Pengasuhan Berbasis Toleransi Menumbuhkan Anak yang Toleran
Toleransi harus ditanamkan sejak dini kepada anak. Pengasuhan orangtua yang dinilai tepat untuk menanamkan nilai-nilai toleransi adalah dengan memberikan contoh.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Mimpi tentang negara yang damai dan toleran terhadap keberagaman bisa dicapai. Itu jika calon penghuninya, yaitu anak-anak, disiapkan menjadi pribadi yang toleran pula. Orangtua berperan besar untuk mendidik soal toleransi.
Bayi, anak balita, hingga anak usia sekolah menyerap informasi dengan sederhana. Mereka mengamati intonasi suara, mimik muka, perilaku, hingga kata-kata yang diucapkan orang dewasa. Hal itu terekam dalam pikiran anak, dimaknai secara sederhana, kemudian menjadi bibit perilaku mereka ketika dewasa.
Mudahnya, perilaku negatif orang dewasa akan diduplikasi oleh anak-anak, begitu juga perilaku positif. Jika kebencian dan intoleransi ditampilkan orang dewasa, anak-anak akan mengikutinya.
”Kalau mau mengajari anak tentang toleransi atau pluralisme, jangan hanya mengatakan, tetapi lakukan. (Perilaku) lebih mudah diobservasi. Anak-anak butuh role model,” kata psikolog klinis anak dan remaja Arijani Lasmawati saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (6/8/2021).
Menurut dia, pengasuhan berbasis toleransi bisa diajarkan sesuai tahap perkembangan anak. Anak balita, misalnya, belum dapat memahami konsep abstrak toleransi. Toleransi bisa diajarkan secara konkret, secara sederhana.
Contoh sederhananya adalah menyapa tetangga-tetangga yang beragam, mengirim makanan ke tetangga saat hari raya, dan bergaul dengan semua orang. Tidak berkata buruk tentang orang yang berbeda etnis dan agama pun termasuk pendidikan toleransi.
Sebaliknya, respons negatif orang dewasa terhadap keberagaman akan dimaknai negatif juga. Anak-anak akan berpikir bahwa orang yang berbeda etnis, agama, atau bahkan yang berbeda pendapat patut dimusuhi. Keluarga menjadi lini pertama untuk menumbuhkan toleransi di masyarakat.
”Saat mau menyebarkan nilai-nilai toleransi ke orang muda, orang dewasa harus menjadi pribadi yang toleran dulu,” ucap Arijani.
Narasi intoleransi
Pengasuhan berbasis toleransi penting karena narasi intoleransi masih ditemukan di keluarga. Berdasarkan riset Bhinneka Kultura Nusantara, ada sejumlah akun media sosial yang memproduksi narasi pengasuhan yang eksklusif dan diskriminatif.
Penelitian dilakukan selama setahun pada Juni 2020-Juni 2021 terhadap 37 akun media sosial. Akun-akun ini umumnya lekat dengan unsur agama.
Dari 9.472 baris percakapan yang dianalisis dengan mesin mesin social network analysis (SNA), ditemukan 11 kata kunci tentang pengasuhan. Kata kunci tersebut ialah orangtua, pasangan anak, suami, istri, bunda, ayah, nikah, keluarga, laki-laki, dan perempuan.
Kalau mau mengajari anak tentang toleransi atau pluralisme, jangan hanya mengatakan, tetapi lakukan. (Perilaku) lebih mudah diobservasi. Anak-anak butuh role model.
Ada enam asosiasi makna pada kata-kata kunci tersebut, yakni visi dan misi (dalam membentuk keluarga), peran (pembagian peran di keluarga), fitrah (idealisasi peran keluarga berdasarkan jender), fase (periodisasi pengasuhan anak), kesalahan (kesalahan anggota keluarga dalam proses berkeluarga), dan pengasuhan.
”Kami menyimpulkan dua narasi utama yang muncul, yaitu ’masuk surga sekeluarga’ dan ’bangun peradaban Islam’,” kata peneliti Bhinneka Kultura Nusantara Irma Rahmayuni.
Menurut dia, kedua narasi itu secara tidak langsung mengancam prinsip dan nilai demokrasi yang menekankan kesetaraan, keadilan, dan kemerdekaan individu. Narasi tersebut dinilai eksklusif, diskriminatif, dan melanggengkan kekerasan.
Sementara itu, perwakilan Indonesia di The Asia Foundation, Sandra Hamid, berpendapat bahwa pendidikan toleransi memerlukan pemahaman tentang manusia terlebih dulu. Ini karena kompleksitas manusia tidak bisa dikelompokkan secara hitam dan putih. Kemampuan melihat dan memahami spektrum manusia yang abu-abu jadi modal penting toleransi.