Aceh menjadi salah satu simpul penting perdagangan rempah Nusantara di masa lampau. Jalur rempah itu berpotensi dikembangkan untuk kegiatan pariwisata di masa kini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Jalur rempah Aceh dinilai berpotensi dikembangkan untuk kegiatan pariwisata. Rencana pengembangan pariwisata diharapkan melestarikan jalur rempah sekaligus membantu ekonomi masyarakat.
Hal ini mengemuka dalam diskusi daring Potensi Pariwisata Jalur Rempah Aceh, Kamis (15/7/2021). Menurut dosen Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry di Banda Aceh, Nasruddin, sejumlah situs yang menjadi jalur perdagangan rempah di masa Kesultanan Aceh masih ada hingga sekarang.
Beberapa di antaranya adalah Pelabuhan Ulee Lheue, Singkil, dan Calang. Menurut peta yang dibuat pelaut Australia-Irlandia Samuel Ashmore di tahun 1800-an, ada 99 pelabuhan lada di sepanjang pesisir barat dan selatan Aceh.
“Ada pelabuhan-pelabuhan kecil lain yang disinggahi kapal asing di pantai barat, seperti Pelabuhan Pulau Kayu, Rigaih, Tadu, Meukek, dan Daya Lamno. Saran saya tempat-tempat itu bisa dibangun tugu atau prasasti. Ini untuk menunjukkan bahwa pernah terjadi transaksi lada (dan rempah lain),” kata Nasruddin.
Aceh menjadi salah satu simpul penting perdagangan rempah di masa lampau. Kapal para pedagang asing kerap bersandar di Aceh, seperti dari Spanyol, Inggris, Portugis, dan Amerika Serikat.
Salah satu komoditas utama dan terpopuler saat itu adalah lada. Selain lada, Aceh juga memproduksi antara lain kapur barus, kayu cendana, dan sutera.
Menurut catatan Tomé Pires saat mengunjungi Nusantara di abad ke-16, Kesultanan Samudra Pasai merupakan kerajaan yang kaya dan sejahtera. Lada jadi salah satu hasil bumi terpenting. Samudra Pasai disebut bisa memproduksi 8.000-10.000 bahar per tahun. Bila satu bahar setara sekitar 350 kilogram, maka Samudra Pasai kala itu menghasilkan 2.800-3.500 ton lada per tahun.
Adapun Aceh menjadi bagian dari 20 titik rekonstruksi jalur perdagangan rempah Nusantara oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Aceh juga akan menjadi salah satu titik singgah program Muhibah Budaya dari Kemendikbud Ristek di 2021. Muhibah Budaya mencakup pelayaran ke 13 titik di Indonesia, salah satunya Lhokseumawe, Aceh.
Di sisi lain, Muhibah Budaya jadi salah satu upaya pemerintah agar Jalur Rempah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Pemerintah menargetkan hal ini terwujud pada 2024.
Anggota Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Aceh Irmayanti Ibrahim mengatakan, Aceh punya sejumlah daya tarik wisata, termasuk kebun rempah. Kebun-kebun rempah masih bisa ditemui karena masyarakat masih membudidayakannya. Kebun rempah itu antara lain pala, lada cengkeh, nilam, dan serai wangi.
“Dengan potensi-potensi itu, penting untuk memerhatikan atraksi, aksesibilitas, dan amenitas untuk pariwisata,” ucapnya.
Menurut Kepala Seksi Sejarah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Bulman Satar, peluang mengembangkan jalur rempah ke sektor pariwisata mesti dimanfaatkan. Pemda Aceh pun berencana membuat kebun raya rempah.
“Lokasi yang dinilai cocok ada di DAS (daerah aliran sungai) Krueng Baru, di perbatasan Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan. Luasnya 1.395 hektar Di sana ada sejarah perkebunan cengkeh, pala, dan pinang. Tanaman-tanaman itu pun masih dibudidayakan sampai sekarang,” kata Bulman.
Kebun raya itu rencananya menjadi destinasi agrowisata, wisata edukasi, dan pusat agrobisnis rempah dan minyak atsiri. Adapun pemda berharap kebun raya itu tidak hanya menjadi media konservasi sumber daya alam, tapi juga meningkatkan ekonomi masyarakat.
Menurut Bulman, turunan komoditas rempah adalah produk kosmetik dan obat halal. Potensi ekonomi kluster kosmetik dan obat halal di pasar global adalah 78 miliar dollar AS pada 2015, kemudian diprediksi naik jadi 132 miliar dollar AS pada 2021.
“Pariwisata penting untuk menjaga eksistensi jalur rempah di Aceh. Di sisi lain, ini bisa bermakna dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat,” tambah Ketua MSI Aceh Mawardi Umar.