Warga secara swadaya menghadirkan sebuah SMA di Oelnaineno, sebuah kampung di pedalaman Nusa Tenggara Timur. Bergumul selama lima tahun, sekolah itu akhirnya ditetapkan menjadi SMA Negeri 4 Takari.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Sepuluh bangunan seragam berdiri membentuk formasi U. Atap daun, dinding pelepah, tiang kayu balok, dan lantai tanah. Bangunan ini berdiri di atas tetesan keringat dan air mata masyarakat Oelnaineno, sebuah perkampungan miskin di pedalaman Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Mereka persembahkan bagi generasi bangsa ini.
Setiap bangunan berukuran panjang 8 meter dan lebar 6 meter. Pada atapnya disusun daun berlapis. Dindingnya ditempel pelepah rapat. Daun dan pelepah diambil dari pohon gewang yang tumbuh liar di hutan. Berada di dalamnya terasa sejuk kendati di luar terik menghunjam dengan suhu hingga lebih dari 35 derajat celsius.
Di dalam bangunan itu, anak-anak Oelnaineno mengenyam pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Mereka yang hendak lanjut SMA tak perlu lagi harus jauh-jauh pergi ke Kota Kupang yang terpaut jarak sekitar 140 kilometer. Menumpang di rumah keluarga atau tinggal di indekos.
Mereka juga tidak harus bangun pukul 03.00 pagi, mandi, sarapan, menyalakan obor, lalu berjalan kaki melewati hutan dan menyeberang kali ke SMA terdekat yang berjarak 12 kilometer. Banyak dari mereka, baik yang bersekolah di Kupang maupun SMA, anak putus sekolah. Di NTT, jumlah anak putus sekolah cukup tinggi. Tahun 2019, sebanyak 111.000 orang.
Tak ingin ada lagi anak yang putus sekolah, para tetua di kampung bersepakat untuk membangun gedung sekolah di sana. Tahun 2016, pembangunan dimulai. ”Kami semua ramai-ramai ke hutan untuk cari bahan,” tutur Unismis Topmuti (45), tokoh masyarakat Oelnaineno.
Rapat kampung
Hasil rapat kampung menugaskan pembangunan ruang belajar itu dibagi setiap rukun tetangga (RT). Mereka masuk hutan mengambil kayu balok dan pelapa serta daun gewang. Hasil hutan itu dipikul ramai-ramai ke kampung dengan waktu tempuh lebih dari dua jam. Medan jalan menanjak penuh batu karang.
Selain bahan dari alam, mereka juga membutuhkan bahan seperti paku yang harus dibeli menggunakan dana hasil urunan warga. Butuh waktu lebih dari empat hari, bangunan berukuran 8 meter x 6 meter berdiri dan siap digunakan.
Untuk kebutuhan meja dan kursi, setiap anak yang hendak sekolah wajib membawanya dari rumah, sedangkan biaya kebutuhan lain, seperti papan tulis, spidol, meja, dan kursi guru, diambil dari hasil urunan. ”Sekarang bangunan sudah siap, kami bingung mau memulai bagaimana,” kata Unismus.
Perwakilan orangtua lalu mendatangi pihak SMA Negeri 2 Takari, sekolah terdekat yang berjarak sekitar 12 kilometer dari Oelnaineno. Di sekolah itu, anak-anak Oelnaineno bersekolah. Mereka mengusulkan agar dibentuk SMA filial yang berlokasi di Oelnaineno. ”Biar anak kami tidak lagi jalan kaki setiap pagi buta,” ucapnya.
Setelah berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi NTT, sekolah filial diizinkan. Kini, orangtua murid dan pemerintah kampung berpikir keras mencari orang yang mau mengajar di pedalaman itu. Disepakati, orangtua murid siap menyumbang Rp 100.000 per bulan untuk menggaji guru.
Ada yang dalam satu bulan, kami dikasih Rp 50.000 untuk tiga orang. Kami tidak bisa paksa karena kondisi masyarakat memang miskin.
Ini jadi keputusan tersulit karena hampir semua warga Oelnaineno hidup di bawah garis kemiskinan. Warga hidup dari bertani dan beternak dengan pendapatan tak menentu. Mereka sering gagal panen dan ternak pun mati akibat kemarau berkepanjangan yang terjadi hampir setiap tahun. Kemiskinan seakan abadi.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin di NTT sebanyak 1.169.310 orang atau setara dengan 20,99 persen dari total jumlah penduduk NTT. Kampung Oelnaineno merupakan salah satu kantong kemiskinan di NTT. Pengeluaran hampir semua warga di kampung itu di bawah garis kemiskinan, yakni Rp 415.116 per kapita per bulan.
Semangat belajar
Orip Atte, guru mata pelajaran Biologi, menjadi orang pertama yang menyatakan kesediaannya untuk mengajar. Orip, putra Oelnaineno, lalu mengajak kenalannya di desa tetangga dan beberapa dari Kota Kupang untuk membantu mengajar. Mengajar tanpa gaji. ”Ada yang dalam satu bulan, kami dikasih Rp 50.000 untuk tiga orang. Kami tidak bisa paksa karena kondisi masyarakat memang miskin,” ujarnya.
Beberapa guru yang berasal dari luar kampung diinapkan di mes yang dibangun oleh warga kampung. Dengan keterbatasan, warga menyumbangkan makanan bagi guru, seperti umbi, kacang, dan sayur. Juga ayam peliharaan setiap dua atau tiga minggu sekali untuk asupan protein. Warga berusaha membuat nyaman guru yang mengabdi tanpa pamrih itu.
Selama pandemi Covid-19, kegiatan pembelajaran tetap dilangsungkan tatap muka dengan protokol kesehatan ketat. Selain karena alasan berada di zona hijau, sekolah juga tidak mungkin menggelar pembelajaran daring karena tidak ada jaringan internet.
”Jaringan disebut GSM, artinya geser sedikit mati,” ucap Orip bercanda. Artinya, memang hanya beberapa titik yang terjangkau sinyal telepon, tetapi jika bergeser posisi beberapa derajat saja, jaringan langsung hilang.
Sekolah telah melahirkan empat angkatan. Salah satu murid di antaranya baru saja lulus menjadi pramugara maskapai penerbangan swasta. Keberhasilan alumnus itu membuat bangga 2.655 warga penduduk kampung, di antaranya 122 murid yang kini masih bersekolah di sana. Mereka tak ragu melambungkan cita-cita setinggi mungkin.
Gusjuana Tanau, siswa kelas XII, misalnya, ingin menjadi dokter setelah sebelumnya ia hanya bermimpi menjadi tenaga kerja wanita di Malaysia. Padahal, banyak gadis di NTT menjadi korban perdagangan manusia. Banyak di antara mereka pulang tanpa nyawa atau hilang kabar hingga saat ini.
Dalam catatan Kompas, pada awal Januari 2021, empat pekerja migran ilegal asal NTT meninggal di Malaysia. Mereka meninggal dalam lima hari berturut-turut dengan berbagai sebab. Sepanjang 2020, terhitung 87 pekerja migran asal NTT meninggal di luar negeri. Kehadiran sekolah itu seakan menjadi penyelamat.
Kebahagiaan warga kampung sempurna saat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi Making tiba di sana pada Sabtu (24/7/2021) siang. Linus datang membawa surat penetapan SMA filial menjadi SMA Negeri 4 Takari dengan nomor pokok sekolah nasional 70011353. Banyak warga terharu.
Linus mengapresiasi kerja keras dan semangat gotong royong warga Oelnaineno dalam membangun sekolah. Ia berjanji segera melengkapi sarana prasarana dan fasilitas di sekolah yang berdiri di atas lahan 2 hektar itu, mulai tahun depan.
Diakuinya, dari 903 sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, dan sekolah luar biasa, masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas lengkap. Secara perlahan, pemerintah akan melengkapinya dengan kondisi keuangan daerah yang terbatas. ”Kita harus memberikan hormat atas persembahan masyarakat Oelnaineno bagi bangsa ini,” ucap Linus.