Selama lebih dari satu tahun pandemi Covid-19, banyak orangtua meninggal sehingga anak-anaknya menjadi yatim piatu. Perhatian terhadap anak-anak tersebut tidak bisa diabaikan, hak-haknya harus tetap dijamin.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 telah membawa duka yang sepertinya tak berkesudahan. Lebih dari seribu orang meninggal akibat Covid-19 per hari dalam beberapa hari terakhir. Tak sekadar angka, mereka adalah orangtua, anak, istri, suami, sahabat, kerabat, juga keluarga.
Dari rentetan kisah duka akibat Covid-19 adalah kisah pilu anak-anak yang kehilangan orangtuanya yang meninggal akibat Covid-19. Pemerintah harus memastikan pengasuhan anak-anak tersebut tetap terjamin serta tumbuh kembangnya secara fisik, mental, spiritual, dan sosial terus terpantau.
”Kami akan memastikan anak-anak itu tetap terlindungi dan hak-haknya dapat terpenuhi,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Puspayoga, dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (29/7/2021) petang.
Bintang mengatakan, Gugus Tugas Covid-19 telah mengeluarkan protokol penanganan anak yang yatim piatu akibat orangtuanya meninggal. Berdasarkan protokol ini, keluarga dari anak-anak tersebut dapat mengambil alih tanggung jawab hak pengasuhan anak tersebut.
”Kementerian PPPA juga akan bersinergi lintas kementerian/lembaga untuk memastikan perlindungan terhadap anak yang ditinggal orangtuanya akibat Covid-19,” ujar Bintang.
Kami akan memastikan anak-anak itu tetap terlindungi dan hak-haknya dapat terpenuhi.
Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa perlindungan terhadap anak-anak dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan orangtua. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pengecualian itu untuk memastikan anak tetap memiliki pengganti orangtua sehingga tetap mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan, dan perlindungan, termasuk mendapatkan dukungan pembiayaan hidup dan pemenuhan hak anak lainnya.
Karena itulah, tim Kementerian PPPA di setiap kabupaten/kota akan melakukan penjangkauan dan pendampingan terhadap anak yang kini menjadi yatim piatu. Bintang mengingatkan, peran masyarakat sekitar dan pemerintah sampai ke tingkat desa sangat penting untuk menjamin anak tidak telantar dan tetap mendapatkan perlindungan.
”Saya melihat kepedulian dan perhatian masyarakat yang begitu tinggi terhadap anak-anak yang ditinggal oleh orangtuanya karena Covid-19. Saya mengapresiasi peran serta tersebut dan memang kerja sama masyarakat sangat dibutuhkan sehingga kita semua dapat menghadapi dan melewati situasi pandemi ini bersama-sama,” tutur Bintang.
Evaluasi sistem pengasuhan
Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait mengingatkan, pemerintah dan masyarakat agar memberi perhatian kepada terhadap anak-anak yang kehilangan orangtuanya yang meningggal karena Covid-19.
”Dampak dari virus korona baru, anak rentan kehilangan orangtuanya, akan menjadi yatim piatu, dan itu berdampak pada pengasuhan. Saya kira pola pengasuhan saat ini harus dievaluasi, menghadapi virus korona baru. Siapa yang mengasuh mereka, menciptakan alternatif pengasuhan,” papar Arist.
Selain itu, Arist juga menekankan pentingnya vaksinasi bagi anak sehingga memiliki kekebalan dalam menghadapi Covid-19.
Evi Douren, Presidium PIKI Salemba10 yang juga komisioner Komnas Perempuan 2003-2005, mengungkapkan, anak-anak yang menjadi yatim piatu akibat kematian orangtua atau orangtua asuhnya sesungguhnya bisa dikatakan sebagai hidden pandemic akibat kematian yang diakibatkan oleh Covid-19.
”Sejak sekarang sudah harus mulai dipikirkan sistem dukungan psikososial dan ekonomi bagi anak-anak yang masuk ke dalam kelompok tersebut. Anak-anak yang kehilangan orangtua atau pengasuh utamanya berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental, mengalami kekerasan fisik, emosional, dan seksual juga,” tutur Evi.
Bahkan, apabila kejadian tidak diinginkan itu terus berlanjut, di kemudian hari dapat meningkatkan risiko bunuh diri, kehamilan pada usia remaja, ataupun menderita penyakit infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV.
Oleh karena itu, Evi mengimbau pemerintah dan masyarakat mulai memikirkan sistim dukungan bagi anak-anak yang menjadi yatim piatu. Masyarakat bisa diajak untuk membangun sistem dukungan dalam lingkaran keluarga besar untuk menampung dan membesarkan anak-anak itu.
”Jika sistem penyangga keluarga besar (termasuk kakek-nenek) tak cukup secara ekonomi, pemerintah harus membangun sistem untuk membantu pemenuhan hak anak atas gizi, kesehatan, dan pendidikannya,” ujar Evi.