Masa pandemi seperti ini, represi dan kesulitan mengakses informasi masih dirasakan oleh media. Ini pun secara langsung menghambat akses publik akan haknya memperoleh informasi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbukaan informasi masih menjadi momok dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Represi terhadap jurnalis masih terjadi sehingga menghambat peran media sebagai pengawas kebijakan pemerintah terhadap pandemi. Hak publik untuk mengakses informasi pun ikut terhambat.
Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Herlambang P Wiratman, mengatakan, kemunduran demokrasi terjadi saat ini. Hal itu tampak dari sejumlah serangan siber yang terjadi, baik terhadap media massa maupun masyarakat sipil, di media sosial.
”Tantangan pertama dalam isu represi media adalah pemerintah tidak mendayagunakan komunikasi krisis yang baik. Kedua, infodemi. Ketiga, adanya impunitas karena serangan siber ke media atau pihak lain belum menunjukkan penegakan atau pertanggungjawaban hukum yang profesional dan berintegritas,” kata Herlambang pada diskusi Represi terhadap Media di Masa Pandemi, Senin (12/7/2021).
Menurut laporan ”Kebebasan Pers Memburuk di Tengah Pandemi” oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), represi terhadap jurnalis meluas ke ranah daring. Pada Mei 2020 hingga akhir April 2021, ada 14 kasus serangan digital. Hal ini menimpa 10 jurnalis dan empat situs media daring.
Dari 14 kasus itu, delapan di antaranya merupakan kasus doxing, yaitu pembongkaran dan penyebaran data pribadi. Selain doxing, empat kasus lain merupakan peretasan dan dua kasus serangan distributed denial-of-service (DDos).
Selain serangan digital, jurnalis juga menghadapi tantangan pelabelan hoaks. Inisiator LaporCovid-19 sekaligus jurnalis Kompas, Ahmad Arif, mengatakan, dua artikelnya seputar Covid-19 diberi label hoaks selama 2020-2021. Salah satu artikelnya berjudul ”63 Pasien di RSUP Dr Sardjito Meninggal dalam Sehari” tayang pada 4 Juli 2021.
”Jurnalis dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ada kode etik yang bisa diperiksa apa artikel dibuat dengan proses yang benar atau tidak. Kalaupun (artikelnya) keliru, ada mekanisme yang bisa digunakan. Berbagai pihak menyanggah (berita) ini, tetapi ada bantahan dari saksi dan keluarga korban,” kata Arif.
Menurut Pemimpin Redaksi Project Multatuli Evi Mariani, narasi yang diberitakan pendengung atau buzzer di ruang maya diorkestrasi. Hal ini kerap tidak disadari publik, baik masyarakat awam maupun media. Narasi itu kemudian membentuk opini publik dan menjadi bias informasi tentang pandemi Covid-19.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, membungkam media sama dengan menghambat hak publik atas informasi yang akurat dan pengetahuan. Informasi yang terbuka tidak hanya memetakan masalah yang dialami publik, tetapi juga tingkat keparahannya dan hal yang dibutuhkan warga. Dalam masa darurat, informasi adalah amunisi warga untuk bertahan hidup.
Namun, informasi kerap dibanjiri dengan narasi tandingan dari buzzer. Suara buzzer tidak mewakili suara rakyat karena tidak independen. Buzzer pun kerap dioperasikan oleh robot. Menurut Asfinawati, hal ini merusak demokrasi.
“Suara rakyat akhirnya hilang dan menjadi tidak bermakna di tengah situasi ini,” ujarnya.
Komunikasi
Menurut Direktur Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto, pemerintah belum melakukan komunikasi krisis yang baik di masa awal pandemi. Komunikasi krisis membutuhkan keterbukaan informasi tentang Covid-19, pengakuan dan kejujuran dari pemerintah, hingga edukasi risiko.
Namun, sejumlah pejabat pemerintah menyatakan pernyataan yang dinilai menyangkal Covid-19. Respons pemerintah pun dinilai tidak serius. Pernyataan-pernyataan itu antara lain orang Indonesia dinilai kebal Covid-19 karena konsumsi nasi kucing, jamu, serta ajakan agar tidak panik dan enjoy saja.
”Komunikasi krisis bisa dimulai dengan mengakui secara terbuka dan jujur ke publik bahwa media, akademisi, organsasi masyarakat sipil telah memberi peringatan virus korona di masa awal pandemi. Seharusnya saat itu waspada,” kata Wijayanto. ”Perlu diakui bahwa Indonesia saat ini tidak baik-baik saja,” tambahnya.
Arif mengatakan, pada masa awal pandemi, pemerintah kerap menggelontorkan narasi antisains dan penyangkalan terhadap Covid-19. Padahal, mitigasi menjadi penting. Deteksi dini virus korona baru dengan tes, pelacakan, dan karanitna krusial untuk mencegah Covid-19 mewabah.
”Indonesia sangat abai di masa awal. Belajar dari pandemi-pandemi sebelumnya, kita seharusnya punya respons cepat, termasuk deteksi dini. Yang ada adalah pengendalian data dan informasi, bukan pandemi,” tambah Arif.