Semua Umat Beragama/Berkeyakinan Berhak Diakui dan Dilindungi
Sapaan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kepada Umat Baha\'i menegaskan komitmen negara terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ucapan selamat hari raya yang disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada penganut agama Baha\'i dipandang sebagai bentuk pengakuan negara terhadap komunitas tersebut. Seluruh pihak pun ditekankan bahwa semua penganut agama atau keyakinan di Indonesia harus mendapat pengakuan dan perlindungan yang sama.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengemukakan, Indonesia memang hanya mengakui enam agama yang mayoritas dipeluk oleh warganya. Namun, bukan berarti agama maupun penganut kepercayaan lain dilarang di Indonesia.
Para pemeluk agama selain yang diakui di Indonesia tetap mendapat jaminan penuh sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU PNPS). Dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, mereka juga tetap dibiarkan asal tidak melanggar ketentuan dalam peraturan ini atau perundang-undangan lainnya.
“Ketentuan ini sudah jelas bahwa UU PNPS 1965 tidak pernah membedakan pengakuan terhadap agama di luar enam agama yang diakui,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Jumat (30/7/2021).
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140 Tahun 2009 tentang judicial review UU PNPS 1965 menyatakan bahwa UU PNPS tidak diskriminatif pada pengakuan pada agama lain. Dalam putusan tersebut, MK juga berpendapat bahwa UU PNPS tidak sedikitpun mematikan kemajemukan agama yang ada dan tumbuh di Indonesia. Sebab, semua penganut agama mendapat pengakuan dan jaminan perlindungan yang sama.
Sebelumnya beredar video ucapan selamat Hari Raya Naw Ruz 178 EB dari Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang ditujukan kepada umat Baha’i Indonesia. Video ini kemudian mendapat respons beragam dari publik. Bahkan, tidak sedikit yang merespons negatif, tendensius, dan cenderung mendiskreditkan serta mendiskriminasikan umat Baha’i.
Peneliti dari Wahid Foundation Alamsyah Djafar menilai, kontroversi pernyataan Menag membuka catatan tentang perlunya sosialisasi atau informasi kepada masyarakat tentang agama maupun kepercayaan yang ada di Indonesia. Di sisi lain, negara juga harus menghormati dan menghargai keyakinan atau agama yang tumbuh di Indonesia.
“Pro kontra mengenai Baha’i sebenarnya memberikan manfaat bahwa sebenarnya kita masih memerlukan usaha untuk terus menghargai, mengakui, memastikan negara tidak mendiskriminasikan hak-hak beragama atau keyakinan seseorang,” tuturnya.
Sementara menurut Pengajar studi agama dan lintas budaya Universitas Gadjah Mada, Zainal Abidin Bagir, ucapan selamat hari raya tersebut merupakan bentuk pengakuan negara terhadap masyarakat di komunitas tersebut. Ia pun menekankan secara luas persoalan ini tidak hanya sebatas Baha’i, melainkan tentang pengakuan dan kehadiran negara terhadap pemenuhan hak-hak sipil warganya.
Sejarah Baha’i
Zainal menjelaskan, komunitas Baha’i sudah ada dan telah menjadi bagian dari Indonesia sejak lama sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, dari catatan sejarah, Baha’i sudah muncul di Indonesia sejak akhir abad ke-19. Namun, komunitas ini kurang dikenal karena perkumpulannya yang kecil.
“Presiden Soekarno pernah mengeluarkan satu keputusan mengenai tujuh organisasi yang dilarang hidup di Indonesia dan salah satunya Baha’i. Keputusan yang diambil saat itu terkait revolusi, sosialisme, dan tidak sejalan. Setelah itu, tidak banyak pembicaraan tetapi komunitasnya tetap ada misalnya di Banyuwangi,” ungkapnya.
Kebijakan yang menyebut Baha’i sebagai organisasi terlarang tersebut kemudian mulai dicabut pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Terakhir pada 2014, Lukman Hakim Saifuddin yang saat itu menjadi Menag menyampaikan bahwa Baha’i merupakan suatu agama yang independen dan bukan sempalan atau pemisahan agama lain.
“Pernyataan ini kemudian disalahpahami publik dan dianggap bahwa Baha’i merupakan agama ketujuh yang diakui atau diakui Indonesia. Padahal, yang dikatakan menteri saat itu hanya Baha’i sebagai agama dan bukan sempalan,” katanya.
Secara terpisah, SETARA Institute juga mengapresiasi ucapan Selamat Hari Raya kepada umat Baha’i yang disampaikan Menag. Ucapan itu merefleksikan sikap pemerintah yang bersandar kepada konstitusi negara, UUD 1945, khususnya Pasal 28 ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) yang dirumuskan oleh para pendiri negara.
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," kata Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan.
SETARA Institute mengingatkan seluruh elemen pemerintahan negara bahwa Baha’i merupakan entitas kolektif sekelompok anak bangsa yang dijamin eksistensinya, memiliki legitimasi, dan dilindungi berdasarkan hak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama/keyakinan. Keputusan Presiden RI No 69 Tahun 2000 menegaskan jaminan atas eksistensi Baha’i. Oleh karena itu, sikap Menag sudah semestinya mendapatkan dukungan dari jajaran pemerintahan yang lain.
Menurut Hasan, provokasi dan hasutan yang memancing kecurigaan terhadap eksistensi Baha’i dan memicu segregasi antar kelompok anak bangsa hendaknya dihentikan. Tokoh agama, elite politik, dan tokoh masyarakat perlu mendorong masyarakat untuk hidup damai di tengah perbedaan.(ABK)