bias jender berpotensi diskriminatif dan melanggar HAM.
Perluasan definisi perkosaan juga perlu. Definisi perkosaan menurut hukum di Indonesia dinilai masih terbatas hanya pada penetrasi alat kelamin. Padahal, bentuk perkosaan ada macam-macam.
Selain itu, definisi perkosaan masih dibatasi dengan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Padahal, perkosaan bisa terjadi tanpa kekerasan. Definisi perkosaan semestinya mempertimbangkan ada atau tidaknya kesepakatan kedua pihak.
“Hukum perlu mendefinisikan perkosaan yang mencakup semua bentuk penetrasi. Selain itu, perkosaan dalam rumah tangga juga perlu dikriminalisasi,” kata Preturlan.
Sementara itu, berbagai pihak mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). RUU PKS dinilai lebih progresif terhadap perkembangan kekerasan seksual, serta mengakomodasi kebutuhan korban.
Kendala
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini mengatakan, selain definisi perkosaan yang sempit, penanganan kasus kerap terkendala bukti. Hasil visum yang tidak memadai, kurangnya bukti, hingga penyangkalan pelaku membuat kasus sulit diproses hukum. Tidak sedikit kasus kekerasan diselesaikan secara damai.
Penyelesaian secara damai tidak dibenarkan karena ini tindak pidana kejahatan.(Theresia Sri Endras Iswarini)
“Penyelesaian secara damai tidak dibenarkan karena ini tindak pidana kejahatan,” kata Theresia.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, jenis kekerasan seksual terbanyak adalah perkosaan, persetubuhan, dan pencabulan. Kekerasan semakin rentan terjadi selama pandemi Covid-19. Pelaku umumnya berelasi dekat dengan korban, seperti pacar.
Direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Nur Laila Hafidhoh mengatakan, banyak kasus kekerasan seksual berhenti di konseling, tidak sampai ke penuntutan. Kasus tidak berlanjut antara lain karena tekanan berbagai pihak ke korban, stigmatisasi korban, hingga korban akhirnya dikawinkan dengan pelaku.
“Menurut data kami, pada 2020, hanya 12 kasus yang sampai pada putusan (pengadilan). Itu pun korban dijadikan tersangka pada dua kasus. Per Juni 2021, hanya satu kasus yang sampai ke putusan,” ucap Nur Laila.
Konvensi CEDAW
Di sisi lain, tahun ini merupakan tahun ke-37 Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAWA. Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, ini momentum Indonesia untuk mengukur komitmen menjalankan prinsip penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
“Pengesahan RUU PKS tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pengesahan itu merupakan pelaksanaan mandat Konvensi CEDAW demi penghapusan kekerasan seksual sistemik dan pemenuhan hak-hak korban,” kata Andy,
Perwakilan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Indonesia Anjali Sen mengatakan, perkembangan regulasi di Indonesia menunjukkan perkembangan positif. Perkembangan itu perlu dievaluasi lagi untuk memastikan perempuan hidup bebas diskriminasi.