Normalisasi kekerasan seksual tidak dapat dimaklumi dan dianggap sebagai hal yang wajar. Sebab, hal itu menempatkan korban dalam posisi kian rentan pada kejahatan terhadap tubuh dan martabat manusia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tindakan atau pikiran yang menganggap bahwa kekerasan seksual sebagai kewajaran perlu dikikis. Jika itu tidak dilakukan, posisi korban kekerasan seksual akan semakin rentan, rawan disalahkan, hingga membuat korban jadi enggan melapor.
Normalisasi kekerasan seksual atau rape culture terjadi karena beberapa hal, antara lain, pandangan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan tidak setara. Faktor lain adalah kecenderungan membuat perempuan sebagai obyek seksual dan adanya budaya patriarki.
”Rape culture itu, misalny,a gurauan yang seksis hingga menertawakan kekerasan seksual. Itu sangat berbahaya. Dalam beberapa kasus, rape culture mungkin tidak memberi dampak seketika. Tetapi, itu membangun narasi bahwa kekerasan seksual dibenarkan,” kata aktivis perempuan dan pendiri Institut Perempuan, Rotua Valentina Sagala, saat dihubungi, Rabu (4/8/2021).
Dampak normalisasi kekerasan seksual bisa berjangka panjang. Normalisasi berpotensi membuat orang permisif terhadap kekerasan seksual. Publik juga berpotensi apatis ketika mengetahui atau melihat praktik kekerasan.
Normalisasi atau tindakan menjadikan kekerasan seksual sebagai hal wajar secara tidak langsung memberi impunitas kepada pelaku. Sebaliknya, korban justru rentan disalahkan bahkan dikriminalisasi. Pada akhirnya, korban enggan melapor ke pihak berwajib. Padahal, keberanian korban untuk melapor adalah kunci penanganan kasus kekerasan seksual.
Sebelumnya, warganet ramai membicarakan pelecehan seksual yang diduga dilakukan seorang pemengaruh (influencer). Pelecehan diduga dilakukan kepada salah satu audiens perempuan yang diajak siaran langsung di Instagram. Dialog dan gurauan saat itu dinilai tidak pantas.
Dalam beberapa kasus, ”rape culture” mungkin tidak memberi dampak seketika. Tetapi, itu membangun narasi bahwa kekerasan seksual dibenarkan.
”Hal tersebut (normalisasi kekerasan seksual) mungkin tidak memengaruhi tindakan orang yang kritis. Namun, konten seperti itu di media sosial sangat berisiko ketika ditangkap orang lain, kemudian dianggap sebagai kebenaran, lalu memengaruhi tindakan seseorang. Kekerasan seksual itu kejahatan terhadap tubuh dan martabat manusia,” ucap Valentina.
Menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Theresia Iswarini, ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki perlu dikikis. Itu bertujuan agar kasus kekerasan seksual dapat diperlakukan sebagai masalah, bukan kewajaran.
Ia juga mengingatkan bahwa para pemberi pengaruh memiliki tanggung jawab moral dan sosial. Artinya, pemberi pengaruh harus kritis atas dirinya sendiri dan memikirkan dampak dari tindakannya.
”Penghormatan ke kemanusiaan itu prinsip. Pengaruh mereka justru dapat dipakai mengisi ruang kosong tentang edukasi kesetaraan di media sosial. Literasi digital diperlukan, terlebih dengan adanya kekerasan berbasis jender siber,” kata Theresia.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, kekerasan berbasis gender siber (KBGS) meningkat dari 241 kasus pada 2019 menjadi 940 kasus pada 2020. Menurut laporan Lembaga Layanan, pada 2019 terdapat 126 kasus KBGS, kemudian naik menjadi 510 kasus pada 2020.
RUU PKS
Normalisasi kekerasan seksual menekankan pentingnya mengesahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Menurut Valentina, jika disahkan, UU PKS dapat merespons dinamika dan kompleksitas kekerasan seksual. RUU PKS pun mengakomodasi bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini.
Sebelumnya, menurut Staf Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Tuani Sondang Marpaung, hukum di Indonesia belum berorientasi kepada korban. Keberpihakan kepada korban kekerasan seksual tampak di RUU PKS.
”Perlu ada hukum yang menjamin perlindungan hukum ke korban kekerasan seksual. Karena itu, penting mendorong (pengesahan) RUU PKS,” kata Tuani (Kompas.id, 29/6/2021).