Berkembangnya narasi kekerasan di keluarga perlu diwaspadai bersama. Apalagi, kini tersedia internet yang bisa menjadi medium penyebaran ajaran kekerasan berbasis agama.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Mural bertema toleransi tergambar di sekitar permukiman warga di kawasan Pinang, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (5/6/2021). Indonesia memiliki keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama yang harus dijaga dan dirawat bersama.
JAKARTA, KOMPAS – Narasi kekerasan dan intoleransi masih ditemukan pada lingkup keluarga. Pola pengasuhan keluarga yang mengajarkan narasi toleransi pada anak pun perlu diperkuat.
Hal ini mengemuka pada publikasi riset Bhinneka Kultura Nusantara berjudul Narasi-narasi Pengasuhan untuk Mempromosikan Toleransi dalam Keluarga di Indonesia, Rabu (4/8/2021) secara daring. Penelitian ini dilakukan sejak Juni 2020 hingga Juni 2021. Penelitian dilakukan pada 37 akun media sosial yang memproduksi narasi pengasuhan yang eksklusif dan diskriminatif. Umumnya akun itu berafiliasi dengan kelompok agama.
Peneliti Bhinneka Kultura Nusantara Irma Rahmayuni mengatakan, kekerasan berbasis keluarga patut disorot. Ini dianggap sebagai penanaman ideologi kekerasan. Belum lagi, internet menjadi medium penyebaran narasi kekerasan berbasis agama.
Dalam kasus yang ekstrem, keluarga bisa dilibatkan dalam praktik kekerasan. Hal itu tampak pada kasus bom bunuh diri yang menyasar Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Maret 2021. Pelaku adalah satu keluarga.
Penelitian tersebut menganalisis percakapan dan narasi di media sosial dengan mesin social network analysis (SNA). Dari 9.472 baris percakapan, ditemukan 11 kata kunci, yaitu orangtua, pasangan anak, suami, istri, bunda, ayah, nikah, keluarga, laki-laki, dan perempuan.
Ada enam asosiasi makna pada kata-kata kunci tersebut, yakni visi dan misi (dalam membentuk keluarga), peran (pembagian peran di keluarga), fitrah (idealisasi peran keluarga berdasarkan gender), fase (periodisasi pengasuhan anak), kesalahan (kesalahan anggota keluarga dalam proses berkeluarga), dan pengasuhan.
“Kami menyimpulkan dua narasi utama yang muncul, yaitu ‘masuk surga sekeluarga’ dan ‘bangun peradaban Islam’,” kata Irma.
Pada narasi pertama, surga bisa dicapai bila masing-masing anggota keluarga menjalankan peran. Ayah sebagai pemimpin keluarga, ibu sebagai pengasuh, dan anak wajib berbakti. Struktur hierarkis rentan membebani lelaki dan menyengsarakan perempuan. Struktur ini juga dikhawatirkan menjadi pintu masuk kekerasan dalam keluarga karena ketimpangan relasi kuasa.
Adapun narasi kedua dinilai eksklusif dan absolut. Narasi ini tidak memberi ruang toleransi terhadap keberagaman.
“Narasi ‘masuk surga sekeluarga’ dan ‘membangun peradaban Islam’ secara tidak langsung mengancam prinsip dan nilai demokrasi. Itu adalah narasi yang eksklusif, diskriminatif, dan melanggengkan kekerasan,” kata Irma.
Narasi tersebut sayangnya bisa diakses di platform digital. Bhinneka Kultura Nusantara merekomendasikan untuk mengatasinya dengan membuat narasi alternatif, menghindari adu argumentasi di media sosial untuk menghindari engagement yang tinggi, hingga perlunya intervensi pemerintah.
“Narasi-narasi ini akan berdampak ke tertutupnya ruang dialog antarumat beragama dan antargolongan di Indonesia, serta berpotensi mematikan aspirasi kelompok minoritas. Penelitian ini untuk membantu pemerintah dan masyarakat mencegah pengasuhan berbasis agama yang eksklusif dan antikeberagaman,” ucap Direktur Program Bhinneka Kultura Nusantara Ki Joyo Sardo.
Kompas/Hendra A Setyawan
Kampanye toleransi antar umat beragama terus disuarakan publik, salah satunya melalui mural yang tergambar di kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat, Jumat (14/5/2021). Hasil riset yang dilakukan oleh Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang dirilis 23 Maret 2021 memaparkan secara umum persepsi dan sikap generasi muda terhadap intoleransi dan ekstremisme menunjukkan tren penolakan yang cukup tinggi, tetapi mereka masih sangat rentan untuk menjadi intoleran.
Menurut Asisten Deputi Peningkatan Partisipasi Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Prijadi Santoso, upaya penguatan keluarga terus dilakukan pemerintah. Selain menyusun sejumlah kebijakan soal pembangunan keluarga—termasuk pengasuhan—, pemerintah mendorong kesetaraan laki-laki dan perempuan.
“Kami upayakan intervensi dengan bekerja sama dengan pemerintah pusat, pemda, hingga desa,” kata Prijadi.
Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama Eny Retno Yaqut mengatakan, pandemi Covid-19 turut memengaruhi pengasuhan keluarga. Kekerasan berisiko terjadi pada keluarga yang sulit beradaptasi dengan kondisi.
“Riset ini penting untuk ditindaklanjuti dan perlu kerja sama semua pihak guna menanamkan nilai toleransi di keluarga,” ucap Eny.
Menurut perwakilan Indonesia di The Asia Foundation Sandra Hamid, pengajar di sekolah maupun orangtua perlu mengajarkan bahwa dunia tidak hitam-putih. Ini karena manusia kompleks dan tidak bisa didikotomikan secara terbatas.
“Mengajarkan anak kemampuan melihat ruang abu-abu itu penting. Ini tidak mudah dan butuh kesabaran,” katanya.