Ilusi Membangun Kecakapan Literasi yang Tak Mulai dari Dasar
Dalam dunia yang penuh dinamika dan ketidakpastian, kemampuan belajar sepanjang hayat jadi keharusan untuk bisa bertahan dan berkembang. Ini akan terbantu dengan bekal kecakapan literasi yang baik.
Rendahnya capaian kompetensi literasi pelajar dan orang dewasa di Indonesia pada skala global tentunya harus menjadi perhatian serius. Memiliki literasi berkualitas, salah satunya kemampuan membaca, bukan hanya penting sebagai fondasi awal untuk mampu belajar dan berkontribusi dalam kehidupan.
Dalam dunia yang penuh dinamika dan ketidakpastian, kemampuan belajar sepanjang hayat jadi keharusan untuk bisa bertahan dan berkembang. Ini akan terbantu dengan bekal kecakapan literasi yang baik.
Memastikan siswa Indonesia memiliki kecakapan literasi, numerasi, dan karakter jadi bagian dari asesmen nasional (AN) yang akan digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada akhir tahun ini. Tujuannya, untuk memetakan siswa di semua sekolah jenjang pendidikan dasar dan menengah telah menguasai kecakapan dasar yang penting ini tanpa terkecuali.
Hasil AN diprediksi tak jauh beda dari gambaran hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 ataupun Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI). Berdasarkan data AKSI 2019 yang digelar Kemendikbudristek, sebanyak 55,85 persen siswa memiliki kemampuan membaca kurang, 38,01 persen kategori cukup, dan 6,14 persen berkategori baik. Dalam PISA 2018, kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada urutan ke-71 dari 76 negara.
Ketidakmampuan membedakan mitos dan fakta membuat orangtua berlomba-lomba memasukkan anak ke TK agar dapat membaca, ditambah pula dengan les membaca dengan model drilling. Guru TK pun melakukan hal yang sama.
Tak kuatnya fondasi kemampuan membaca yang dibangun secara benar sejak di pendidikan dasar berdampak pada rendahnya kemampuan literasi saat dewasa. Berdasarkan laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2016, sebagian besar orang dewasa di Jakarta memiliki kecakapan literasi dan numerasi yang rendah. Hampir 70 persen orang dewasa Jakarta berada di bawah atau level 1 literasi. Mereka hanya mampu membaca teks singkat untuk topik yang dikenal untuk meletakkan sebaris informasi tertentu. Untuk melakukan tugas ini, hanya dibutuhkan pengetahuan kosakata dasar dan pembaca tidak diminta memahami struktur kalimat atau paragraf.
Guru membaca
Tak ingin Indonesia terus terpuruk dalam kecakapan literasi yang rendah, sejumlah praktisi pendidikan bergerak membenahi pembelajaran literasi/membaca di level SD/MI. Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) dengan semangat sukarelawan dimulai dengan menggelar training of training (ToT) bagi guru SD/MI, Sabtu (31/7/2021). Sebanyak 20 guru dari Ambon, Pontianak, Batam, Riau, Bandung, Depok, dan Jakarta ikut pelatihan daring yang interaktif dan praktis, dimulai dengan topik bergerak membangun guru menjadi pembaca aktif.
Dhitta Puti Sarasvati, fasilitator yang juga dosen Fakultas Pendidikan Universitas Sampoerna, memantik diskusi dengan pertanyaan tentang pengalaman membaca paling berkesan sejak masa kecil dalam rangka membangun perspektif menuju pembahasan substantif tentang membaca. Guru pun bergantian membagikan kisah berkenalan dengan buku dan kesenangan membaca yang ditulis di suatu aplikasi.
”Bapak membelikan saya buku bekas yang bercerita tentang Rumah Cokelat. Saya bahagia karena di sana kita mengambil cokelat sesuka hati, tidak pernah habis, dan tidak merusak rumah. Membaca buku itu membuat saya bahagia karena bisa berimajinasi. Sebab, saya hanya bisa sekali setahun makan cokelat saat Lebaran ke rumah saudara,” tutur Winyarti Lestari.
Baca juga : Menjaga Nyala Semangat Belajar Anak lewat Literasi
Fasilitator meminta peserta lain untuk menanggapi kisah Winyarti. Meski sempat jeda cukup lama, akhirnya peserta lain memberanikan diri untuk menanggapi dan berbagi kisah seru tentang pengalaman membaca.
Para guru terus diajak untuk menggali cerita tentang menjadi pembaca dari pengalaman diri sendiri. Ketika guru diminta memberi makna membaca, artinya pun jadi beragam dan dimaknai bebas. Samsul, guru SDN 70 Ambon, mengatakan, membaca membuatnya terbawa suasana. Dia suka membaca kumpulan puisi, pantun, dan cerita pendek. Dia bahkan sudah membuat buku antologi puisi.
Gelora membaca guru juga dibangkitkan dengan menonton film William Kamkwamba, seorang tokoh di Malawi, Afrika, yang putus sekolah karena kemiskinan. Namun, dengan bekal kemampuan membaca, dia bisa menghadirkan teknologi kincir angin di desanya sehingga menghasilkan listrik. Membaca tak mesti lewat teks, tetapi lewat gambar, infografis, dan sebagainya.
Fasilitator pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memantik diskusi dan refleksi, bukan hafalan. Akhirnya, fasilitator mengajak peserta membuat pertanyaan atau pernyataan dalam kalimat singkat yang akan mereka ungkapkan seandainya para guru bertemu dengan Willam Kamkawamba.
”Kenapa kamu tidak berhenti saat orang lain mengatakan tindakanmu gila?” tulis peserta. Ada juga yang mengungkapkan pernyataan, ”Putus sekolah bukan berarti memutuskan membaca dan belajar.”
Baca juga : Tingkatkan Minat Baca Masyarakat lewat Festival Readvolution
Menutup sesi yang menginspirasi guru untuk menjadi pembaca aktif, fasilitator meminta guru menuliskan mengapa manusia perlu membaca sepanjang hayat. Beragam jawaban muncul, salah satunya karena proses belajar terjadi di mana saja, termasuk dari membaca buku.
Ketua Presidium Gernas Tastaba Itje Chodidjah mengatakan, peran utama guru SD/MI adalah membangun alat untuk belajar. ”Itu lebih penting dari penyampaian pengetahuan dan konten pembelajaran,” kata Itje.
Menurut dia, guru SD/MI memiliki peran penting dalam memajukan literasi nasional. Peran itu harus dijalankan oleh para guru pembaca aktif. Guru yang mau jadi pembaca aktif akan menyelamatkan Indonesia. Anak-anak akan menghadapi perubahan cepat dan dinamis.
”Ketika mereka tidak hadir dalam kehidupan dinamis, mereka akan tertinggal. Kunci utama, ya, membaca. Kita bergerak bersama guru untuk mengajak anak-anak Indonesia membaca bermakna,” kata Itje.
Dhitta menambahkan, para guru SD/MI harus mengambil banyak sekali keputusan penting sebelum melaksanakan proses pembelajaran karena menyangkut hal-hal krusial dari aspek kesesuaian level ataupun aspek sosial dan moral, misalnya pemilihan bahan ajar atau bahan bacaan. ”Bisa dibayangkan apabila itu dilakukan dengan sambil lalu,” ujarnya.
Itje mengakui, walau sudah cukup lama dirancang, ToT perdana Gernas Tastaba ini masih akan mengalami penyempurnaan. Namun, dia optimistis gerakan ini terus membesar dan memberi dampak yang berarti bagi ikhtiar memajukan literasi nasional.
Baca juga : Literasi Keuangan Syariah Rendah, Publik Rentan Terhasut Investasi Bodong
Lenny Herlina, guru SD dari Pontianak, Kalimantan Barat, menyatakan sangat senang bisa bergabung dalam ToT Gernas Tastaba. ”Setelah melihat tujuan tadi, menyimak segala hal yang tadi didiskusikan, saya semakin termotivasi untuk terus menjadi pembaca aktif agar bisa meningkatkan kualitas peserta didik,” tulisnya dalam ruang percakapan (chat) di akhir ToT perdana.
Sependapat dengan Lenny, Winyarti Lestari dari Jakarta mengatakan bahwa guru harus mencari sumber-sumber bacaan yang relevan dan kontekstual. Selain itu, katanya, guru harus memberi keteladanan kepada siswa.
Membacakan cerita
Kekeliruan dalam membangun kecakapan literasi anak bangsa justru dimulai dari usia dini. Pendidikan anak usia dini, utamanya di taman kanak-kanak, lebih mengedepankan kecepatan membaca, menulis, dan menghitung (calistung). Hal ini akibat pendidikan di kelas I SD sudah menuntut kemampuan membaca. Bahkan, untuk masuk SD sudah dinilai dari kemampuan calistung.
Dalam acara Pakar Berbagi: Meningkatkan Kemampuan Literasi Anak dengan Membacakan Cerita, praktisi pendidikan Indra Charismiadji membongkar sejumlah mitos dan fakta terkait literasi. Ketidakmampuan membedakan mitos dan fakta membuat orangtua berlomba-lomba memasukkan anak ke TK agar dapat membaca, ditambah pula dengan les membaca dengan model drilling. Guru TK pun melakukan hal yang sama.
Mengajarkan baca tulis sedini mungkin dikatakan akan meningkatkan kemampuan literasi baca tulis anak secara signifikan. Dari kajian akademis, banyak riset yang menunjukkan anak-anak yang dipaksa calistung sebelum SD menunjukkan hasil kontraproduktif.
”Ilusi anak akan pintar, masih kecil sudah bisa baca-nulis, namun ini justru mendorong atau memperburuk kemampuan literasi saat dewasa nanti,” ujar Indra.
Baca juga : Warisan Buku, Kemerosotan Literasi, Dinasti Cendekiawan
Justru ada hal sederhana yang terlupakan dari penyiapan kesiapan literasi anak Indonesia di usia dini. Membacakan cerita dengan suara nyaring atau read aloud akan meningkatkan kemampuan literasi anak. Di TK, fokus pada story telling atau membacakan cerita untuk anak-anak secara menarik dan interaktif akan menumbuhkan kecintaan pada bacaan.
”Dengan cerita bisa memberi kompetensi dan karakter yang mau diberikan ke anak-anak, tidak harus bentuk drilling,” kata Indra.
Roosie Setiawan, pendiri Komunitas Read Aloud, mengatakan mendirikan komunitas yang sudah tersebar di 60 kota/kabupaten ini untuk mengajak orangtua membacakan buku cerita kepada anak sejak tahun 2008. ”Sederhana saja, dengan orang dewasa membacakan buku untuk anak. Mengeluarkan suara sudah bisa membuat anak nol bulan secara bertahap terbangun kecakapan literasinya,” katanya.
Menurut Roosie, membacakan buku secara nyaring akan membangun keterampilan mendengar anak sebelum bicara. Pemahaman melalui menyimak merupakan jembatan bagi pemahaman membaca. Menyimak jadi fondasi dari kompetensi literasi lain, yakni berbicara, membaca, dan menulis.
”Ada yang keliru di pendidikan kita. Di TK atau PAUD tidak dipersiapkan kecakapan literasi dini dan di SD tidak diajarkan membaca, tapi sudah harus bisa membaca,” ujarnya.
Membacakan buku secara nyaring yang dilakukan orangtua di rumah dan di PAUD, lalu menikmati prosesnya, seperti tanya-jawab, jadi hal fundamental membenahi kekeliruan tentang calistung pada anak usia dini. ”Mudah dilakukan, bisa dilakukan, dan kini makin mudah akses ke buku elektronik tanpa biaya,” kata Roosie.
Baca juga : Literasi, Kunci Kehidupan Seseorang