Media Massa Arus Utama Jadi Rujukan Informasi Covid-19 Tepercaya
Media massa arus utama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Masyarakat masih memercayai media arus utama sebagai pemberi informasi tentang pandemi Covid-19 yang tepercaya.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial menjadi andalan pertama masyarakat untuk mendapatkan informasi pandemi Covid-19. Akan tetapi, kepuasan dan kebutuhan akan informasi lebih lanjut dan tepercaya tetap didapatkan dari media arus utama. Fenomena ini semakin menambah keyakinan bahwa media massa utama masih dibutuhkan perannya dalam kehidupan masyarakat.
Akan tetapi, di saat yang sama, media arus utama juga mendapat tantangan sebab ekspektasi masyarakat terhadap informasi yang solutif dan lebih mendalam juga terus berkembang.
”Penilaian atau persepsi publik, media massa sudah menyajikan informasi yang memadai. Media massa nasional jadi rujukan utama tentang Covid-19 dan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pers masih tinggi. Jadi, ini bisa menjadi modal untuk terus mengajak semua pihak bersama-sama memerangi Covid-19,” kata Albertus Prestianta dari tim riset Universitas Multimedia Nusantara (UMN) saat memaparkan survei persepsi publik terhadap pemberitaan Covid-19 di media, Mei-Juni 2021, Jumat (30/7/2021). Hasil survei itu dipaparkan dalam diskusi bertajuk ”Perspesi Publik terhadap Pemberitaan Covid-19 di Media” yang digelar Dewan Pers di Jakarta.
Menurut Albertus, survei dilakukan secara daring kepada 1.119 responden yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Survei ini untuk memahami perilaku masyarakat dalam mencari informasi tentang Covid-9 dan memahami apa yang dipikirkan masyarakat.
”Dengan mengetahui penilaian dan persepsi publik terhadap berita Covid-19 di media, maka media dan seluruh pihak dapat mengatur dan menyusun strategi komunikasi terbaik,” kata Albertus.
Membatasi diri
Temuan menarik lain dalam survei adalah masyarakat kian selektif dan membatasi diri untuk mengakses berita terkait Covid-19, dengan membaca 1-2 artikel per hari atau menonton televisi kurang dari satu jam. Ada sinyal perubahan kebiasaan dalam mengonsumsi informasi Covid-19 karena masyarakat mengalami keletihan emosional akibat terpaan berita Covid-19 yang masif.
Meski memicu perubahan perilaku dalam masyarakat, seperti perilaku hidup sehat dan bersih, berita tentang Covid-19 juga berdampak pada emosi. Sebagian besar responden merasakan semacam keletihan, kesedihan, pilu, rasa rindu, dan kesepian (disuarakan anak muda). Sementara kalangan yang lebih tua merasa marah, cemas, tertekan, atau mental yang lebih terganggu.
Ada sinyal perubahan kebiasaan dalam mengonsumsi informasi Covid-19 karena masyarakat mengalami keletihan emosional akibat terpaan berita Covid-19 yang masif.
Albertus mengatakan, walaupun percaya kepada media massa arus utama, ada kecurigaan juga jika pemberitaan di media massa dilebih-lebihkan dari realitas. Ada anggapan media massa belum bisa memisahkan pernyataan ilmiah dan politik hingga muncul kecurigaan pemberitaan Covid-19 dikaitkan dengan upaya mengiklankan produk kesehatan.
Namun, masyarakat tetap membutuhkan informasi yang tepercaya, terutama soal vaksinasi yang masih sulit diakses di daerah serta berbagai informasi perkembangan dan penanganan, serta praktik baik yang terjadi di daerah mereka.
”Informasi yang berbasis lokal area/daerah dibutuhkan. Media daring lokal berbasis komunitas atau grup Whatsapp, pengikut (followers) dan engangement-nya tinggi karena merasa relevan. Media massa arus utama memang dapat memberikan pemahaman utuh secara nasional, tetapi kurang mengangkat kondisi daerah yang lebih relevan buat masyarakat lokal,” papar Albertus.
Dengan mengetahui penilaian dan persepsi publik terhadap berita Covid-19 di media, maka media dan seluruh pihak dapat mengatur dan menyusun strategi komunikasi terbaik.
Media sosial
Albertus mengatakan, media massa arus utama harus masuk ke dalam arus media sosial. Memang tidak bisa bersaing dalam kecepatan karena harus melakukan check dan recheck. Namun, dengan memanfaatkan media sosial, jadi pengecekan buat masyarakat. Kini, banyak media massa arus utama yang juga mengembangkan media sosial.
Terkait produksi konten, masyarakat berharap media tidak hanya mendengungkan problem, tetapi juga menyajikan solusi lewat peliputan mendalam. Publik semakin lama semakin berorientasi pada jawaban benar. Hal ini dibuktikan dari mencari rujukan yang lebih dipercaya di media massa arus utama.
Menggelorakan kebersamaan
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengatakan, pers dapat menggelorakan simpati dan partisipasi publik hingga berkembang jadi empati. Pers tidak cukup menyajikan diskursus atau polemik dalam penanganan Covid-19, tetapi harus juga mengangkat berbagai kegiatan riil yang dimobilisasi masyarakat.
”Kekuatan pers ini untuk menggerakkan supaya semua pihak mau bersama-sama. Gelorakan the power of we, atau kekuatan kita bersama-sama untuk memerangi Covid-19 dari hulu ke hilir,” kata Nuh.
Menurut Nuh, dunia pers memiliki kekuatan yang tak dimiliki pihak lain. Kalau tanpa media, pesan yang mau disampaikan tak memiliki jangkauan luas. Jadi, kesempatan baik untuk memanfaatkan dampak atau impact dari kekuatan media.
”Bangun rasa kekitaan dari pemberitaan. Pers jadi perekat bangsa supaya kekuatan kita jadi dahsyat,” ujar Nuh.
Sementara itu, Kepala Bidang Informasi Publik Satgas Covid-19 Hery Trianto mengatakan, media massa arus utama berperan untuk menjadi clearing house of information atau penjernih informasi di tengah karut-marut pemberitaan Covid-19, utamanya di media sosial.
Pada kurun Sepetember 2020, sebanyak 17 persen masyarakat atau sekitar 49 juta orang tidak percaya Covid-19, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS). ”Sekarang, dengan kontribusi media massa arus utama, kepercayaan tentang pandemi semakin baik dan sudah tidak terlalu resisten pada informasi,” kata Hery.
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ahmad Djauhar mengatakan, penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian Dewan Pers. Sebab, Dewan Pers punya kewajiban mengetahui dinamika kehidupan pers di masyarakat sesuai amanat Undang-Undang Pers.
”Penelitian ini untuk mendukung iklim daya hidup pers. Dari penelitian bisa didapat kesimpulan bagaimana pers bersikap dan melakukan langkah-langkah yang tepat,” kata Ahmad.
Menurut Ahmad, Dewan Pers bersama Satgas Covid-19 menggelar fellowship bagi sekitar 3.000 jurnalis untuk menjadi duta perubahan perilaku di masyarakat. Muncul beragam pemberitaan variatif dan inspiratif lewat karya jurnalistik untuk menginspirasi masyarakat melawan Covid-19.
”Sayangnya masih banyak yang mengangkat talking news atau hanya memindahkan omongan narsumber. Kami mencoba mendorong pers untuk menyajikan pemberitaan yang lebih baik dengan narasi yang digali dari berbabagi pihak sesuai realitas,” tutur Ahmad.