
“Basis majalah budaya yang menembus fakta, menjaga pertanda cahaya bagi gulita. Menjaga akal sehat dengan penuh martabat. Bagi jiwa-jiwa yang bebas dan merdeka. Basis...Basis biar kecil tetap eksis. Basis...Basis menjaga api kritis” (Marzuki “Kill the DJ”, Jogja Hip Hop Foundation).
Biar kecil tetap eksis, demikian Marzuki “Kill the DJ”, rapper Yogyakarta menyanyikan jingle peringatan 70 tahun Majalah Basis. Seperti disebut ekonom kelahiran Jerman, Ernst Friedrich Schumacher dalam bukunya Small is Beautiful (1973), Pemimpin Redaksi Majalah Basis periode 1996-2015, Sindhunata menyebut Basis: Small is Beautiful, kecil itu cantik.
Tentu ini bukan semboyan cantik-cantikan, tetapi refleksi dari sistem ekonomi yang dipegang Schumacher tentang ekonomi kerakyatan, salah satunya tentang petani subsisten yang mempertahankan dirinya mati-matian justru bukan dari kelebihannya tetapi dari kekurangannya.
Dari dulu kita ini kecil, karena intelektualitas itu tidak populer tetapi harus terus dipelihara. Basis menjadi benteng pikiran sehat seperti dikatakan HB Jassin.(Sindhunata)
”Dari dulu kita ini kecil, karena intelektualitas itu tidak populer tetapi harus terus dipelihara. Basis menjadi benteng pikiran sehat seperti dikatakan HB Jassin,” kata Sindhunata, Sabtu (10/7/2021) dalam Zoominar Sekolah Basis Hari ke-10: Kilas Balik Majalah Basis, dalam rangka ulang tahun ke-70 Majalah Basis.
Majalah kebudayaan umum ini terbit perdana 1 Oktober 1951 dengan tiras 3.000an eksemplar. Karena digawangi para rohaniwan, majalah ini dulu memiliki slogan yang unik, “Cinta Kasih, Jiwa Segala Keadilan”.
Pada tahun 1950an, Basis masih berupaya menggalang pelanggan. Dalam edisi Basis 1952, redaksi secara lugas menyerukan ajakan: “Juga kenalan-kenalan saudara harus menempuh jalan di tengah-tengah masyarakat, harus berpedoman penerangan serba tegas dan sehat, harus berdiri di atas dasar-dasar hidup yang teguh dan kuat. Oleh karena itu, tolonglah mereka, ajaklah mereka membaca Basis”.
“Jadi orang-orang di masa itu diajak membaca berita, artikel yang menyehatkan, yang menerangkan, bukan menambah amburadul. Di bawah ada petunjuk pula,…’Boleh untuk sehat, untuk mengetahui yang terang sambil minum Java Donker’, sebuah merek bir di tahun 1950an,” kata Bandung Mawardi, pegiat literasi sekaligus penulis di Basis.
Driyarkara SJ menjadi pemimpin redaksi pertama Basis. Sosok kalem dan berwibawa itu memiliki pemikiran-pemikiran besar pada masa revolusi sampai tahun 1970an. "Dalam pengabdiannya di Basis, Driyarkara ingin membuat pengakaran untuk keIndonesiaan. Dia rajin menulis tentang Pancasila, religi, pendidikan, kebudayaan, moral dan agama," paparnya.
Baca juga: Jeritan Kematian Kala Pandemi

Literasi demokrasi
Sebuah terobosan muncul ketika tahun 1954 Basis menerbitkan serial Pedoman Demokrasi untuk Rakyat guna menyiapkan pemilihan umum pertama tahun 1955. Buku ini berisi 57 tanya jawab seputar demokrasi, sebuah panduan konkrit bagi warga republik yang hendak menggelar pesta demokrasi perdana waktu itu.
Serial itu diterbitkan sebagai brosur sebanyak 25.000 eksemplar. Kementerian Penerangan memesan 5.000 eksemplar, dan karena banyaknya permintaan, buku itu dicetak ulang sebanyak 5.000 eksemplar. Harganya Rp 75 sen per eksemplar dengan diskon 20-30 persen untuk pemesanan jumlah besar.
Antusiasme publik waktu itu luar biasa. Namun, setelah dihitung-hitung, Basis ternyata rugi Rp 1.500, sebuah nominal yang cukup besar pada masa itu.
Namun, pengurus Basis menganggap kerugian itu bisa dipertanggungjawabkan mengingat tujuannya yang luhur yaitu memberikan pedoman demokrasi bagi rakyat. Majalah kebudayaan yang kecil dan miskin ini berani berkorban demi suatu perjuangan nilai.
Pengalaman tekor Basis tak berhenti di situ. Mantan Pemimpin Redaksi Basis, almarhum Dick Hartoko SJ pada ultah ke-45 Basis mengungkapkan, Sejak 1975, Basis dihidupi dari kantong pribadinya, honorarium dari puluhan buku yang dia terjemahkan, selain sebagian sangat kecil dari donatur luar negeri.(Kompas, Sabtu 21 Oktober 1995).
Dick Hartoko memang penerjemah ulung. Buku-buku terjemahannya antara lain, Kalangwan dan Manunggaling Kawula Gusti, dua karya masterpiece Prof Piet Zoetmulder SJ, salah satu pendiri Basis. Siapa tak kenal Zoetmulder, resi Jawa Kuno penyusun Kamus Bahasa Jawa.
“Zoetmulder merasa ada kekurangan dalam pembacaannya atas kesusastraan Jawa, yaitu kamus bahasa Jawa, maka dia mengabdikan hampir setengah hidupnya, sekitar 30 tahun untuk membuat kamus bahasa Jawa,” ujar pengajar Universitas Negeri Yogyakarta, Rhoma Dwi Aria Yuliantri.
Pada era 1960, Zoetmulder menggandeng beberapa orang untuk membawakan tema-tema Kejawen di Basis, salah satunya penyair WS Rendra. Rendra menjadi pembantu tetap di Basis dengan inisial WSR sampai masa kepemimpinan Dick Hartoko.
Memasuki tahun 1970, tepatnya bulan Juni, Dick Hartoko membuat rubrik baru di Basis bertajuk Tanda-Tanda Zaman. Karena rubrik itu, ia sampai dijuluki sebagai "pen-condro zaman" atau penafsir keadaan.
Tahun 1996 hingga 2015, Sindhunata memimpin Basis menggantikan Dick Hartoko. Mulai saat inilah, tampilan Basis berubah total. Minatnya pada seni rupa menjadikan tampilan Basis lebih segar. Warna ini tetap diteruskan oleh penggantinya, Setyo Wibowo SJ yang memunculkan tulisan-tulisan filsafat berbobot di Basis sejak 2015.
Memperingati usianya ke-70, Basis menggelar 10 seri Zoominar Sekolah Basis. Di luar dugaan, antusiasme publik luar biasa. Ribuan peserta aktif mengikuti lewat Zoom ataupun YouTube.
Baca juga: Mendidik untuk Terampil Saja Tak Cukup
Setiap sesi rata-rata dihadiri 500 peserta yang setia bertahan selama dua jam mengikuti materi-materi yang berat dan sukar. Jangan-jangan, ini adalah tanda-tanda zaman bahwa ada kalangan masyarakat yang sungguh haus akan kedalaman berpikir dan refleksi intelektual di tengah-tengah situasi kedangkalan dan pendangkalan dewasa ini. Untuk itulah, majalah semacam Basis tetap perlu ada, karena Small is Beautiful.