Perkuat Strategi Perlindungan Perempuan dari Kekerasan
Kaum perempuan belum memiliki ruang yang aman dari kekerasan. Mayoritas pelaku kekerasan mempunyai relasi dekat dengan korban.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap perempuan meningkat selama pandemi dan didominasi kekerasan seksual. Di tengah kondisi itu, penanganan kasus tak optimal, terutama karena korban sulit mengakses rumah sakit yang penuh pasien Covid-19. Karena itu, strategi perlindungan terhadap perempuan perlu diperkuat.
Menurut data Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), ada 503 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2018 hingga Juni 2021. Jumlah korban mencapai 680 perempuan.
Pada 2018 ada 74 kasus kekerasan, kemudian jumlah kasus meningkat menjadi 84 orang pada 2019. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat lagi menjadi 96 kasus pada 2020 atau pada masa pandemi Covid-19. Adapun LRC-KJHAM mencatat ada 60 kasus kekerasan sepanjang 2021 hingga Juni dengan korban 95 perempuan.
”Jenis kasus kekerasan yang tertinggi yakni kekerasan seksual, seperti perbudakan seksual, pelecehan seksual, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), dan pemerkosaan. Sekitar 80 persen dari jumlah total kasus merupakan kekerasan seksual,” kata Direktur LRC-KJHAM Nur Laila Hafidhoh pada konferensi pers daring, Jumat (30/7/2021).
Sementara itu, data Komnas Perempuan merekam 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020. Kekerasan yang dialami beragam, baik kekerasan fisik maupun verbal.
Angka itu lebih kecil daripada data 2019, yakni 431.471 kasus. Namun, pada masa pandemi, hanya 50 persen lembaga mitra Komnas Perempuan yang mengembalikan angket laporan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, penurunan kasus disebabkan korban enggan melapor (Kompas, 24/5/2021).
”Mayoritas pelaku kekerasan mempunyai relasi dekat dengan korban, seperti pacar, suami, ayah tiri dan kandung, guru, kakek, hingga guru mengaji. Ini menunjukkan betapa perempuan tidak memiliki ruang aman untuk bebas dari kekerasan. Di masa pembatasan sosial, perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual,” ucap Nur Laila.
Hambatan penanganan
Peningkatan tren kekerasan terhadap perempuan diikuti pula dengan hambatan penanganan kasus akibat pandemi. Salah satu hambatan itu meliputi kesulitan mengakses rumah sakit yang penuh oleh pasien Covid-19. Selain itu, pemeriksaan medis di fasilitas kesehatan membuat korban rentan terpapar Covid-19.
Korban juga kesulitan masuk ke tempat penampungan karena harus terbukti negatif Covid-19 terlebih dulu. Korban yang menunggu hasil tes pun kerap tidak mempunyai tempat berlindung.
Perempuan tidak memiliki ruang aman untuk bebas dari kekerasan. Di masa pembatasan sosial, perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Padahal, upaya perlindungan perempuan penting dilakukan. Hal itu sesuai dengan komitmen pemerintah yang sudah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW).
”CEDAW diratifikasi Indonesia 37 tahun lalu dan dituangkan dalam UU No 7/1984. Apa pun kondisinya, CEDAW harus jadi pegangan perlindungan korban,” ucap Nur.
Komisioner Komnas Perempuan periode 2010-2014 dan 2014-2019, Sri Nurherwati, menambahkan, akar diskriminasi terhadap perempuan yakni perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Padahal, CEDAW mendorong kesetaraan dan penghapusan diskriminasi. Adapun diskriminasi berpengaruh ke terhambatnya pemenuhan hak-hak korban.
Menurut Nurhewati, penanganan kekerasan pada perempuan di Indonesia masih sampai tahap perlindungan dan pelayanan. Penanganan belum ke tahap penyidikan, penuntutan, hingga penghukuman. Kasus dan laporan kekerasan kerap dihentikan karena banyak yang menyelesaikannya secara damai.
”Kita perlu punya mekanisme ketika suatu kasus terjadi karena faktanya, kekerasan sudah terjadi. Pencegahan ke depan mesti dengan penegakan hukum. Pengadilan harus memberikan perlindungan ke korban. Negara melindungi dalam kebijakan. Yang terpenting, perubahan pola pikir dan perilaku diskriminatif diperlukan,” kata Sri.
Upaya perlindungan
LRC-KHJAM kemudian memperluas akses layanan pengaduan kasus dengan layanan Konsultasi Hukum Online. Selain itu, pihaknya juga menggalang partisipasi publik lewat program Donasi Keadilan. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk upaya perlindungan perempuan.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Kualitas Hidup dan Pemberdayaan Perempuan Dinas Perempuan dan Anak Jawa Tengah, Sri Dewi Indrajati, memaparkan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengupayakan perlindungan perempuan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan.
Peraturan daerah ini mengamanatkan penyusunan empat peraturan lain, yaitu peraturan gubernur (pergub) tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu; pergub tentang penyelenggaraan rumah aman, shelter, dan rumah penampungan sementara; pergub tentang pencegahan kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi; serta pergub tentang pusat pelayanan terpadu.
Pemprov Jateng juga membuat berbagai program untuk perempuan, seperti Pemetaan Perempuan dan Anak Rentan. Pemetaan penting agar perempuan dan anak tetap bisa mengakses layanan yang mereka butuhkan, khususnya di masa sulit.
Ada pula Satuan Pelayanan Terpadu yang melayani pengaduan, layanan medis, rehabilitasi sosial (termasuk rumah aman), bantuan dan penegakan hukum, serta reintegrasi sosial. Pemda juga bekerja sama dengan beberapa provinsi untuk menjemput dan memulangkan korban perdagangan orang. Kerja sama dilakukan juga dengan lembaga lain.
Menurut anggota Layanan Berbasis Komunitas (LBK) Jawa Tengah, Juwariyah, komunitasnya menangani 36 kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi dan didominasi kekerasan dalam rumah tangga. Untuk melindungi korban, komunitasnya mengadakan konsultasi hukum virtual, menerima pengaduan dari korban secara daring selama 24 jam, hingga mendampingi korban secara daring. ”Pandemi tidak menjadi alasan untuk tidak mendukung sesama perempuan,” kata Juwariyah.