PAUD Jangan Kejar Calistung, Fokus untuk Matangkan Keterampilan Kognisi
Keterampilan kognisi harus matang pada anak-anak untuk membuat anak siap belajar. Keterampilan kognisi yang dipastikan berkembang, contohnya keseimbangan, motorik kasar, motorik halus, daya tangkap, dan bahasa.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investasi pada pengasuhan dan pendidikan anak sejak usia dini secara baik dan berkualitas sesuai tahapan tumbuh kembang anak akan memberikan imbal hasil yang tinggi bagi generasi masa depan bangsa. Karena itu, perlu kebijakan pendidikan di jenjang pendidikan anak usia dini dan kelas awal sekolah dasar yang memastikan perkembangan kognisi anak terpantau baik daripada kemampuan membaca, menulis, dan menghitung atau calistung.
Bagus Satriya Budi, dokter yang fokus pada stimulasi dan nutrisi anak, di webinar bertajuk ”Perkembangan Kognitif dan Penguatan Karakter Anak” yang digelar Yayasan Karakter Eling Indonesia, Sabtu (7/8/2021), mengatakan keterampilan kognisi harus matang pada anak-anak untuk membuat anak siap belajar. Keterampilan kognisi yang dipastikan berkembang adalah keseimbangan, motorik kasar, motorik halus, daya tangkap, bahasa, sikap, perilaku, dan kemandirian sosial.
”Anak-anak yang sudah matang berkognisi, pembentukan karakter juga mudah karena untuk otomatisasi sudah beres,” kata Bagus.
Menurut Bagus, untuk mematangkan kognisi anak dimulai dari keluarga, terutama di usia kritis 0-2 tahun atau 1.000 hari pertama. Peran ibu menyusui jadi penting. Jika ada masalah di tahapan ini, orangtua harus tanggap.
Kita akan menghadapi bonus demografi. Apakah kita akan mendapat bonus atau bencana demografi, peran keluarga atau orangtua juga harus disiapkan.
Yang pertama berkembang adalah vestibular. Untuk pematangan vestibular (di dalam telinga) otomatis karena merespons gravitasi bumi. Ada bagian yang bekerja sama dengan otak kecil, visesoreptik (rasa dalam), taktil (rasa luar), hingga batang otak saja. Jika tidak selaras, bisa diselaraskan dengan terapi penyelarasan vestibuler taktil (PVT) yang bisa dilatihkan pada ibu. Untuk membuat selarasnya rasa dalam dan rasa luar menjadi rasa sendi.
Lalu, proprioseptik (rasa sendi) menyiapkan kematangan indera (sensori) dan kematangan gerak menghimpun refleks-refleks primitif (integrasi) yang disebut sensomotorik. Kemudian terjadi praksis 18-27 bulan (sudah mulai masuk memori), sel otak sangat pesat mencapai 85 persen. Terakhir representatif di usia 27 bulan-balita (sudah sadar/memori) sehingga berpeluang siap cerdas.
Menurut Bagus, tes calistung untuk siswa SD sebenarnya tidak tepat. Akibatnya, di jenjang PAUD/TK anak-anak lebih dirangsang dengan kemampuan calistung daripada membantu keterampilan kognisi berkembang.
”Saya lebih menyarankan untuk masuk SD lebih mengecek keterampilan kognisi, yakni keseimbangan motorik kasar dan halus, daya tangkap, bahasa, sikap, perilaku, dan kemandirian sosial,” kata Bagus.
Jika sudah mengetahui kematangan kognisi anak untuk SD, pembelajaran pun disesuaikan dengan gaya belajar anak, menggunakan visual, auditori, atau kinestetik. Siswa yang belajar visual duduk di depan kelas, auditori di bangku tengah, dan kinestetik di bangku belakang.
”Yang tidak berkembang kognisinya, anak menjadi daya konsentrasi rendah, daya tangkap tidak lama,” kata Bagus.
Bagus menekankan, di TK bukan calistung yang diutamakan. Guru membantu stimulus untuk memastikan daya balas dan daya tangkap dengan berkomunikasi. Motorik kasar berpengaruh pada daya tangkap, sedangkan motorik halus mendukung daya balas.
Mengutip riset, Bagus mengatakan, investasi pada anak 0-2 tahun memberikan hasil 34 kali, anak balita 28 kali, SD 20 kali, SMP dan SMA 18 kali, sedangkan di perguruan tinggi hanya 4-8 kali. ”Sayang, kan, kalau di usia dini salah pengasuhan dan pendidikan. Jadi bukan belajar calistung yang dikejar. Nyatanya hasil PISA Indonesia rendah terus,” kata Bagus.
Peran keluarga
Sementara itu, pendiri Komunitas Menata Keluarga (Emka) Melly Kiong mengatakan, komunitas ini terus bergerak di pendidikan keluarga untuk mengajak orangtua menjalankan pengasuhan anak yang berkesadaran (mindful parenting). ”Orangtua diajak untuk berperan. Kami meyakini bukan orangtua tidak mau tahu, tetapi lebih melihat kadang orangtua bingung dan tidak tahu bagaimana caranya,” ujarnya.
Melly mengatakan, masa pandemi Covid-19 membuka kesadaran pentingnya kolaborasi orangtua dan guru untuk mendidik anak. Di rumah, orangtua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak punya peran penting dalam pembentukan karakter anak. Komunitas Emka mendorong pendidikan karakter dengan membuat stiker karakter yang dapat dipakai orangtua untuk membangun kebiasaan baik.
”Kita akan menghadapi bonus demografi. Apakah kita akan mendapat bonus atau bencana demografi, peran keluarga atau orangtua juga harus disiapkan,” kata Melly.
Yusri Heni dari Yayasan Karakter Eling Indonesia mengatakan, orangtua harus terus mengawal pendidikan anak, tidak bisa menyerahkan sepenuhnya ke sekolah. Selama ini sekolah dipandang lebih mengedepankan kognisi, di rumahlah penguatan karakter anak ditumbuhkembangkan.
”Kami mendukung program untuk tumbuh kembang anak yang lebih baik, di sekolah dan keluarga,” kata Yusri.