Platform digital bisa digunakan sebagai wadah praktik kebudayaan sehari-hari dan diyakini tidak akan mereduksi nilai kebudayaan tradisional.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Platform digital dapat digunakan sebagai media pemanfaatan budaya tradisional Indonesia. Agar pemanfaatannya optimal, literasi digital dibutuhkan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi, Manado, Leviane Jacklin, mengatakan, platform digital bisa digunakan sebagai wadah praktik kebudayaan sehari-hari. Hal ini dinilai tidak mereduksi nilai kebudayaan tradisional karena inti dari kebudayaan adalah manusia, sementara platform digital adalah medianya.
”Ini bisa dilakukan dengan membuat konten positif, contohnya membuat dan mengunggah konten tentang batik. Jika tidak mengerti caranya, kita bisa ajak orang lain berkolaborasi. Ini jadi salah satu perwujudan cinta Tanah Air,” kata Leviane pada diskusi daring, Rabu (21/7/2021).
Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, Surakarta, M Yunus Anis, pemanfaatan teknologi digital untuk kebudayaan mesti memperhatikan etika digital. Pegiat budaya perlu dibekali dengan literasi digital. Poin-poin dasar untuk bermedia digital secara bijak pun dibutuhkan, yakni poin tentang keamanan, keterampilan, budaya digital, dan etika di ruang digital.
Adapun etika yang berlaku di ruang digital tidak berbeda dengan dunia nyata. Pengguna media daring didorong untuk berkomunikasi berdasarkan penghormatan terhadap budaya-budaya lain. Ini untuk menghindari sikap region-sentris atau kedaerahan yang berpotensi memecah belah.
Untuk itu, mendorong literasi digital menjadi penting. Menurut riset tahunan Microsoft berjudul ”Digital Civility Index (DCI)” yang terbit pada Februari 2021, skor DCI Indonesia ada di posisi ke-76. Ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-29 dari 32 negara dalam hal keadaban digital. Hal yang memperburuk skor DCI, antara lain, ialah maraknya berita bohong dan ujaran kebencian.
Salah satu cara memperkuat warisan budaya di era digital adalah dengan turut menguatkan literasi digital. Semangat ketahanan budaya bisa diimplementasikan dalam kurikulum literasi digital, seperti dengan mencintai produk-produk Indonesia.
”Salah satu cara memperkuat warisan budaya di era digital adalah dengan turut menguatkan literasi digital. Semangat ketahanan budaya bisa diimplementasikan dalam kurikulum literasi digital, seperti dengan mencintai produk-produk Indonesia,” ujar Yunus.
Platform e-dagang
Pegiat literasi komunitas Al Farid mengatakan, selain dengan media sosial, pemanfaatan budaya bisa juga menggunakan platform e-dagang. Pegiat seni budaya dapat memanfaatkan potensi budaya di daerahnya, kemudian diubah menjadi komoditas.
Ia mencontohkan bahwa Kecamatan Temanggung, Jawa Tengah memiliki sejumlah potensi, antara lain Tembakau Srinthil, Kopi Arabika Java Sindoro Sumbing, hingga Kopi Robusta. Ketiganya telah mendapat sertifikat indikasi geografis.
”Ada potensi seni dan komoditas yang bisa dimanfaatkan melalui platform e-dagang. Ini sekaligus membantu masyarakat mendapat pemasukan tambahan,” kata Farid.
Platform digital juga akan digunakan untuk mengembangkan potensi musik tradisional. Sebelumnya, Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) Candra Darusman mengatakan, Fesmi telah mengumpulkan dana untuk modal awal membangun laman musik tradisi.
Adapun konsep laman itu masih dimatangkan. Para pegiat musik tradisi akan dilibatkan dalam pembangunan laman tersebut.
”Laman itu akan menampilkan instrumen-instrumen tradisi. Ini sebagai jendela dunia agar orang asing bisa melihat atau membelinya. Ini bisa mendatangkan pendapatan buat musisi tradisi,” kata Candra.